Sabtu, 31 Oktober 2015

JERA

Jera
Oleh: Kalya Innovie

            Uuh … udara sangat panas di Jogja. AC rumah sedang rusak. Nyala kipas angin tak membantu banyak mengurangi rasa gerahku. Aku masih duduk di sofa ruang tengah rumahku. Tangan memegang remote televisi dan entah sudah berapa kali kuganti channel teve. Acara televisi di siang yang panas ini sungguh-sungguh membosankan.
            “Uh, sudah gerah. Panas. Suntuk. Ini stasiun televisi gak ada yang kreatif apa yak. Acaranya kok sinetron wagu semua. Artisnya semua gak bisa akting. Mau nonton drakor, yaelah diulang-ulang mulu drama yang itu lagi, itu lagi,” gerutuku.
            “Lula, kalau bosan, matikan saja televisinya. Sana kamu tidur,” ucap seseorang yang sedari tadi menemaniku di ruang tengah, tapi diam saja merajut sesuatu.
            Nggak mikir apa yak. Gimana bisa tidur, gerah begini.
            “Aah … Lula mau jalan-jalan dulu cari angin aja ah,” seruku sambil menggeliat di kursi. Kumatikan televisi. Orang yang tadi menegurku menghentikan aktivitasnya, memandangku curiga.
            “Mau ke mana kamu?”
            “Mau keluar sebentar,” jawabku pendek. Aku ngeloyor ke kamar, meraih jaket di belakang pintu. Kaget karena ternyata orang itu mengikutiku.
            “Jangan naik motor,” ucapnya pelan namun tegas.
            “Dekat saja, kok,” bandelku. Di tangan sudah kugenggam kunci varioku.
            “Lula. Naik angkot saja, atau ojek. Mama teleponkan ojek syar’i Jogja, ya?”
            “Ih, cerewet. Lagipula Papa saja nggak pernah ngelarang aku naik motor.”
            “Khusus buat ke sekolah saja,” sergahnya.
            “Nggak peduli. Kalau mau ngelanggar peraturan kenapa gak sekalian aja,” bantahku masih keras kepala.
            Perempuan yang membahasakan dirinya dengan sebutan Mama itu diam. Wajahnya merah. Pasti dia sedang sebal padaku. Haha, biarin aja.
            “Lula, setidaknya, pakai helm-mu!” teriaknya saat aku ngeloyor ke depan rumah. Oke, oke aku pakai helm. Aku segera meninggalkan rumah dengan varioku dan tak lama sudah membelah jalan kaliurang yang ramai.
*
            Perempuan itu bernama Amirah, ibu tiriku. Ibuku sendiri meninggal dua tahun lalu. Setahun kemudian ayahku menikahi Amirah. Perawan tua yang masih tetangga kampung juga.
            Hubunganku dengan Amirah tidak terlalu baik. Kadang aku tak sopan dan memperlakukan dia seperti pembantu. Sejauh ini ia selalu sabar. Tapi kesabarannya pernah teruji ketika ayah membelikan aku vario beberapa bulan setelah mereka menikah.
            Aku sudah memperhitungkan dengan baik semuanya. Alasan Ayah menikah lagi adalah supaya aku punya teman di rumah. Ayahku pelaut yang hanya tiga bulan sekali pulang ke rumah. Sebagai teman, Amirah nggak asyik. Dan ternyata ia pernah kecelakaan motor sehingga trauma naik motor. Jadi ia tak bisa mengantarkan aku ke sekolah. Ayah tak bisa menolak permintaanku. Apalagi kondisi transportasi di Jogja turut mendukung kebutuhanku ini. Dari jalan kaliurang tempat tinggal kami, untuk menuju sekolahku di kota, hanya ada angkutan umum butut yang lewat tiap setengah jam. Kalau menggantungkan diri pada kendaraan reyot itu, aku bisa telat setiap hari. Setelah ayah, aku dan Amirah sempat adu argumentasi mengenai perlu tidaknya membeli motor, akhirnya aku yang menang.
            Ya, aku tahu sebenarnya aku belum boleh mengendarai motor. Aku baru 16 tahun. Ayah sangat ketat mengajari aku di saat cutinya. Banyak anak-anak di bawah umur naik motor tanpa pengetahuan yang cukup mengenai aturan lalu lintas. Ayahku memastikan aku tahu semuanya. Mulai dari ngapalin rambu-rambu, sampai etika berkendara di jalan raya. Selalu berikan tanda sebelum membelok, tak boleh melaju lebih kencang dari 40 km/jam di dalam kota, memberi kesempatan pada orang yang mau menyeberang, dan masih banyak lagi. Kata ayah, untuk meminimalkan pelanggaran. Padahal tidak punya SIM itu kan sudah merupakan pelanggaran berat sebenarnya. Ah, biar saja. Kurasa hampir setengah dari penduduk Jogja melakukannya. Sebagian besar teman sekolahku juga naik motor dan aku tahu pasti mereka belum tujuh belas. Pak Polisi di jalan raya juga jarang merazia anak sekolah. Kalaupun ada yang ketangkap biasanya dinasihati saja. Polisi pasti pahamlah, pemerintah belum menyediakan transportasi yang memadai untuk kami para pelajar.
            Amirah yang kesal atas konspirasi kejahatanku bersama ayah, akhirnya melunak. Tapi ia mengajukan syarat, aku hanya boleh pakai motor untuk keperluan sekolah. Makanya ia tadi tampak benar-benar marah ketika aku bandel mau cari angin pakai vario.
*
            Aku berhenti di lampu merah, menunggu lampu berubah hijau. Iseng kuperhatikan kendaraan yang melaju di sisi kanan jalan. Sekilas kulihat wajah yang kukenal melintas menuju utara. Hmm, masih memakai seragam abu-abu putih. Penasaran aku masih mengikutinya dengan pandangan mata sampai badanku berbalik 180 derajat. Astaga, motornya goyang kehilangan kendali. Lalu terdengar bunyi tumbukan keras dan motornya terguling.
            “Raisa!” teriakku tanpa sadar. Aku kebingungan hendak berbalik arah. Teman sekolahku kecelakaan! Kulihat orang mulai berkerumun. Oh, aku juga harus melihatnya. Memastikan keadaannya baik-baik saja. Walaupun ia musuhku di sekolah, tapi bagaimanapun kami ini bernasib sama. Anak-anak di bawah umur yang mengendarai motor karena keterpaksaan. Iyalah. Nggak ada yang bisa antar kami, nggak ada kendaraan umum dari pemerintah dan belum ada namanya abonemen taksi. Mahal, bok. Pakai ojek? Jasa antar jemput? Iya bisa sih sebenarnya buat aku atau Raisa karena orangtua kami mampu. Tapi bagaimana dengan teman-teman kami yang lain? Sudahlah, pokoknya aku nih lagi membuat alasan pembenaran bahwa apa yang kami lakukan tidak salah. Tapi keadaan yang memaksa.
            “Permisi …. Itu teman saya,” aku merangsek kerumunan setelah memarkir motorku di depan sebuah bank dekat tempat terjadinya kecelakaan.
            “Raisa…,” aku tertegun dan mulai panik melihat seragam putih Raisa bernoda darah. Seorang laki-laki membantu membuka helmnya. Raisa lemah dan tidak sadar.
            “Mbak temannya? Tolong hubungi keluarganya,” ujar seorang perempuan.
            “I … iyaa … tapi, saya nggak punya nomor teleponnya.”
            Aku mendekat. Dadaku berdegup kencang dan airmata mulai menetes tanpa dapat kucegah. Raisa yang suka petantang-petenteng di sekolah. Yang mulutnya dengan ringan sering mencercaku judes. Pernah juga jambak-jambakan denganku. Kini dalam kondisi tak berdaya. Dan aku nggak bisa tertawa. Aku sadar hal yang sama juga bisa menimpaku.
            “Icha … Icha … bangun, Cha,” panggilku dengan panggilan kesayangannya. Mana pernah aku memanggilnya Icha dalam kondisi normal. Nggak usah sok imut, itu yang sering kubilang padanya. Dan aku lebih sering memelesetkan namanya menjadi ‘Ra iso’, bahasa jawa yang artinya ‘nggak bisa’.
            Aku meraih tangan Raisa yang terkulai.
            “Saya … ikut PMR di sekolah,” jelasku pada lelaki yang menolong Raisa. Aku nggak dapat denyut nadinya! Aku panik dan memanggil-manggil namanya.
            “Masih hidup. Nadinya lemah,” jawab lelaki itu meredam kepanikanku. “Temannya diangkut ke rumah sakit secepatnya. Mbaknya ikut, ya. Nanti tolong diperiksa ponsel temannya. Pasti ada nomor telepon ibunya.”
            Aku mengangguk dengan badan gemetar.
            Raisa segera digotong dengan hati-hati ke sebuah mobil. Raisa dibaringkan di jok tengah. Seorang ibu yang sepertinya istri lelaki tadi, menyelimuti Raisa. Aku menerima tas Raisa dan ikut duduk di dalam mobil.
            “Eh, motor….?” tanyaku.
            “Motornya biar diurus polisi. Sudah dipanggil. Yang penting nyawa manusia dulu,” jawab lelaki yang kemudian kutahu bernama pak Rully.
            “Motor saya di depan bank,” jelasku.
            “InsyaAllah aman, Mbak. Kan ada security.”
            Kamipun melaju ke rumah sakit.
*
            Raisa segera mendapatkan pertolongan di UGD. Aku sudah mengaduk-aduk nomor telepon di ponselnya. Dan sudah menghubungi mamanya. Ketika orangtua Raisa datang, pak Rully dan istrinya, bunda Sulis menjelaskan kronologis kejadian. Aku juga menjelaskan bahwa aku kebetulan lewat dan melihat kejadian tersebut.
            “Nah, karena orangtua Raisa sudah datang, sekarang kita bisa pulang. Ayo, Lula, kami antar kau pulang dulu,” ujar Pak Rully.
            “Ambil motor dulu, Mas,” bunda Sulis mengingatkan. “Nanti, biar Pak Rully yang mengendarai motormu pulang. Kamu naik mobil saja bersama saya, ya?”
            Aku mengangguk. Tadi aku sudah banyak ngobrol dengan bunda Sulis. Mengakui bahwa aku dan Raisa sama-sama belum punya SIM. Sempat juga bertahan pada alasan pembenaranku bahwa kami naik motor karena keadaan yang memaksa.
            “Hal itu tidak bisa dipungkiri,” ucap bunda Sulis kalem. “Tapi aturan dari kepolisian dibuat demi keamanan kita juga. Usia tujuh belas itu batas, di mana seorang anak dianggap sudah mempunyai kematangan untuk dapat mengendalikan kontrol emosi saat berkendara di jalan raya, Lula.”
            “Tapi mama tiriku nggak bisa naik motor, Bun. Ayahku pergi berlayar. Kendaraan umum jalan seperti siput.”
            “Coba berbagi rezeki dengan tetangga,” usul bunda Sulis.
            “Maksudnya, Bun?”
            “Ya siapa tahu ada tetangga nggak punya kerjaan, tapi bisa naik motor. Tawarkan untuk antar jemput kamu ke sekolah. Nggak lama. Beberapa bulan lagi kamu sudah bisa ikut ujian SIM, kan?”
            Aku mengangguk setuju. Lagipula, setelah melihat sendiri kejadian kecelakaan yang menimpa Raisa, rasanya aku sudah nggak berani lagi naik motor. Memang belum saatnya bagiku dan juga Raisa untuk berkendara sendiri di jalan raya. Hmm, kalau sudah cukup umur mengurus SIM, aku akan membujuk ayah untuk mengizinkan aku mengurus SIM A.
            Mama Amirah berdiri di teras menungguku dengan raut muka cemas. Apalagi melihatku datang diantar oleh dua orang asing. Bunda Sulis segera menjelaskan semuanya dengan padat, singkat dan jelas. Bunda dan suaminya menolak secara halus tawaran Mama untuk singgah masuk ke rumah. Mereka harus segera pulang.
            Mama meraih pundakku dan mengajakku masuk ke dalam rumah.
            “Untung kamu baik-baik saja, Lula. Mama panik karena sudah lepas maghrib kamu belum pulang juga.”
            “Maafkan Lula, Ma. Oya, mulai besok, Lula mau diantar Mas Bimo. Dulu Mama pernah bilang kalau adik Mama bisa ngantar jemput Lula, kan?”
            Mama Amirah melongo. Mungkin bukan karena aku mau pakai jasa antar jemput. Tapi karena aku memanggilnya Mama. Iya, aku lelah sekali hari ini. Setelah kecelakaan Raisa, aku baru sadar bahwa Mama Amirah, adalah satu-satunya kerabat dekatku, saat ayah sedang berlayar. Jadi aku sudah harus mulai berdamai dengan kehadirannya di rumahku.
            “Kita makan, yuk, Lula? Mama sudah bikin pepes ikan nila kesukaanmu,” kata Mama Amirah tersenyum bahagia. Kulihat genangan air di matanya.
            “Iya. Aku mau mandi dulu. Gerah. Eh, tapi kok rumah sudah sejuk, ya?”
            “AC-nya sudah diperbaiki,” jelas Mama.
            Aku tersenyum. Kukecup pipi Mama sebelum aku melenggang pergi ke kamar mandi, meninggalkannya untuk memberi kesempatan ia menghapus aliran airmata haru di pipinya.**   

Blog Post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen 'Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan' #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com

Doa Untuk Negeriku, Indonesia



Aku selalu merasa aku mencintai Indonesia. Aku selalu terharu bila mendengar kisah-kisah tentang negeriku. Aku bangga jika membaca tentang kekayaan alam yang berlimpah. Aku tersentuh pada kisah perjuangan merebut kemerdekaan dulu. Aku menangis saat bencana melanda negeriku.

Tapi cukupkah itu sebagai bukti cinta negeri?

Beberapa hari ini aku merenung seberapa cinta aku pada negeriku. Cinta itu harus terukur dengan sebuah kiprah yang kulakukan untuk negeri. Tapi apa hasilnya? Ternyata aku belum berbuat banyak untuk negeri. Bahkan mungkin belum berbuat apa-apa. Justru negeri ini yang telah memberi aku banyak.

Maka aku hanya bisa berdoa dalam sebuah mimpi dan asa akan Indonesia di masa depan. Begini mimpiku untuk Indonesia:

Indonesia kelak akan menjadi negara paling diminati untuk tinggal, bekerja, berwisata ataupun melanjutkan pendidikan. Di suatu masa, generasi muda menyadari bahwa pengelolaan Indonesia sebagai sebuah negara adalah dengan tidak menafikan kodrati lahiriah Indonesia sebagai negara kepulauan.

Indonesia adalah negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang perlu dilindungi, baik flora fauna daratan maupun laut. Itulah kekayaan sejati yang harus dipertahankan tidak hanya oleh masyarakat Indonesia sendiri melainkan oleh masyarakat seluruh dunia. Maka masyarakat seluruh dunia harus bahu-membahu membantu agar masyarakat Indonesia sadar akan kekayaannya. Memberikan donasi untuk pendidikan dan pengelolaan lingkungan, sehingga kelak akan lahir generasi hebat dengan otak brilian – anak-anak Indonesia – yang akan bertanggungjawab menjaga kelestarian alam.

Selain di bidang pendidikan dan lingkungan, Indonesia akan menjadi negara dengan toleransi beragama yang tinggi. Tak ada lagi saling caci antar umat beragama. Semua agama yang ada di Indonesia menggali kembali akar agamanya masing-masing. Berkiblat pada keagungan akhlak para rasulnya. Keagungan akhlak dalam mencintai sesama dan menjamin keamanan antar umat.

Aamiin....

Mungkin kelak, aku tak lagi tegak berdiri jika mimpiku menyata. Namun aku akan tenang di manapun aku berada, karena anak dan cucuku akan menikmati Indonesia yang lebih baik. Tanpa asap, tanpa demo buruh, tanpa kekerasan anak, tanpa pelecehan agama dan tanpa kemiskinan.

*Tulisan ini disertakan dalam lomba nulis #CintaIndonesia IIDN Jogja


Senin, 26 Oktober 2015

Lima Kesalahan dalam Fiksi (Cerpen)

Kebetulan tadi di perpus nemu buku tentang nulis. Buku itu adalah sebuah handbook yang berisi essay-essay tentang kepenulisan. Saya translate sebagian untuk dibagikan. Here they are....




Lima Kesalahan dalam Fiksi (Cerpen)

1. Opening yang buruk
Paragraph pertama harus langsung menohok. Masukkan sesuatu yang baru di kalimat pertama. Sesuatu yang unik mengenai karakter atau situasi yang membuat kita ingin terus melanjutkan membaca. Tentu saja paragraph selanjutnya juga harus sama menariknya.

2. Overwriting
Cerpenmu terlalu banyak kalimat penjelas, detail yang tidak perlu, bertele-tele dan tidak to the point. Solusinya: endapkan ceritamu setelah menyelesaikannya, baca dan revisi seminggu kemudian, potong kata-kata yang tidak penting.

3. Plot yang menyedihkan
Alur cerita terlalu sederhana. Terlalu kuno, itu-itu saja. Alur yang jadul boleh digunakan asal penulis memasukkan sesuatu yang ‘baru’ di situ. Misalnya kisah perjodohan, sejak zaman siti nurbaya itu alur yang umum. Coba memberikan kesan kekinian pada sebuah cerita dengan plot perjodohan.

4. Karakter yang tidak berkembang
Karakter yang diciptakan harus natural. Tidak stereotype, misalnya pengusaha selalu digambarkan kaku, rapi, perfeksionis. Lelaki pengangguran selalu digambarkan malas dan suka nongkrong. Coba gambarkan lelaki pangangguran yang tiap jumat malam ikut kursus line dance, tentu itu menarik.

5. Tidak ada point penting

Sebuah cerita harus dapat mengejutkan, atau menakutkan, atau membuat pembaca merenung, tertawa dan menangis. Kalau tidak, untuk apa dibaca? Tulis apa yang paling menarik buatmu. Karena jika kita menulis sesuatu yang tidak terlalu berarti, itu akan terlihat dan pembaca juga tidak akan tertarik.



7 deadly sins

Cerpenmu akan dilempar ke tempat sampah, jika kamu melakukan tujuh dosa mematikan berikut ini:
1. Terlalu berkhotbah
2.  Diawali dengan sesuatu yang klise, misal: Pada suatu malam yang gelap. Udara dingin berkabut, bla bla bla
3. Nama tokoh aneh, misal: Britynna, Merzemers, dll
4. Kurang pengetahuan, misalnya menulis tentang komputer, pastikan penulis paham istilah-istilah terbaru atau paling tidak bagian-bagian komputermu sendiri.
5. Cerita yang terlalu autobiografi, karena akan terkesan curhat.
6. Judul yang imut, misalnya Getting Vanessa, Moving Shane – ini agak kurang mudeng, mungkin maksudnya judul yang lugu, misalnya Kalya yang Cantik, atau Innovie si Keren … yahh semacam itulah (bukain kantung kresek).
7. Surat pengantar yang tidak profesional, misalnya:
-          Penuh informasi yang tidak relevan (editor tidak butuh info garis besar ceritamu, berapa lama kau menulisnya atau apa kesan seorang penulis yang (agak) terkenal tentang karyamu)
-          Tulis singkat, kalau mencantumkan karya, pilih karya-karya terbaru dan pastikan surat pengantarmu tak lebih dari satu halaman.

Bagaimana, naskahmu sudah bebas dari lima kesalahan dan tujuh dosa mematikan? Yuk, dicek ulang

By: Moira Allen (penulis lepas). The Writer. September 2002.

Senin, 19 Oktober 2015

Akhlak Dalam Islam (Resume tausiah AA Gym - serambi islami TVRI)


Saya suka menonton acara ceramah agama pagi-pagi di TVRI, judul acaranya serambi Islami. Tiap hari narasumbernya ganti-ganti. Salah satu favorit saya AA Gym, yang biasanya mengisi di hari Senin pagi bakda subuh. Pada suatu senin saya sempat mencatat tema yang penting dari tausiah AA Gym, yaitu tentang akhlak. Daripada catatan berserakan, lebih manfaat saya share via blog. Semoga ada yang tercerahkan.

Tahapan Akhlak dalam Islam ada tiga, yaitu:
1. Saya aman bagimu.
    Lisan dan perbuatan kita tidak menyakiti orang lain
2. Saya menyenangkan bagimu
    Kalau ada kita, orang senang
3. Saya bermanfaat bagimu
    Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi sesama.

Rasulullah SAW diutus ke bumi dengan tujuan untuk menyempurnakan akhlak manusia. Agar akhlak baik, kita yang pertama harus mau berakhlak baik, tahu tentang akhlak dan melaksanakan latihan secara terus menerus agar akhlak kita baik.

Jangan sampai kita sibuk menata rumah daripada menata hati, lebih sibuk mencuci baju daripada mencuci hati yang kotor. Pikirkan berapa banyak kita membeli baju untuk mengotori hati? Beli baju supaya cantik, beli baju jadi centil, beli baju takut rusak, kotor, dll.

Ini dari akhlakul karimah dalam Islam adalah akhlak yang diniatkan sebagai ibadah yang semuanya ditujukan pada keridhaan Allah SWT.

Bagaimana sikap kita terhadap orang non Islam yang baik?
Jangan mengkafirkan, tetap bersikap baik dan doakan agar ia mendapat hidayah dari Allah SWT. Agama Islam hadir bukan untuk kaum Islam saja, melainkan rahmatan lil alamiin, rahmat untuk semesta alam.

Bagaimana sikap kita terhadap pemimpin non muslim?
Sama dengan di atas. Selama instruksinya baik, berpegang pada kebenaran, harus kita dukung. Kalau instruksinya menyuruh pada kemungkaran, harus kita ingatkan.

Bagaimana caranya agar anak mempunyai akhlak yang baik?
1. Pertama kita harus sadar bahwa anak itu milik Allah. Allah yang mengurus anak kita. Kalau ingin anak baik, kita duluan yang musti baik.
2. Kita berikan lingkungan terbaik untuk anak. Pendidikan yang baik.
3. Jangan lupa doa. Kita doakan sekuat tenaga agar Allah membolak-balik hati anak kita. Meluruskan yang bengkok, mengistiqomahkan yang sudah lurus, karena sejatinya bukan kita yang berperan besar terhadap perubahan akhlak anak, tapi hanya Allah saja yang bisa mengubah anak kita menjadi lebih baik.

Tahapan memperbaiki diri agar akhlak menjadi baik:
1. Bertekad untuk memperbaiki diri
2. Bercermin pada akhlak Rasulullah SAW. Rasulullah adalah insan yang paling baik akhlaknya. Ikuti semua perintahnya. Bila Rasulullah bicara : Jangan marah, maka bagimu surga. Maka ikutilah. Berusahalah untuk tidak/ sekuat tenaga menahan marah. Karena kalau kita sudah terlanjur marah, maka setan akan berbisik menyuruh kita menambah volume suara, menambah lebar mata dengan melotot, dan akhirnya malah akan memperburuk suasana dan tidak menghadirkan solusi.
Kalau perlu jangan membaca referensi lain sebelum paham benar tentang akhlak Rasulullah.
3. Riyadhoh/mujahadah. Latihan secara rutin dan tak kenal lelah. Latihan menarik napas panjang jika sudah ada tanda-tanda kesal di hati. Latihan tersenyum di cermin agar kehadiran kita selalu menyejukkan hati orang-orang terdekat.
4. Istiqomah atau disiplin.

Semua langkah di atas dibarengi dengan selalu meminta pertolongan Allah SWT agar dimudahkan mencapai tujuan yang diharapkan.

Semoga resume ini bermanfaat.

Jumat, 09 Oktober 2015

Cerpen ketiga di majalah Bobo: Misteri Bau Nenek


Misteri Bau Nenek
Oleh: Kalya Innovie

            Nenek sudah meninggal tiga bulan yang lalu. Waktu itu Vini dan Dodi pergi ke Jogja bersama Ayah dan Ibu, untuk ikut menyaksikan Nenek dimakamkan. Sedih sekali ditinggal Nenek. Nenek orang yang senang bergurau dan baunya selalu harum.
            Pagi ini, Tante Cica datang ke Malang. Tante Cica adalah adik Ibu yang paling kecil. Selama ini, Tante tinggal di Jogja mengurus rumah Nenek.
            “Vini, Dodi, Tante kangen,” ucap Tante Cica memeluk Vini dan Dodi saat tiba di rumah. Ayah tadi yang menjemput Tante di stasiun. “Tante bawa bakpia banyak lho buat kalian. Yang rasa keju dan rasa cokelat.”
            “Terima kasih, Tante. Dibawa ke sekolah, boleh? Untuk bekal, Bu?” tanya Vini dengan mata berbinar melihat kotak-kotak bakpia keju bertumpuk di meja makan.
            “Boleh,” sahut Ibu, membantu Vini menata bakpia di kotak bekalnya. “Dodi mau juga?”
            Dodi mengangguk, sambil mengunyah nasi goreng sarapannya. Saat Tante Cica tiba, Vini dan Dodi memang sedang bersiap-siap berangkat sekolah.
            “Tante juga bawa salak pondoh, mau dibawa juga ke sekolah?” tanya Tante Cica, masih membongkar tas berisi oleh-oleh.
            “Nggak usah, Te. Salaknya buat dimakan di rumah saja,” jawab Dodi.
            Tak lama, setelah siap, dua adik kakak itu segera berpamitan. Mereka ke sekolah naik sepeda, karena jarak sekolah tidak terlalu jauh dari rumah. Jalanan pun tidak terlalu ramai.
            “Kak Vini, ngerasa ada yang aneh, nggak, dengan Tante Cica?” tanya Dodi saat mereka sudah agak jauh dari rumah.
            “Iya, Dod. Baunya, kan? Bau Tante, mirip bau Nenek.”
            “Hiii, ngeri, ya, Kak.”
            “Ssst, kalau menurut Kakak, Tante Cica pasti pakai parfumnya Nenek.”
            “Ooh…iya, ya. Bisa juga. Dodi kira, Nenek ikut juga pergi ke Malang, cuma…nggak kelihatan…hiii,” Dodi mengayuh sepedanya cepat-cepat meninggalkan Vini.
            “Huu, dasar Dodi. Terlalu banyak nonton film hantu. Hai, tunggu!” Vini buru-buru menyusul adiknya.
*
            “Tante Cica nggak capai, dari perjalanan?” tanya Vini sepulang sekolah. Tante sedang membantu Ibu menyeterika.
            Tante Cica tersenyum.
            “Tante nggak capai, Vin. Justru Tante rasanya segar menghirup udara Malang yang sejuk. Kalian siap-siap ya, Tante mau jalan-jalan ditemani kalian lihat-lihat kota. Kita cari bakso yang enak.”
            “Oke, Te.”
            Vini berjalan masuk ke kamarnya hendak mengganti baju. Ia singgah dulu ke kamar adiknya.
            “Dod, ada yang aneh lagi. Biasanya, Tante Cica kalau ke Malang, hari pertama selalu tidur seharian, kan? Alasannya capai dan masuk angin. Tapi sekarang kok, beda, ya? Malah semangat bantuin Ibu dan masih mau ngajak jalan-jalan juga!”
            “Nggak papa, Kak. Malah bagus. Ibu nggak marah-marah gara-gara Kak Vini malas bantuin kerjaan rumah, dan kita juga senang dapat bakso gratis!”
            “Yee, bukan itu, Dod. Maksud Kakak, mirip Nenek kan, tiap datang ke sini juga begitu. Nggak ada kata capai, langsung saja kerja, bikin kue atau bersihin kebun. Ya, nggak?”
            “Wah, iya, Kak. Jangan-jangan gara-gara pakai parfum Nenek, Tante jadi kerasukan Nenek!”
            “Hish, jangan keras-keras suaranya, Dodi. Nanti Ibu sedih kalau dengar kita ngomongin Nenek. Nggak mungkin, kan, Nenek jadi hantu. Nenek kan, orang baik.”
            “Jadi bagaimana, masih mau ngebakso atau membahas Tante Cica, nih?”
            “Bakso dulu, dong. Cepetan sana ganti baju!”
*
            Dengan gembira, Vini dan Dodi pergi jalan-jalan menemani Tante Cica. Mereka naik angkot warna biru ke arah kota. Makan di sebuah kedai bakso yang paling terkenal di kota Malang. Sebuah kedai bakso yang lokasinya pas di samping rel kereta api. Dodi paling senang makan di sana. Biasanya setiap makan di sana, dua atau tiga kereta api melewati rel. Suaranya memang berisik, tapi rasanya seru, makan bakso sambil melihat kereta api lewat.
            Setelah makan bakso, mereka pergi ke pusat perbelanjaan terbaru di kota Malang. Hanya putar-putar cuci mata. Setelah puas, baru mereka pulang ke rumah. Setelah mandi dan mengerjakan PR, Vini dan Dodi tertidur karena kelelahan.
            Vini terbangun karena mencium bau wangi khas yang ia kenal baik. Wangi kenanga kesukaan  Nenek. Tiba-tiba ia merasa merinding. Ia beranikan diri untuk mendekati asal bau wangi itu. Sepertinya dari arah dapur. Lampu ruang makan dan dapur sudah dimatikan, tapi Vini melihat ada seseorang berdiri di dekat meja dapur. Jantung Vini berdetak kencang saat bau itu semakin tajam. Lalu tampaklah sesosok tubuh dengan rambut digelung di atas kepala, memakai daster gombrong warna putih bunga-bunga. Vini tahu itu daster siapa.
            “Ne…ne…nenek!” Vini terpekik, lalu jatuh lemas di lantai.
            “Vini, ada apa?” sosok itu mendekat. Vini mendengar pintu kamar orang tuanya terbuka dan Ibunya keluar.
            “Ada apa, Cica?”
            Lampu dinyalakan. Vini dapat melihat dengan jelas bahwa sosok yang ia kira Nenek, adalah Tante Cica.
            “Kamu kenapa, Nak?” tanya Ibu.
            Tante Cica memberikan segelas air untuk diminum oleh Vini.
            “Vini kira…tadi…Vini melihat Nenek,” ucap Vini menatap Tante Cica. Ibu melirik daster yang dipakai Tante.
            “Oh…gara-gara Tante pakai baju ini, ya? Maaf ya, Vin. Pasti kamu takut sekali, ya?” ucap Tante Cica.
            “Vini juga cium bau wangi kenanga tajam banget, seperti bau Nenek, Te. Benar, Bu!”
            Ibu tersenyum. Tante Cica juga.
            “Memang ada bau kenanga,” ucap Tante Cica. “Tapi bukan bau Nenek. Melainkan bau Tante Cica. Nih, Tante ikut-ikutan kebiasaannya Nenek, menyeduh bunga kenanga untuk diminum.”
            Tante menunjukkan sebuah cangkir berisi air dan bunga kenanga. Aroma kenanga memenuhi hidung Vini.
            “Itu…diminum?” tanya Vini.
            “Iya. Ini rahasia awet muda Nenek sejak bertahun-tahun lamanya,” jelas Tante Cica. “Vini lihat, kan, Nenek itu seperti tidak kenal lelah. Selalu bersemangat. Dan bau tubuhnya harum sewangi kenanga. Sejak Nenek meninggal, Tante merawat kebun Nenek dan kenanga-kenanga Nenek. Sebagian bunga kenanga itu biasanya dijual di pedagang kembang, tapi masih sisa banyak. Sudah dua bulan ini, Tante mencoba resep awet muda Nenek dengan minum air seduhan kenanga. Dan, itu berhasil, lho. Tante merasa selalu segar dan sehat. Nggak sering lemas seperti dulu. Gitu ceritanya, Vini….”
            “Ooh…,” Vini manggut-manggut menerima penjelasan dari Tante Cica. Penjelasan itu masuk akal. Buktinya Tante memang sekarang wangi dan bersemangat, beda dengan yang dulu.
            “Sudah jelas, kan? Pasti kamu tadi sudah mikir seperti di film horor, ya?” tanya Ibu. Pipi Vini memerah malu.
            “Ya sudah, sana tidur lagi. Jangan lupa berdoa sebelum tidur, ya.”

            Vini mengangguk berjalan kembali ke kamarnya. Masih terdengar di telinganya Ibu dan Tantenya tertawa berdua. Eits, samar terdengar suara tawa yang lain…lirih dan khas seperti suara tawa Nenek! 
COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES