Kamis, 28 Januari 2016

Renungan tentang kematian, kehidupan dan surga

Saya baru saja takziah ke rumah sesama wali murid sekolah anak sulung saya. Anak laki-lakinya meninggal akibat kecelakaan. Saya datang dan larut dalam suasana kedukaan yang dirasakan sang ibu. Terutama karena setahun lalu kepala keluarga telah berpulang. Kini lelaki tertua dalam keluarga telah menyusul. Baru 16 tahun usia si jejaka yang pergi meninggalkan ibu dan saudara-saudaranya.

Kematian adalah misteri yang hanya Allah saja yang tahu, kapan ia akan datang menghampiri kita. Kematian tidak mendatangi hanya ketika kita telah beranjak tua. Hal ini sudah saya pahami ketika lebih dua belas tahun lalu anak sulung saya meninggal dalam usia 3,5 bulan. Bahkan ponakan saya hanya menghirup 12 jam udara luar, dan ponakan yang lain keluar dari rahim ibunya dalam keadaan tak bernyawa. Belum lagi ruh-ruh yang belum sempat ditiupkan, namun gumpalan daging merah telah gugur sebelum kokoh menempel pada langit rahim.

Sebaliknya tak sedikit kabar tentang orang paling tertua di dunia, dan nenek atau kakek teman kita, yang usianya telah lebih dari hitungan abad. Mengapa Allah mencabut dengan cepat sebagian ummat, dan membiarkan sebagian lain berlama-lama di dunia, hanya Dia yang mengetahui alasannya.

Ketika kesadaran bahwa kematian itu tak mengetuk pintu lebih dahulu, ia bisa tiba-tiba datang, bahkan saat saya sedang mengetik sekarang ini; bagaimana respons kita mengenai hal itu? Ibadah yang semakin ditingkatkan? Zikir yang semakin dikencangkan? Sedekah yang semakin dirutinkan? Sayangnya masih banyak yang biasa-biasa saja. Business as usual. Nothing's change. Nggak ngefek.

Sebuah broadcast di whatsapp pagi tadi membuat saya merenung. Isinya tentang sebuah keluarga yang memutuskan untuk membentuk keluarga islami yang Masya Allah, patut menjadi contoh kita semua. Keluarga tersebut punya 7 anak yang kesemuanya dididik untuk menjadi hafidz/ah. Sebagai contoh, anak ketujuh hafalannya sekarang 5 juz di usia 5 tahun. Semua pendidikan itu dilakukan sendiri di rumah (homeschooling). Selain hal ini, mereka keluarga konvensional yang tidak memakai hp. Setiap harinya mereka hanya satu kali makan, bukan karena nggak ada, tapi sudah menjadi amal. Ada lima hal yang selalu dipegang oleh keluarga ini, yaitu:

1. Tauhid, keyakinan mutlak pada Allah, tidak takut kekurangan rizki dan fasilitas hidup, meluruskan niat menghafal Al-Qur'an hanya karena Allah semata.

2. Menjauhi pola hidup dan gaya hidup mubazir

3. Menjaga kehalalan dan kethayyiban

4. Bebas dari hutang dan riba

5. Mulai dari diri yakin Islam dan rendah hati tuk kembali ke jalan Islam dengan dalil ilmu

(rangkuman obrolan grup Jogja Islamic Home Education - dishare oleh Deassy M Destiani di grup WA IIDN Jogja).

Saya mencoba membandingkan dengan diri saya sendiri. Sangat jauh dibanding keluarga tersebut. Bahkan merasa tertampar dengan kenyataan anak-anak saya belajar membaca Al-Qur'an dari tangan orang lain. Benar, saya kadang-kadang mengajari anak saya membaca hijaiyah, tapi tanpa niat untuk menjadikannya rutinitas. Ah, nanti kan diajari gurunya di sekolah. Ya, Allah, ampuni saya ...

Belum lagi gaya hidup? Hidup tanpa hp di era sosmed? Ow tak mungkin. Makan satu kali? Bukankah aturan kesehatan kita harus makan tiga kali sehari? Dan dua kali kudapan ... (siapa gerangan yang menyusun aturan makan sedemikian rupa?), wahai betapa sangat berlebih-lebihan kita. Belum lagi kalau jalan-jalan ada tempat makan baru pasti mau dicoba. Perut sudah kenyang, kalau mata masih lapar dan mulut masih pengen ngunyah, semua dijabanin aja. Bagaimana dengan baju? Coba kalau setiap hari ganti baju, kira-kira baju kita di lemari habis dalam waktu berapa hari? 7 hari? Sebulan? Atau bahkan setahun? Dan kalau ada setelan cantik di mall terdekat rasanya sayang kalau tidak meraihnya dan membayar harganya di meja kasir. Kalau yang lebih kaya lagi, berapa mobilnya? Satu anak punya satu mobil? Berapa rumahnya? Ada satu rumah di setiap kota besar di Indonesia? Belum yang di luar negeri? Duhai, kita memang sangat berlebih-lebihan, dan terlalu suka bersenang-senang.

Padahal, untuk apa kita hidup? Untuk kemudian mati. Dan dihisab. Kenapa kita dulu bisa sampai ke bumi? Karena Adam diusir dari surga, dosanya karena tidak mematuhi perintah Allah-lah yang menyebabkan ia diturunkan ke bumi. Kita di bumi untuk menebus dosa, dan kelak dilihat siapa yang pantas kembali ke surga. Mereka yang mematuhi perintah Allah, atau mereka yang tergoda bujuk rayu setan?

Kalau ada keluarga yang memutuskan untuk berjuang di jalan Allah, dan kiranya Allah ridha memasukkan mereka di surga kelak sebagai imbalan semua jerih payahnya di dunia, bagaimana dengan kita? Yang khusyuk nonton pertandingan bola 90 menit tanpa jeda, asyik nonton serial di televisi 60 menit sampai bengong, yang nonton bioskop dua jam penuh keterpukauan, yang merasa harus menyelesaikan novel 300 halaman dengan sekali baca, yang suka selancar di sosmed berjam-jam, ... tapi sholat lima menit pikirannya bercabang dan beranting, baca Al Qur'an satu lembar sudah lelah. Pantaskah kita memasuki surga-Nya?

Ya, Allah, mungkin hamba tak pantas masuk ke surga-Mu, namun hamba tak kuat menahan panasnya api neraka. Maka tariklah hamba, ya Allah. Panggil hamba, ya Allah. Ingatkan hamba jika lalai, ya Allah. Jadikan hamba ummatMu yang setia. Yang cinta Qur'an, yang ahli sholat, yang gemar puasa, yang lancar berzakat dan sedekah. Jadikan kami semua hamba-Mu, yang tak takut menghadapi kematian, karena yakin sudah mempersiapkan bekal.

2 komentar:

COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES