Minggu, 20 Mei 2018

Cerpen di harian Minggu Pagi: Nasihat Mama


Cerpen saya dimuat di harian Minggu Pagi, Jogjakarta sekitar bulan April 2018. Judulnya Nasihat Mama. Editingnya lumayan banyak, tapi bikin cerpennya jadi lebih enak dibaca. Berikut ini saya posting versi aslinya, cekidot.

 
Nasihat Mama

                Nggak ada tempat yang lebih nyaman di sekolah, kecuali kebun sekolah. Itu menurut Niar. Itu karena ia berbeda dengan temannya, para siswi SMA yang sedang menikmati masa-masa lebay. Cekikik sana, cekikik sini. Niar beda. Niar lebih suka tempat yang sunyi, di mana ia bisa membaca tanpa gangguan.
            Dan di sinilah selalu Niar berada tiap jam istirahat atau kapanpun ia punya waktu luang. Duduk di bangku menikmati semilir angin. Menatap bunga jagung yang berayun dan gerumbul tomat yang mulai meranum. Hasil kerja teman-temannya dari ekskul botani. Puas mengamati tanaman, Niar kembali menekuni bukunya.
            “Dor!”
Suara kencang Wida mengejutkan Niar. Ia memandang sahabatnya dengan bibir sedikit mengerucut.
“Selalu ada di sini,” ucap Wida tak peduli dengan kernyit di kening Niar. Gadis itu malah meniup permen karet yang ia kunyah sejak tadi, membuat balon besar di depan muka Niar. Plop! Balon permen karet pecah mengotori wajah Wida. Barulah Niar bisa tertawa gembira. Giliran Wida yang bersungut-sungut.
“Ayo, temani aku ke kelasnya Rajif,” ajak Wida setelah membersihkan wajah dari sisa permen karet.
“Rajif lagi,” gerutu Niar.
“Ayolah Niar. Aku pengen ngeliat wajah imutnya.”
“Pergi sendiri sana.”
“Nggak seru, Niar.”
Dengan langkah ogah-ogahan Niar menuruti kemauan Wida.
*
Rajif itu anak baru di kelas sebelah. Mukanya tampan karena ia keturunan India. Menurut Wida, lebih tampan dari Shaheer Sheik. Niar sih tak peduli. Ia tak tahu siapa itu Shaheer. Nasihat Mama selalu melekat di kepalanya. Jangan sering-sering memerhatikan cowok. Usiamu masih terlalu muda. Kalau sudah terjerat cinta remaja, seluruh pikiranmu akan terpusat pada cowok. Dan kelak pasti itu kamu sesali. Cinta akan datang pada waktu yang tepat. Dan menurut Mama, waktu yang tepat itu bukanlah waktu remaja.
Wida hanya nyengir saat Niar membeberkan nasihat Mamanya itu.
“Jadi karena itu kamu selalu membawa buku cerita ke sekolah? Dan tak pernah melepaskan pandanganmu dari buku? Hmm, menurutku justru kamu akan banyak kehilangan moment menyenangkan.”
Kali ini Wida menyeret Niar ke kantin. Duduk agak jauh dari tempat Rajif makan kudapannya. Dan curi-curi pandang pada cowok itu. Tak jemu-jemu Wida berceloteh perihal kegantengan Rajif. Niar mulai merasa jemu. Ia melihat banyak teman ceweknya cari-cari perhatian ke Rajif. Baik yang terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi seperti Wida. Niar mengalihkan pandang dari buku, dan mulai mengamati Rajif. Tak sadar ia sudah melanggar salah satu nasihat Mama.
*
            Mekarnya amaryllis di kebun sekolah menarik perhatian para siswi. Banyak yang berkunjung untuk sekadar selfie. Niar kehilangan ketenangan kebun sekolah di saat ia sedang membutuhkan tempat sepi untuk menata hatinya yang resah. Beberapa hari ini wajah Rajif selalu membayang di mata. Beberapa kali Niar menemukan dirinya menghabiskan waktu melamunkan cowok itu. Susunan kalimat Tere Liye dalam buku kesayangan tak lagi menarik hati. Hanya Rajif, Rajif dan Rajif yang menari menggoda hasrat. Niar tak suka perasaan ini. Semua gara-gara Wida. Semua gara-gara ia tak memegang teguh nasihat Mama.
            “Niar! Kenapa kamu nangis?” seruan kaget Wida menyadarkan Niar.
            Di sudut kebun sekolah, Niar menemukan alasan dalam bentuk seekor capung yang terbang menjauh.
            “Aku sedih lihat capung itu seperti terusir dari kebun, gara-gara banyak teman yang datang.”
            “Astaga Niar, capung aja kamu pikirin. Yuk, temani aku nontonin Rajif.”
            Ada yang bergemuruh di dada Niar saat Wida menyebut nama Rajif. Agar Wida tak curiga, Niar mengikuti langkah sahabatnya ke kantin.
            Kantin ramai. Seperti biasa, Rajif ada di salah satu meja, sedang makan siang. Wida menyenggol lengan Niar keras.
            “Rajif ngeliatin kamu, Niar.”
            Gugup, Niar menjatuhkan bukunya. Saat ia berdiri setelah menunduk mengambil buku yang terjatuh, Rajif sudah berdiri di hadapannya.
            “Hai, kamu Niar, ya? Kenalkan namaku Rajif.”
            Niar terpaku. Wida mencubit-cubit kecil tangan Niar.
            “Aku sudah beberapa hari ini memperhatikan kamu, Niar,” lanjut Rajif. Niar dan Wida semakin resah. Niar tak dapat mengalihkan tatapannya pada Rajif. Wida lebih-lebih. Terheran-heran menebak apakah Rajif suka pada Niar?
            Rajif tersenyum manis, meraih buku yang masih dipegang Niar.
            “Kamu ternyata suka novel karya Tere Liye, ya? Aku juga. Aku pinjam bukunya, ya?”
            Niar ternganga. Ternyata cuma mau pinjam buku?
            “Oh … eh … iya, silakan. Bawa aja bukunya.”
            Rajif melenggang sambil memegang buku. Niar terduduk sambil mengembuskan napas lega. Fiuh. Wida terbahak.
            “Ya ampun, nyaris gue patah hati dan berencana ngemil obat nyamuk. Kirain….”
            Niar mencoba tertawa juga. Tapi ada yang nyeri di hatinya. Duh, saat ini Niar butuh nasihat Mama.*
COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES