Jumat, 16 Februari 2018

[Review]: Dilan 1990, kresek oh kresek

Kamu sudah nonton Dilan 1990, belum? Nonton, gih. Tapi kalau sudah baca bukunya dan lagi nggak punya uang, mending nunggu tayang di televisi aja. Lho kenapaaa? Karena filmnya sama kok, dengan bukunya. Malahan lebih komplit versi buku, karena mungkin faktor durasi dan estetika ya, jadi beberapa adegan dan dialog tidak muncul di film.

Sebelumnya saya mau cerita kenapa saya dulu bela-belain beli novel trilogi Dilan. Sebelum-sebelumnya saya nggak tertarik, tapi kemudian saya baca di medsos saat rame-rame audisi pemeran Dilan (waktu awal filmnya mau dibikin dulu). Kok, pada protes kalau yang meranin Dilan itu Iqbaal sih? Katanya gak pantes, terlalu manislah, masih keinget coboy juniorlah, dst, dst. Saya jadi mikir, emang karakter Dilan itu kayak apa sehhh ... akhirnya belilah saya ketiga novel itu, dan membacanya di sela-sela kesibukan belajar mau ujian thesis, dhuarr. Dan saya sukaaaa kisah yang ditulis Pidi Baiq ini. Sempat mikir kayaknya aman-aman aja kalau Iqbaal yang meranin deh. Terbukti kemudian banyak yang baper setelah nonton filmnya.

Ketika filmnya tayang, saya sudah pesimis mau nonton nih. Secara suami sudah jarang banget mau nonton. Andalannya kalau enggak donlot yutub ya tunggu tayang di televisi. Eh, ndilalah putri saya pas pulang massal dari pondok kok pingin nonton Dilan (Hmmm, boleh nggak sih, santriyah nonton Dilan? Kalau nanya ke ustadzahnya pasti nggak boleh yak). Suami bilang boleh kalau mamamu mau. Apaaa? Enelan? Ciyuuus? Walau wajah saya pasang flat di depan suami, dalam hati saya bilang yes! (macam Dilan waktu diberitahu Piyan kalau Milea tuh nggak pacaran sama Nandan, kok -- eh apaan seh).

Baiklah, akhirnya menontonlah saya sama putri saya. Berhubung nontonnya di jam pertama di mana itu emol baru aja buka, maka saya iseng menghitung penonton yang ikut nonton bareng saya. Tiga remaja cowok, sepasang mbak dan mas, dan sepasang suami istri dengan satu anak balita (hedeww ibuk, mau nostalgila 90-an mah titip dulu anaknya atuh). Intinya masih sepilah.

Film Dilan 1990 ini, seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, dibuat nyaris sama dengan bukunya. Jadinya sepanjang film saya bisik-bisik sama putri saya, mencocok-cocokkan dengan isi buku karena putri saya juga sudah khatam baca trilogi Dilan. Intinya jangan nyari film kualitas oscar dengan jalan cerita penuh konflik dan berbobot lho ya. Film ini ringan saja, berisi kisah cinta antara dua anak SMA tahun 1990 yang digambarkan dengan unik, seru dan lucu. Fokus dalam film ini tentu si Dilan yang digambarkan pinter ngerayu dengan gaya out of the box. Dan Dilan ini dikisahkan sebagai anak yang suka nulis puisi, jadi memang dia punya kekuatan kata-kata ... ciee, kekuatan kata-kata. Beda lho ya sama yang ono noh, mas VP.

Kisah dimulai saat Milea berangkat sekolah, jalan kaki dan Dilan menjejeri dengan motor. Kamu Milea, kan?

Kamu Milea, kan?
(gambar dari sumsel.tribunnews.com)

Sejak itu Dilan beberapa kali menarik perhatian Milea, dengan pesan-pesan lucu melalui surat yang dikirim lewat temannya, juga tingkahnya yang aneh. Milea sempat menjuluki Dilan dengan sebutan orang aneh ketika malamnya Dilan sempat datang ke rumah dan bertemu Papa Milea.Waktu itu Dilan nggak ketemu Milea tapi Dilan mengenalkan diri sebagai utusan kantin yang menawarkan menu baru. Aneh banget kan? Kali lain, Dilan menitipkan cokelat buat Milea, lewat tukang koran.Lebih aneh lagi pas Milea ultah, Dilan ngasih kadonya berupa TTS yang dalamnya sudah keisi semua. Milea aku sayang kamu, karena itu TTSnya sudah kuisi semua, aku nggak mau kamu pusing...

Beberapa quote Dilan dalam film ini yang sempat saya ingat:


Aku tidak mau membuat kamu cemas. Biar aku aja yang mencemaskanmu (Ini waktu ada serangan geng motor ke sekolah Dilan dan Milea cemas nyariin Dilan)


Siapapun dia kalau tidak mau menghargai orang, tidak akan dihargai (Ini waktu Dilan emosi setelah ditampar oleh gurunya)

Apakah saya termasuk yang baper melihat Iqbaal, eh Dilan? Nggak terlalu baper sih, karena saya nggak punya kisah romantis zaman SMA. Saya justru baper ngelihat kresek dalam film Dilan. Kok, kresek? Iya, itu kresek yang dipakai Dilan bungkus hadiah buat ultah Milea dan kresek yang dipakai bungkus krupuk. Itu kok pakai kresek warna garis-garis hitam putih, sih? Seingatku itu kresek sangat kekinian banget deh. Lebih baik pakai kresek warna hitam polos atau putih polos, atau pakai tas dari kulit binatang (eh itu mah zaman dinos yak). Yang jelas lebih salah lagi kalau kreseknya ada logo indo*aret yak, wkkk. Indomaret belum ada mbak waktu itu. Iyaaaa, sudah tahu! Apalagi tahu bulat, jelas belum ada. Di zaman itu, tahu masih kotak-kotak. (Waktu saya nyetatus masalah kresek ini di pesbuk, seorang mbak berkomentar dan mengkonfirmasi bahwa di 1990, kresek seperti itu sudah ada dan dia sering belanja kue pakai kresek kayak gitu. Ooowh baiklah kalau begitu, saya ndak jadi baper).

Terus, apalagi yang menarik di film ini? Bagi remaja zaman sekarang, alias ABG asli, ketampanan wajah Iqbaal dan kekiyutan wajah Vanesha mungkin yang paling menarik. Tapi bagi remaja masa lalu alias ABG tahun 1990, yang menarik adalah kenangan-kenangan jadul yang seolah teraduk kembali menarik waktu berjalan mundur. Salah satunya yang menarik perhatian saya sebagai salah satu wakil dari ABG 1990-an, adalah ngobrol via telepon umum dan telepon rumah. Hmmm. Walaupun di zaman itu saya tidak punya seseorang yang seromantis Dilan, bahkan sejujurnya tidak punya seorang pacar pun (jomblo ni ye), saya paling suka ngobrol via telepon begini. Tapi nggak kayak Milea yang kalau terima telepon rapi banget duduk di kursi, saya bisa jumpalitan antara duduk, ndlosor di lantai, tengkurep, seenak-enaknya posisi deh, sampai-sampai dimarahi mama. Hei, sudah sudah telepon gak brenti-brenti, nanti kalau ada telepon masuk, nggak bisa lho. Ah, iya. Setiap masa mempunyai kenangannya masing-masing. Walaupun di masa itu aku tak punya Dilanku, tapi aku tetap mengenang masa itu sebagai salah satu masa yang terindah. Di mana kesulitan hidup terbesar adalah PR Matematika (quote diambil dari entah).

Nah, siap nonton Dilan, yang sampai detik ini sudah menempati posisi film terlaris nomor dua di Indonesia sepanjang masa? Yuk, yuk nonton. Tapi jangan terlalu tinggi ekspektasi ya. Nontonlah dengan tujuan menghibur diri. Yang baik-baik diambil, yang jelek-jelek dibuang. Karena Dilan, sejatinya hanya remaja biasa yang seperti remaja seusianya punya emosi yang mudah tersulut. Kalau saya diminta ngasih rate dari 1 - 5, saya ngasih rate 3 untuk film Dilan. Kabur ah, sebelum ditimpuk penggemar Dilan, hehehe...

Rabu, 07 Februari 2018

[Resensi]: Oishii Jungle

Judul Novel: Oishii Jungle
Penulis: Erlita Pratiwi
Penerbit: Grasindo
Tebal:193 halaman
Tahun terbit:2014
Tokoh: Shasa, Era, Heru, Akiko, Kenji

 Keseruan Petualangan ke Tanjung Puting



Shasa seorang mahasiswi yang mempunyai sahabat bernama Era. Mereka berdua ini punya sifat dan latar belakang ekonomi keluarga yang berbeda. Shasa anak orang kaya yang terbiasa dengan gaya hidup mewah, sementara Era anak orang biasa yang gemar berpetualang ke pelosok-pelosok Indonesia, walau sering harus menabung dulu untuk itu.

Shasa butuh bantuan Era untuk memenuhi tantangan Akiko, mantan tetangganya yang orang Jepang asli (ceritanya Akiko ini pernah tinggal di Indonesia, tapi sudah kembali ke Jepang), untuk menjadi guide jalan-jalan ke tempat wisata yang tidak biasa di Indonesia. Pokoknya harus unik dan menantang. Bila Shasa berhasil memenuhi tantangan dari Akiko, Akiko akan menguruskan tiket Shasa nonton kabuki di Tokyo.
Shasa dibantu Era menggugling tempat-tempat wisata di Indonesia dan singkat cerita, mereka dan juga Akiko setuju untuk berkunjung ke Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan. Mereka akan dipandu oleh Heru, teman SMP Shasa dan Era yang tinggal di Pangkalan Bun. Jadilah pada hari yang ditentukan, mereka pergi berlima: Shasa, Era, Heru, Akiko dan Kenji (kakak Akiko).

Novel ini berkisah tentang petualangan mereka berlima di Tanjung Puting. Tentunya banyak cerita seru, bagaimana mereka naik perahu kelotok menuju Tanjung Puting, bertemu orangutan ramah bernama Siswi, kelelahan Shasa yang tak terbiasa berpetualang di alam terbuka dengan medan yang terjal, juga beberapa spot pemandangan indah alam Kalimantan yang dituturkan dengan apik oleh penulisnya. Tak ketinggalan berbagai kuliner yang selalu dinikmati dengan senang hati oleh Akiko dan Kenji, dan komentar Akiko setiap menemukan sesuatu yang mengagumkan hatinya: Oishii ... Pemandangannya oishii, makanannya oishii, perjalanannya oishii juga.

Petualangan yang seru itu juga dibumbui dengan episode-episode romantis antara Shasa dan seseorang peserta perjalanan lainnya. Hayo, siapa kira-kira? Membaca novel ini bisa sekali habis karena gaya bahasanya ringan, renyah, dan menyenangkan. Novel ini rekomended sekali untuk dibaca menghabiskan akhir pekan. Walau tergolong bacaan ringan, namun dari novel ini kita juga mendapatkan beberapa pengetahuan yang penting, misalnya deskripsi Taman Nasional Tanjung Puting, caranya kesana dan juga ke spot-spot wisata di sekitarnya; jenis-jenis makanan Jepang; dan budaya Jepang misalnya yang berkaitan dengan Boneka Daruma. Daruma adalah boneka berbentuk bulat yang dijual dengan bola mata yang belum diwarnai. Boneka ini merupakan lambang pengharapan yang belum tercapai. Orang yang mempunyai harapan akan mewarnai mata kanan Daruma dan setelah harapannya tercapai, boleh mewarnai mata kirinya. Dalam perjalanan mereka ke Tanjung Puting, Shasa dan Era sama-sama membawa boneka Daruma hadiah dari Akiko. Kira-kira, harapan apa yang dipunyai Shasa dan Era dan apakah mereka berhasil mewarnai mata kiri Daruma? Hmmm, baca saja deh novelnya.

Boneka Daruma yang bola matanya sudah diwarnai. Gambar dari 
http://imccenter.blogspot.co.id/2015/02/daruma-ningyo.html



Selasa, 06 Februari 2018

GALERI




DISCLOSURE

Blog ini adalah blog personal yang ditulis oleh Indah Novita Dewi
COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES