Selasa, 27 November 2018

[Resensi Buku]: Pendekar Tongkat Emas, behind the scene

Judul Buku        : Pendekar Tongkat Emas, Behind the Scene (PTEBTS)
Penulis              : Rita Triana Budiarti
Penerbit            : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit       : 2014
Tebal buku        : 132 halaman

Gambar dari Wikipedia

Setelah menikah, saya jarang nonton movie. Beberapa film yang ingin saya tonton biasanya hanya masuk dalam daftar wish list, dan nunggu diputer stasiun televisi untuk menontonnya, hahaha. Kemarin iseng-iseng nyari bacaan di i-Jak, saya dapat buku ini dan ingat bahwa dulu saya sempat kepingin nonton filmnya. Karena keinginan nonton filmnya belum terpenuhi, saya baca aja buku ini.

Ini adalah buku yang ditulis berdasarkan film. Jadi filmnya dulu dibuat, baru buku ini ditulis. Ya, namanya juga buku behind the scene, alias buku yang memuat alasan dan proses bagaimana film ini dibuat. Buku ini diawali dengan penceritaan mengapa Mira Lesmana (produser) sangat antusias membuat film silat. Rupanya sejak kecil Mira suka membaca komik silat. Secara bertahap, empat penulis terlibat dalam pembuatan sinopsis dan plot cerita. Setelah tersusun, pembuatan skenario diserahkan pada Jujur Prananto. Sastrawan Seno Gumira Adjidarma juga terlibat dalam memberikan sentuhan filosofi pada dialog dan karakter.

Lokasi cerita bertempat di Sumba, yang telah dibayangkan oleh Mira Lesmana sejak awal membayangkan film ini. Di buku ini banyak foto-foto indah Sumba, saat hunting lokasi dan juga saat syuting sudah dimulai.

Selain menceritakan hal ihwal bagaimana ide film muncul, buku ini juga menceritakan proses casting para pemainnya, proses pembuatan kostum, dan pembuatan tongkat emas. Berderet bintang menjadi pemeran dalam film ini, mulai dari Christine Hakim, Reza Rahadian, Nicholas Saputra, Eva Celia, dan Tara Basro. Kostum yang dikenakan sederhana dengan warna-warna alam. Tongkat sebagai properti utama, dikerjakan oleh seniman dari Bali.

Tongkat Emas
sumber: ilustrasi buku PTEBTS


 Yang tak kalah penting adalah koreografi laga dan latihan fisik. Sebagai pelatih koreografi laga, tak tanggung-tanggung, Mira mendatangkan Xiong Xin Xin, seniman bela diri dan aktor pengganti dari Tiongkok. Xin Xin ini pernah menjadi stuntman Jet Lee di beberapa filmnya.

 Tara Basro
sumber: ilustrasi buku PTEBTS


Secara khusus tidak ada yang istimewa dengan buku ini. Bahkan cerita filmnya pun tidak dikisahkan secara detail. Yang menarik mungkin lebih pada gambar-gambar yang tak akan kita temukan dalam film. Serta pemahaman kita setelah membaca buku bahwa proses pembuatan film itu tidak mudah. Persiapannya butuh beberapa tahun, dan biaya yang digunakan untuk memproduksi film pun tak sedikit. Salut buat Mira Lesmana, yang masih idealis membuat film-film bermutu untuk penonton di Indonesia.

Minggu, 25 November 2018

Resensi: A Piece of Love in Korea


Judul buku    : A Piece of Love in Korea
Penulis          : Deasylawati P
Tebal buku    : 287 halaman
Penerbit        : Gizone Books (Kelompok Penerbit Indiva Media Kreasi)
Tahun terbit   : 2012

Beberapa waktu lalu saya beli novel terbitan indiva yang sedang bikin proyek diskon 50%. Ini salah satu buku yang saya beli dari lima yang lain. Sesuai judulnya...hampir 80% dari novel bersetting di Korea. Kisahnya sendiri bercerita tentang Junaidi, seorang cowok berusia 27 tahun yang suka nonton drakor. Selain itu dia juga gamer sejak SMA. Nick namenya sebagai gamer adalah Jun Ai Dee (halagh). Nah si Jun ini punya sobat maya gamer juga dengan nick name F 123 atau lebih sering dia sebut F1. F1 itu cewek dan Jun ini cinta mati sama dia, walau cuma lihat dari selembar foto. Cinta itu dia pendam sampai mereka berpisah - sudah nggak ngegame lagi. Kemudian belakangan Jun tahu kalau si F1 sudah nikah. Galaulah dia sementara tekanan dari ibu dan saudara-saudaranya agar dia cepat nikah semakin kuat. Jun dikasih batas waktu dua bulan untuk mendapatkan calon istri. Kalau nggak dapat juga, kakak tertuanya akan mencarikan calon. 

Si Jun ini nggak suka dijodohkan. Ndilalah tepat dua bulan waktu habis, Jun menang lotere dengan hadiah dua hari jalan-jalan ke Korea (kebetulan banget nggak seh). Minggatlah ia ke Korea. Apesnya gak lama dari saat ia menjejakkan kaki di tanah kelahiran Gong Yoo itu, dompet berisi uang dan voucher nginep di hotel beserta hape dan seluruh identitasnya hilang. Saat sedang kalut kehilangan harapan, ada cewek yang kebetulan (lagi) adalah cewek Indonesia. Dan (kebetulan lagi) cewek ini ternyata adalah F1 yang digandrungi Jun sejak SMA. Busyeet kok bisa? Pan katenye F1 sudeh nikeh? (Eh kok jadi betawian gini yak). 

Jadi penjelasannya niy...waktu Jun lihat foto F1 ini lagi bedue ma sahabatnye. F1 niy gak pake jilbab sedangkan sahabatnye di foto make jilbab. Jun yang bego langsung aja mutusin sendiri kalau F1 itu yang jilbaban. Jadi selama bertahun-tahun dia mendamba wajah yang salah. Wajah yang tertukar kelees. Widih, maha benar reviewer dengan segala firmannya yak. Padahal gue kalau disuruh bikin novel engap-engapan. 

Secara keseluruhan, novel ini dituturkan dengan apik. Ngalir gitu bahasanya. Point plusnya Jun digambarkan sebagai muslim  taat yang gak pernah ninggal sholat, gak mau pacaran dan gak mau bersentuhan dengan cewek. Nggak terlalu sempurna macam Fahri-nya Kang Abik, si Jun ini punya segudang kekurangan juga, salah satunya suka ngelamun dan gampang cemas. Teledor. Ceroboh. Lebay. Aih, kok banyak banget, katanya cuma salah satu? Hahaha.




Kekurangan dari novel, di awal-awal penuh humor tapi mendekati ending jadi melow. Jadi hati pembaca ini macam terombang-ambing gitu, kakak... (halagh). Novel ini juga detil menggambarkan beberapa tempat di Korea. Tapi bagian ini banyak saya skip soalnya agak mbosenin. Nah gitu aja deh review suka-suka dari saya.
 



COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES