Senin, 27 Juni 2016

Hidangan ala Jawa dan ala Bugis beraroma PUASA dan LEBARAN - Day 22 Fasting

Hmmm, setelah kemarin mengulik tentang kue lebaran yang biasa saya makan, sekarang saya akan menampilkan beberapa masakan yang biasa saya makan di rumah orangtua saat lebaran. Dan hidangan yang pernah saya makan saat buka puasa di Bone, di rumah kakak ipar. Tapi no resep yaaa. Here we go....

HIDANGAN ALA JAWA


Opor Ayam Gurih


Sambel Goreng Ati


Lontong atau Ketupat


Brongkos Pedes


Telur Asin dari Brebes


Es Jelly


Krupuk Rambak


Satu piring lengkap sajian lebaran yang menggiurkan

HIDANGAN ALA BUGIS


Ayam Nasulikku' (ayam masak lengkuas)


Ayam bumbu merah


Sokko'/Songkolo' (ketan)


Burassa (sejenis lontong tapi ada rasa gurih santan yang khas)


Es kelapa muda


Semangkuk es kelapa muda yang dicampur biji selasih dan nata de coco, nikmat menggoda.

Nah, itu hidangan yang biasa saya nikmati di bulan puasa (pas buka) dan juga lebaran. Bagaimana, enak-enak semua, kan? Yuk, tulis juga hidangan buka puasa atau lebaranmu!

Minggu, 26 Juni 2016

Aroma Nastar - Day 21 Fasting

Tak terasa sudah hari ke-21, dan target-target Ramadhanku belum lagi tercapai. Tadarus masih jalan terus walau belum bisa tancap 2 juz perhari. Ngafalin surat baru sampai separuh. Tahajud-dhuha, sudah lumayan rutin walau tak setiap saat juga. Tapi better dibanding sebelum Ramadhan. Semoga akhir Ramadhan, target khatamku tercapai, aamiin...

Hari ke-21 pasti ibu-ibu sudah banyak yang mulai bikin-bikin kue lebaran. Hmm, di era yang serba praktis ini tentu ada yang memanfaatkan kemudahan dengan langsung membeli di toko, ya? Tapi kalau kue bikin sendiri, tentu kesannya akan jauh berbeda. Demikian saya rasakan saat kecil, karena Mama saya selalu bikin kue lebaran dengan penuh suka cita.

Dan di siang yang agak panas, aroma nastar lamat-lamat memenuhi hidungku. Rupanya bu kos dan putrinya sedang tandem bikin nastar. Hmm...dan saat aku sempat ngicip pas buka, nastarnya memang lembut, dengan bubuk susu yang agak kebanyakan, jadi gurih susunya terasa. Isi nastarnya tak terlalu masam karena juga dibuat sendiri dari campuran nanas dan tomat. Nah, sentuhan personal macam inilah yang tak akan ditemukan di stoples-stoples kue bikinan orang yang dijual di toko. Tak ada sentuhan kehangatan karena produsennya membuat kue dengan kejaran target dan hitungan-hitungan keuntungan. Nggak boleh rugi antara biaya bahan dan hasil penjualan, begitu bukan? Kue bikinan sendiri nggak pernah memperhitungkan itu semua. Kue bikinan sendiri dibuat dengan tambahan bumbu kasih sayang dan cinta.

Kue bikinan sendiri juga full of history, misalnya saya selalu ingat kue yang saya bikin bersama Mama tahun 2003, saat saya hamil anak pertama. Dalam kondisi hamil besar, saya membantu Mama saya ketika kemudian Mama saya menyadari bahwa kaki saya bengkak (mungkin kecapaian). Mama jadi agak panik (walau tak beliau tampakkan) dan segera menyuruh saya beristirahat.

Hmm, saya jadi rindu kue bikinan Mama saya. Di bawah ini ada beberapa kue kering andalan Mama saya.


Lidah Kucing Rainbow


Nastar dengan tangkai cengkih


Kaastengels yang juara dengan rasa keju yummy

Hmm ... kamu? Mana kue lebaranmu???

Masih Demam Cak Nun – Day 20 Fasting

Yaa, artikel kali ini masih bicara tentang Cak Nun yang mendadak saya kagumi. Kemarin siang saya sempat singgah Toga Mas. Begitu masuk lima langkah, menengok ke kiri, berjajar karya Cak Nun di rak tinggi (sepertinya dicetak ulang). Jelas saya singgah lihat-lihat dong. Mungkin kalau paginya saya nggak nonton kyai kanjeng, saya hanya akan melewatinya saja tanpa ada keinginan mendekat. Dan apakah saya beli bukunya? Ooh, tentu. Saya ambil yang paling tipis. Judulnya: “Kagum Kepada Orang Indonesia”. Tapi saya belum baca, jadi tak hendak bercerita tentang isi buku itu sekarang.



Malamnya saya traweh di masjid kampung. Seolah kompak dengan aura-aura Cak Nun dalam batas kesadaran saya, kultum yang disampaikan oleh sang imam ternyata nyambung dengan bahasan Cak Nun tentang doa. Imam menjelaskan secara singkat keutamaan berdoa, terutama berdoa untuk orang lain, secara diam-diam tanpa sepengetahuan orang yang kita doakan itu. Ketika kita berdoa untuk orang lain, malaikat akan mengaminkan dan menjawab doa kita. Misalnya kita berdoa:

“Ya, Allah berikanlah kekuatan untuk temanku si Fulanah dalam menghadapi segala cobaan dalam hidupnya, aamiin.”

Malaikat menjawab:

“Aamiin. Semoga demikian juga denganmu, yaa Indah.”

Nah, sangat istimewa bukan? Kita ‘hanya’ mendoakan teman kita, namun balasannya kita didoakan oleh malaikat. Oleh sebab itu janganlah berdoa untuk kejelekan orang lain, karena hanya akan memberikan keburukan kepada kita.

Dan pagi ini, walau sahurnya agak telat, saya mencari channel AdiTV untuk mencari Cak Nun. Beneran, acaranya sudah hampir berakhir. Cak Nun sedang mengakhiri jawaban pada pertanyaan terakhir dari audience. Tak apa walau cuma sepenggal, saya sampaikan di sini. Cak Nun menegaskan lagi pentingnya menekankan pada anak-anak kita kewajiban  MENGHINDARI MO LIMO : Main (judi), Maling (mencuri), Madat (narkoba dan sejenisnya), Minum (minuman yang memabukkan), Madon (main perempuan – berzinah). Bahkan Cak Nun bilang, sejak anaknya sudah bisa diajak berkomunikasi dua arah, hal itu sudah ia tekankan sebagai NO WAY … tak ada toleransi. Tak mengapa jika dalam perjalanan hidupnya anak coba-coba, misalnya main gaple suka-sukaan sama teman lalu pake duit dua ribuan. Tapi fakta bahwa main gaple itu JUDI dan HARAM hukumnya harus sudah tertanam kuat di benak anak. Jadi dia main gaple tanpa ada keinginan untuk mengulangi perbuatannya bahkan potensi yang muncul adalah rasa bersalah dan kemauan bertobat.

“Anak saya biar masih kecil sudah tahu MO LIMO. Sudah tahu bahwa lima hal itu harus dihindari.”

Hmmm, catat dengan mode bold italic dalam hati saya. Ini PR yang harus saya ajarkan pada anak-anak kalau saya kembali ke Makassar kelak.


Nah, itu saja, catatan hari ini. 

Jumat, 24 Juni 2016

Emha Ainun Najib di Sahurku – Day 19 Fasting

Sahur pagi ini sangat istimewa. Semua bermula ketika saya bawa piring makan saya di depan televisi dan melihat ibu kos sedang khusyuk menonton acara pengajian Kyai Kanjeng. Pengajian malam-malam Cak Nun di sudut Jogja yang ditayangkan ulang saat sahur di AdiTV. Bu Kos masih ngadepi TV (duduk dekat banget dengan televisi), ketika kusapa,

“Wah, ibu suka nonton pengajiannya Cak Nun?” tanyaku heran.

Ibu tersenyum.

“Ya, baru ini kok, Mbak. Ini yang nikah sama Novia Kolopaking itu kan, Mbak? Kok sudah tua, ya?”

Hahaha, ternyata bu kos lagi kepo toh.

“Iyalah, Bu. Dulu nikah sama Novia juga kan sudah tua, sudah duda,” sahutku.

Wah, pagi-pagi jadi nggibahin Cak Nun, nih. Astaghfirullah. Maaf ya, Cak Nun.

Akhirnya bu kos duduk menjauh, tapi tidak mengganti channel televisi. Tetap mantep menonton sambil mencari-cari siapa tahu Mbak Novia nongol. Tapi rupanya pagi itu Mbak Novia nggak ikut syuting. Jadilah saya dan bu kos mengikuti kajian Kyai Kanjeng dengan khusyuk.


Ini lho, Bu Kos ... Mbak Novia masih semaniz yang dulu

Saya sendiri belum pernah menonton acara Cak Nun ini. Tahu sih kalau stasiun televisi lokal Jogja itu selalu menayangkan Kyai Kanjeng. Tapi entahlah saya selalu kurang tergerak untuk mencermatinya. Saya lebih memilih menonton tausiyah Mamah Dedeh, Ustd Maulana atau AA Gym dan sesekali Ustd YM.

Kali ini saya ‘terpaksa’ menonton Cak Nun dan Masya Allah … ternyata sungguh saya tersentuh oleh gaya beliau. Saat sedang bertausiyah, saya masih kurang konsen karena lebih konsen berperang melawan sayap ayam bumbu opor di piring saya, tapi saat tanya jawab, saya terpaku menatap monitor televisi. Terpesona, manggut-manggut, lalu tertawa-tawa penuh kagum melihat gaya Cak Nun menjawab pertanyaan. Mungkin cara saya menuliskannya berikut ini tak akan bisa menggambarkan hebohnya pengajian Cak Nun, tapi baiklah saya coba berbagi di sini, ya.


Gaya Cak Nun yang ekspresif

Penanya pertama seorang anak muda santun yang mengeluh bahwa ia ingin mengajari anak-anak di sekitar tempat tinggalnya mengaji. Tapi mengapa anak-anak ini kurang sopan-santun. Kalau ia memberi hukuman sedikit saja juga sudah heboh lapor kepada orangtua. Bagaimana sebagai guru ia harus bersikap?

Penanya kedua seorang bapak berusia 40-an tahun. Ia mengaku selama ini belum tertarik belajar agama secara benar. Baru sekaranglah ia tertarik untuk belajar pada seorang guru/ulama. Tapi ia bingung mau belajar pada yang mana, karena menurutnya ulama-ulama itu kok semua pada bertolak belakang. Yang satu bilang A, yang lain bilang B. Padahal menurut si bapak, di akhirat nanti kita kan dikumpulkan bersama guru-guru kita. Nah, kalau kita pilih guru yang salah, kita masuk neraka, dong. Kalau ikut ulama-ulama itu sama-sama masuk neraka, mending tidak usah belajar agama saja. Atau bagaimana, Cak Nun? (pertanyaan ini menurutku unik tenan dan rada menggelikan, belajar agama wae bingunge eram, lha mbok yo teka sak ithik, ngafalke surat-surat sik wae misale, yo? Lho kok saya yang komen ya? Pake Javanese pulak … wkkk. Lanjut…).

Penanya ketiga seorang mbak-mbak berbaju pink yang seseg atinya. Kelihatan bahwa ia sudah memendam pertanyaan ini sebagai kegundahan hatinya sejak lama. Begini pertanyaannya:

“Saya itu resah. Di keluarga besar saya, ada pemahaman bahwa orang yang sudah meninggal, hanya ada tiga amal jariyah yang tak akan putus pahalanya. Satu ilmu yang bermanfaat, sodakoh jariyah dan anak soleh yang mendoakan. Pakde saya memahami hal tersebut dan melarang saya ke pemakaman. Padahal saya ingin mendoakan kakak saya, kakek saya dan keluarga saya yang sudah meninggal. Kata Pakde doa saya tidak akan nyampe. Ora bakal Kabul! Bagaimana Cak Nun? Apakah kalau kakak saya belum punya anak, belum sempat beramal jariyah dan belum sempat menyebarkan ilmu, lalu saya tidak dapat mendoakannya? (si mbak sudah mingsek-mingsek menahan perasaannya … dan saat saya menuliskan kalimat ini, saya juga jadi baper dan menangis terisak-isak). Bagaimana cara saya mengatasi masalah saya ini?

Cukup tiga penanya, Cak Nun dengan sangat kharismatik mulai menjawab pertanyaan:

“Baiklah, saya jawab langsung urut dari pertanyaan mbaknya, karena ini perlu dijawab cepat supaya tenang hatinya. Orang yang meninggal, terputus amal kebajikannya, kecuali tiga hal. Ilmu yang bermanfaat, sodakoh jariyah dan anak yang soleh. Maksudnya, orang meninggal itu sudah nggak bisa ngapa-ngapain lagi. Sudah nggak bisa sholat, nggak bisa ngaji, nggak bisa ke pasar. Sedangkan soal doa, itu masalah yang berbeda. Lha wong kamu mendoakan saya saja bisa (Cak Nun mengutip ayat tentang bagaimana Allah menyuruh kita untuk saling mendoakan pada kaum muslimin dan muslimat). Apa kita hanya bisa mendoakan bapak kita saja atau ibu kita saja? Tidak. Dan orang yang suka mengklaim bahwa doa itu Kabul atau nggak Kabul itu sama dengan FIR’AUN! Kabul atau nggak Kabul doa kita itu terserah ALLAH! Kemudian masalah ziarah kubur, nggak papa, silakan kamu ziarah kubur. Pakdemu itu berarti menganggap bahwa orang meninggal itu sudah tidak ada. Mereka itu ada, tapi berada di dimensi yang lain dengan kita. Coba saya tanya (Cak Nun menatap audience). Bung Karno itu ada atau tidak? Hadirin ragu-ragu menjawab (Cak Nun jadi nggak sabar). Sekarang saya tanya: Nabi Muhammad itu ada atau tidak!! Baru dehh pada koor menjawab ADAAAA. Nah … ADA! Ngapain kita susah-susah ALLAHUMMA SALLI ALAA MUHAMMAD kalau Nabi itu nggak ada. Orang-orang yang sudah meninggal itu semua masih ada. Maka kalau di kuburan biasa Nabi memberi salam “Assalamualaikum yaa ahli kubuur – assalamualaikum (Cak Nun mencontohkan dengan menunduk-nunduk sambil mengangkat tangan, lalu cepat tegap kembali), kalian kira Rasulullah itu gila, sampai seperti itu?”
Mbak, nanti kalau kamu pulang, bilang sama pakdemu, “Pakde saya doain masuk neraka.” Terus kalau pakdemu marah … jawab saja. Jangan marah pakde … doaku kuwi ora bakal KABUL wong kowe duduk wong tuoku, wong cuma PAKDE (di sini saya terbahak-bahak, apalagi bahasa tubuh Cak Nun sangat kocak).
Nah, sudah paham, Mbak? Kamu ziarah saja nggak apa-apa. Doakan kakakmu. Adapun Pakdemu, kalau nggak kepepet nggak usah kamu lawan. Tetap santun. Kalau ngeyel ya tadi itu, kamu doakan saja dia masuk neraka.
Si Mbak terlihat lebih tenang. Cak Nun sempat komen: Baru kali ini saya dapat anugerah bisa melihat orang menangis sambil tertawa. (Hahaha, memang jawaban Cak Nun sangat kocak tapi sekaligus sangat mengena. Saya bisa memahami perasaan Mbak itu pasti plooooong hatinya).

Jawaban untuk pertanyaan kedua tak kalah lucu tapi juga masuuuuk banget.

Dapat hadist darimana itu kalau di akhirat kita akan berbaris di belakang guru masing-masing? Lha wong guru di dunia ini sangat banyak. Ada guru SD, SMP, SMA, belum guru-guru yang lain. Lha kamu mau baris di belakang yang mana? Lha jadinya sangat banyak barisan di akhirat itu. (Saya ngikik-ngikik). Di akhirat nanti itu tidak ada NU, tidak ada Muhammadiyah, tidak ada LDII, semua satu umat di bawah Rasulullah. Kalau mau belajar Islam, belajar dengan banyak guru lebih baik (Detilnya saya nggak bisa menuliskan, intinya jawaban Cak Nun seperti itu. Jawaban aslinya lebih lucuuu, saya banyak tertawa jadi kadang missed nyemaknya, hehehe).

Penanya ketiga dinasihati oleh Cak Nun bahwa kalau ingin mengajari ngaji ya mengajari ngaji saja. Tapi kalau ingin anak-anak santun, yang diajari pertama adalah TAUHID, dan kedua AKHLAKUL KARIMAH atau akhlak yang baik.
Tauhid artinya anak harus paham akan keesaan Allah. Menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Akhlakul karimah, paling gampang adalah HINDARI MO LIMO, yaitu: Main (judi), Maling (mencuri), Madat (narkoba dan sejenisnya), Minum (minuman yang memabukkan), Madon (main perempuan – berzinah).

Demikian pencerahan yang  saya dapatkan dari Cak Nun di sahur pagi ini. Cak Nun adalah seseorang yang sangat memBUMI sekaligus meLANGIT pada saat yang bersamaan. Itu kesan saya dalam perjumpaan kali ini. Perjumpaan yang lebih lama daripada sebelumnya yang hanya sekilas-sekilas saja (Maksud saya semua perjumpaan itu melalui televisi lho ya, hehe).

Ternyata di masyarakat umum masih ada interpretasi-interpretasi agama yang sangat menyimpang. Orang-orang seperti Cak Nun ini sangat bagus, dapat menjangkau sampai relung hati orang-orang di pelosok-pelosok negeri. Hati saya hari ini biru oleh tausiyah Cak Nun. Hati Anda yang membaca artikel saya ini gimana? Biru juga, apa merah? Hehe, terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat.





Rabu, 22 Juni 2016

Cinta Anak Laki-laki kepada Ibunya – Day 18 Fasting

Seorang laki-laki harus menomorsatukan cinta dan patuh kepada ibunya, sedangkan seorang perempuan harus menomorsatukan cinta dan patuh pada suaminya setelah ia menikah (sebelum menikah tentunya pada orangtua). Demikian Islam mengajarkan, walaupun dalam praktiknya mungkin banyak tidak sesuai dengan teori.

Seorang lelaki kadang terlalui mencintai istrinya hingga menafikan ibunya. Seorang perempuan demikian tunduk pada orangtua hingga mengabaikan suaminya.

Seharusnya pakem di atas tidak mengakibatkan seseorang itu menjadi berat sebelah. Karena kitapun dianjurkan untuk berlaku adil.

Seorang ibupun harus mengerti sebatas mana ia harus mencintai anak lelakinya. Tentu ia mencintai anaknya sepanjang masa, namun ia harus sadar sang anak membutuhkan cinta yang berbeda dari seorang perempuan seusia. Ibu pun harus pandai-pandai berbagi dengan menantu perempuan. Tak usah menganggap menantu sebagai saingan, anggap menantu sebagai karunia Allah yang akan membuat hidup anak lelakimu semakin indah dan nyaman.

Seorang anak perempuan pun, jika telah menjadi seorang istri, harus dapat memahami kedudukan suaminya dalam menyambung silaturahim dengan sang ibu. Tak perlu cemburu atau iri, bahkan harus bangga jika suamimu sangat mencintai ibunya. Dukunglah suami dengan ikut menyayangi mertuamu seperti engkau menyayangi orangtuamu. Kalau engkau sayang ibu suamimu, tentu akan bertambah-tambah sayangnya suamimu padamu. Dan kelak engkau akan mendapat balasan cinta yang abadi dari anak lelaki yang kaulahirkan.

Donna Harun dan menantunya ... kompak yaaa

Seorang anak lelaki yang sudah menjadi suami, harus pandai-pandai bersikap. Cintamu pada bunda, jangan membuat istrimu merasa tersisih, demikian sebaliknya. Senyumlah dengan senyum yang sama, bercanda dan berkomunikasi. Ucapkan kata-kata yang baik. Cintamu pada bunda, adalah mutlak. Cintamu pada istrimu harus kau bangun dengan kesabaran karena mungkin ia tak selalu sempurna baik di matamu maupun di mata ibumu. Ia berasal dari keluarga yang berbeda habit dan budaya serta harus meninggalkan orangtuanya demi kamu. Sudah selayaknya engkau baik kepadanya, dan mengusahakan agar istrimu merasa nyaman di rumahmu, dan merasa nyaman berinteraksi dengan ibumu.



Hmmm, semua yang saya tulis di atas itu sebenarnya hanya prolog dari apa yang akan saya ceritakan. Prolog e kok jadi panjang gitu, ya sudahlah. Nggak apa-apa.

Saya ingin bercerita tentang Mas Adjie, anak ibu kos. Seperti yang sudah saya ceritakan di postingan terdahulu, anak ibu kos yang kedua kerja di Jakarta. Ia kerja di sebuah rumah produksi periklanan. Jam kerjanya gila-gilaan. Kalau ada job iklan, bisa dirampungkan dari pagi ke pagi berikutnya. Bisa dibayangkan sibuknya Mas Adjie ini kan?

Namun di balik kesibukannya mencari rupiah di belantara Jakarta, ia tak pernah melewatkan sehari pun dalam hidupnya untuk menghubungi ibunya via telepon. Bahkan bisa sampai sehari tiga kali seperti minum obat! Masya Allah.

Awalnya saya hanya manggut-manggut saja waktu bapak kos cerita tentang Mas Adjie.

“Adjie itu sayang banget sama istri saya. Tiap hari telepon ibunya.”

Kemudian saya mulai sering memergoki ibu berbincang dengan putra bungsunya itu via telepon. Dalam percakapan itu, ibu bercerita tentang kegiatannya sehari-hari. Sempat pula saya dengar curhat tentang suatu persoalan dengan suara penuh emosi. Lain waktu saya dengar ibu menanggapi cerita bungsunya tentang job yang sedang dikerjakan. Akhirnya saya juga berkesempatan berbincang langsung dengan ibu tentang bungsu kesayangan ini.

“Adjie itu paling sayang sama saya. Dia paling marah kalau ada yang jahat sama saya. Dia paling nggak mau lihat saya nangis. Tiap hari selalu telepon saya, walau hanya bertanya ibu lagi ngapain, ibu sehat nggak, ibu masak apa. Kalau dia sedang di rumah, saya senang, Mbak. Rajiin dia. Bantuin saya masak (sebelum kerja di PH anak ibu kos ini sempat kerja di dapur hotel dan juga staf di acara kuliner di salah satu  stasiun televisi swasta). Dapur selalu bersih karena dia masak lebih rapi dari saya. Kerjanya juga lebih cekatan.”

Dalam bayangan saya langsung ada visualisasi ibu dan anak lelaki tandem masak untuk dijual di warung (bu kos saya kan punya warung makan). Masak berdua sambil sesekali bercanda dan tertawa hangat. Ooh … so sweet yaaa…

Bu kos melanjutkan ceritanya:

“Kalau pulang ke sini dia tuh nggak pernah bilang-bilang dulu, Mbak. Tapi begitu sampai, mulai dari pintu depan sudah teriak-teriak panggil saya… Ibukkkk…Ibukkuuuu yang kusayang… Lalu dipeluknya saya saat sudah ketemu.”

Bu kos bercerita dengan senyum kebanggaan dan tentu dengan cinta dan rasa kangennya pada sang putra.

“Mas Adjie sudah punya calon istri belum, Bu?” tanya saya.

“Sudah. Perawat di Jakarta juga. Sudah pernah ke sini tiga kali. Dulu sebelum kenal sama pacarnya ini, saya sempat bilang sama Adjie. Kalau cari istri, carilah perawat. Pasti dia telaten menjaga kesehatanmu dan keluargamu. Di samping itu seorang perawat akan selalu dibutuhkan di manapun. Banyak tempat kerja bangkrut, tapi rumah sakit nggak akan pernah bangkrut.”

Hmmm, lucu juga pandangan bu kos ini, ya. Tapi jelas ada benarnya. Bagus, bagus. Ini yang namanya realistis.

“Sejak itu, Mbak. Tiap dekat sama perempuan, pasti selalu perawat.”

Hmmm, so sweet. Apa hanya kebetulan, atau ia memang mencari perawat juga dalam rangka patuh pada perintah sang bunda, ya? Saya langsung bervisualisasi seorang lelaki bertubuh tinggi besar (seperti deskripsi dari bu kos), pada jam-jam kosongnya nongkrong bukan di kafe tapi di depan rumah sakit sambil mengamati perawat cewek yang lewat. Terus kalau ada yang menarik perhatian, langsung mendekat dan ngajak kenalan. Hahaha… absurd dah gue.

Hmmm, gimana menurut kalian? So sweet banget kan cinta Mas Adjie pada ibunya? Cinta Mas Adjie ini juga sempat menampar-nampar kesadaran saya. Heiii bukk, berapa kali dalam sebulan kau telepon orangtuamu? Pulsa jangan diirit-irit …. Nanti menyesal di kemudian hari, loh. Heiii bukkk, berapa kali dalam seminggu telepon suamimu (lagi LDR kan, ceritanya). Yah, saya terpaksa mengangguk pilu. Dalam agenda pengiritan saya, saya memilih mengirim whatsapp kepada suami dan ortu tercinta. Doeeeeng…. Apaaa? Dah gak usah lebay deh…sesekali juga saya telepon kok. Hiks.


Demikian cerita saya hari ini. Cuss, habis baca segera telepon ya? Bisa ke ibu, ayah, atau suami/istrimu. Kalau posisimu belum punya suami/istri dan sudah nggak punya ortu, telepon aja seseorang yang paling kau sayang dalam hidupmu. Dan bilang bahwa kau sangat menyayanginya. Karena kalau bisa mengucapkan hari ini, kenapa harus menunggu besok? Ah, saya mulai mellow … see you tomorrow….



Catatan:
Semua gambar dalam artikel ini diambil dari google.

Selasa, 21 Juni 2016

Kebaikan Tak Kasat Mata - Day 17 Fasting

Jangan parno dulu baca judulnya. Ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan hantu-hantu. Kasat mata artinya terlihat dengan mata telanjang. Tak kasat mata, artinya tak terlihat. Cmiiw.

Saya tidur cepat dan terbangun pukul 00.15 karena kaget mendengar teriakan dan ketukan pintu ruang tamu kos. Kamar saya kan bersebelahan pas dengan ruang tamu. Uh, saya agak malas buka pintu. Tak lama saya dengar bapak kos berdialog dengan si pengetuk pintu. Lalu saya sempat sak sliut tidur lagi.

Bangun-bangun saya langsung gegap gempita ke kamar mandi lalu ambil air wudhu untuk tarawih munfarid. Pak kos lagi nyapu-nyapu. Itu memang kebiasaannya yang rada ganjil, nyapu di tengah malam buta. Lalu beliau bercerita tentang si pengetuk pintu yang rupanya orang mau beli bensin. Fyi, Pak kos jualan bensin eceran di depan rumahnya.

"Wah, kok, malam-malam masih beli bensin, to, Pak?" tanya saya.

"Iya. Nggak papa, Mbak. Malah pernah ada yang jam dua pagi datang minta beli bensin. Kasihan dia mau jualan di pasar Turi, mogok di jalan trus jauh-jauh ke sini. Saya malah bilang sama kalau perlu bensin jam berapapun ketuk saja. Itupun dia belum punya uang, Mbak. Jadi saya biarkan. Terus siangnya dia pulang dari pasar, datang menyerahkan uang bensin. Malah saya dibelikan oleh-oleh segala."

"Wah, orang baik, pasti dapat balasan hal baik juga, ya, Pak."

Pak kos meneruskan cerita bahwa ibu kos juga pernah membiarkan seorang anak sekolah beli bensin tanpa membayar dulu. Malah anak sekolahan itu yang nggak enak hati, terus menyerahkan ponsel sebagai jaminan. Sore dia datang bawa uang dan ambil ponselnya.

Sepertinya kebaikan yang dilakukan pak dan bu kos itu biasa-biasa saja. Tapi menurut saya, itu luar biasa. Ini tentang keikhlasan dan kepercayaan. Membiarkan bensin seliter dua liter pergi tanpa dibayar, siapa yang berani menjamin bahwa si pembeli akan datang lagi? Tapi Pak kos dan bu kos percaya, dengan niat membantu, dengan niat baik menolong orang lain, Tuhan akan melindungi mereka juga.

Gambar dari Google

Senin, 20 Juni 2016

Menyikapi Berita Hoax - Day 16 Fasting

Pagi ini saya membuka salah satu grup whatsapp dan terperanjat membaca berita yang dituliskan teman. Pengumuman bahwa AA Gym meninggal dunia. Berita itu segera disusuli oleh sanggahan kawan yang lain bahwa berita itu hoax. Saya langsung membuka situs google untuk mengecek. Kata kunci yang saya ketikkan pada kolom pencarian adalah: AA Gym Meninggal Dunia. Syukurlah, berita yang muncul mengabarkan bahwa meninggalnya AA itu tidak benar. Beliau masih hidup, hanya sedang dalam kondisi tidak enak badan. Alhamdulillah, semoga kabar yang tersebar adalah petanda beliau akan selalu sehat dan berumur panjang, aamiin.

Pada masa sekarang ini di mana berita-berita hoax dan nyata berseliweran di dunia maya maupun dunia nyata, kita harus pandai-pandai memilih dan memilah mana berita yang kita percayai. Apalagi kalau hobi share-share ... wah, jangan sampai kabar yang kita sebarkan itu tidak benar. Apalagi bila menyangkut nama baik seseorang. Bisa-bisa mengundang fitnah. Sementara kita tahu bahwa fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Betul, tidak?

Di sinilah pentingnya tabayyun, atau krosscheck lagi tentang kebenaran berita yang kita dapatkan. Jadi ada beberapa tips yang hendak saya bagikan di sini untuk menyikapi berita hoax maupun tidak:

1. Baca baik-baik berita yang Anda dapatkan. Pastikan Anda memahami isi berita.
Hal ini penting, karena biasanya orang cenderung menganggap bahwa Anda serba tahu dan akan menanyai Anda tentang sesuatu yang belum ia pahami dari berita tersebut. Jadi jangan share terus lepas tangan, ya. Apa yang Anda share itu adalah tanggungjawab Anda

2. Renungkan kebenarannya. Kalau meragukan, segera kroscek. Mungkin dengan bertanya pada orang yang Anda anggap lebih tahu, atau bertanya pada Mbah Google, seperti yang saya lakukan di awal artikel ini.

3. Kalau sudah yakin seratus persen akan kebenarannya, renungkan lagi apakah artikel yang hendak Anda share itu akan lebih bermanfaat bila orang banyak membacanya? Atau cukup di keep sampai di Anda saja karena walaupun benar mungkin bisa memicu kerusuhan?

4. Share jika memang berita itu bermanfaat untuk orang banyak.

Apabila Anda sudah terlanjur membagikan artikel yang ternyata hoax, ada etikanya juga. Seperti saya sudah bilang tadi bahwa Anda nggak boleh lepas tanggungjawab. Maka Anda harus melakukan permintaan maaf dan pencabutan artikel yang sudah terlanjur tersebar tadi. Hmm, Anda tak tahu pasti sejauh mana air sudah mengalir, bukan? Masihkah sampai di muara, atau sudah bercampur aneka benda di lautan? Jadi selain minta maaf, Anda juga harus memohon ampun pada Tuhan dan berdoa agar berita yang entah sudah sampai ke mana tadi, tidak lebih jauh memberikan kemudharatan untuk orang lain.


Rabu, 15 Juni 2016

Hikmah dari Para Pencari Tuhan – Day 11 Fasting


Apakah Anda tahu serial Para Pencari Tuhan? Serial ini sudah sejak … entah berapa tahun yang lalu, selalu disetel di bulan ramadhan di SCTV tiap pagi pukul 03.00 dan diulang bakda maghrib. Atau disetel maghrib diulang dini hari, ya? Entahlah, pokoknya dalam 24 jam ditayangkan dua kali.



Saya selalu menonton serial ini dengan khidmat, karena relatif lebih mengena di hati ketimbang tayangan lainnya. Permasalahan yang diangkat aktual dan natural. Nggak ada adegan yang lebay atau ibu mertua yang sinis meringis mengintimidasi menantunya ala sinetron stereotype Indonesia. Pesan moralnya jelas ada namun tak menggurui. Dan yang lebih penting, dikemas dengan humor-humor yang santun.

Awalnya dulu serial ini disutradarai oleh Deddy Mizwar, namun kemudian (mungkin) berganti setelah beliau sibuk bekerja sebagai salah satu pimpinan daerah Jawa Barat. Walau demikian taste-nya tak berubah.

Nah, selama menjalankan puasa di kosan tahun ini, saya nggak pernah setel televise saat makan sahur. Kebetulan baru dini hari tadi, bu kos nyetel televisi dan ndilalahnya kok pas SCTV pas serial Para Pencari Tuhan itu.

Ada satu adegan yang membuat saya sungguh-sungguh merasa bersyukur. Aya (Zaskia Adya Mecca), divonis dokter tidak bisa melahirkan lagi, sementara di kehamilan terdahulu ia keguguran (keguguran atau anaknya meninggal, ya? Saya lupa). Aya galau. Di tengah kegalauannya ia meminta pada sahabatnya untuk bersedia menikah dengan Azzam (Agus Kuncoro), suaminya. Aya berpendapat bahwa Azzam pasti ingin punya anak. Tapi di satu sisi, Aya menyadari bahwa cinta suaminya kepadanya begitu besar. Azzam tak akan mau menikah lagi, demikian ditandaskan oleh Azzam. Tetaplah berjalan di sisiku.

Pemeran Azzam dan Aya

Hingga suatu malam, dengan hati hancur, Aya mengatakan pada Azzam:
“Aku tahu kau tak akan menikah lagi selama masih ada aku. Menikahlah lagi, Zam. Dan ceraikan aku.”
Zaskia memerankannya dengan begitu apik. Kesakitannya demikian terlukis di wajah yang bersimbah air mata.

Saya termenung dan tak terasa mengalir pula cairan bening di pipi. Ya, Allah. Mungkin bukan hanya Aya. Tapi banyak wanita di luar sana, yang masih berharap anugerah kehamilan dan selalu dalam perasaan cemas, gelisah, takut kehilangan suami. Atau mereka yang sudah divonis mandul dan sedang memupuk kesabaran untuk mengizinkan sang suami menikah lagi. Duhai sahabat, saudara sesama makhluk Tuhan, doaku untuk kalian semua.

Di situlah saya merenungi hidup saya sendiri, dengan satu anak di surga dan tiga anak yang lucu-lucu di dunia. Betapa besar anugerah Allah pada saya. Masih ditambah dengan suami yang baik dan pengertian. Maka, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang Engkau dustakan?

Alhamdulillah ya Allah…. Ampuni hamba jika masih banyak mengeluh dan lalai bersyukur kepada-Mu.

Catatan:
Gambar diunduh dari google

Tarawih (lagi) - Day 10 Fasting

Di hari ke sepuluh ini saya masih bicara tentang tarawih. Kemarin saya menyinggung bahwa saya nih sebenarnya di ramadhan-ramadhan sebelumnya malah kurang rajin tarawih. Kebanyakan tarawih saya di rumah saja secara munfarid (sendirian). Ada saya alasan saya, sebagian besar siy alasan menjaga si kecil di rumah. Kalau anak-anak sekiranya bisa ke masjid, baru saya ikut.

Akibat jarang tarawih di masjid itulah saya berasa kurang piknik ketika mendapati bahwa tarawih di Masjid Al Hidayah berbeda dengan sistem sholat tarawih yang pernah saya alami di masjid selama ini, maupun sholat yang biasa saya jalankan di rumah. Saya biasanya sholat tarawih delapan rakaat plus tiga sholat witir, dengan aturan dua rakaat salam-dua rakaat salam; witirnya juga dua rakaat salam plus satu rakaat salam.

Jadi saya agak kaget dengan sistem di Al Hidayah yang tarawihnya empat rakaat salam, tanpa duduk tasyahud awal. Witirnya juga langsung tiga rakaat salam, tanpa duduk tasyahud awal. Jadi walaupun agak nggak terbiasa, saya ikuti juga namanya saya makmum. Pulang baru saya bertanya pada suami saya via whatsapp, dan dia mengatakan bahwa yang seperti itu juga bisa. Alhamdulillah, begini seharusnya kalau punya suami. Harus bisa menjawab saat istri bertanya masalah-masalah agama.

Tapi perilaku saya sebenarnya juga ada minusnya. Seharusnya saya tidak cukup puas dengan penjelasan suami, tapi harus langsung mencari sumber penjelasan dari buku atau internet. Ya, tapi saya sedang belum ada waktu, jadi nanti saja saya cari buku tentang sholat tarawih ini. Hehehe, sebenarnya pernah baca sih, buku karangan my best friend Agustina Soebachman, cuma samar-samar yang teringat. Maafkanlah ingatan temanmu yang pendek ini.

Jadi, nanti malam ke sebelas apa pergi tarawih lagi? Insyaa Allah. Semoga diberi kekuatan untuk berangkat tarawih dan tidak hujan, ya.

Gambar dari google

Tarawih - Day 9 Fasting

Jauh dari keluarga justru membuat saya rajin melaksanakan tarawih. Paling tidak sudah tiga kali ini tarawih. Haha... Sudah hari ke sembilan. Malam pertama tarawih sendiri di rumah, trus besoknya berhalangan. Lalu di malam ke sembilan dan ke sepuluh barulah saya bisa tarawih di masjid.

Masjid tak terlalu jauh dari tempat kos saya. Masuk sebuah gang 50 meter saja. Masjidnya tak terlalu besar, Masjid Al Hidayah namanya. Jumlah jamaahnya juga sedikit. Lelaki hanya satu shaf, perempuan juga satu shaf. Husnudzon saja, muslim yang lain tarawih di masjid lainnya.

Malam pertama saya tarawih di masjid, imam yang sekaligus pengkutbah ternyata rekan sejawat kerja di sesama instansi kehutanan, tapi beliau di Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), bernama pak Asep. Saya pernah ngobrol sama beliau waktu saya ada urusan di TNGM, tapi beliau pasti sudah lupa sama saya.

Pak Asep bacaannya suratnya lembut agak lambat, bagus tapi agak bikin ngantuk. Atau memang saya dasarnya pengantuk ya. Malam kedua, imam dan pengkutbahnya ganti, namanya nggak tau siapa karena dia nggak memperkenalkan diri. Tapi dia berkutbah dalam bahasa Jawa dan tausiyahnya lumayan lucu. Jadi seger dan nggak ngantuk.

Pak Imam kedua ini sempat bertanya kepada jamaah. "Pak, Bu, kalau dengar anak-anak kecil lari-lari ketawa-ketawa saat sholat berjamaah seperti tadi, marah apa mangkel?"
Jamaah menjawab...mboten nopo-nopo.

Pak Imam melanjutkan... "Kalau ada anak-anak lari-lari dan ribut di masjid saat orang lain sholat, bapak ibu tak usah marah. Itu memang sudah kodratnya anak-anak. Memang masa-masa mereka adalah masa-masa bermain. Bapak ibu baru boleh marah kalau ada bapak-bapak yang lari-lari dan ketawa-ketawa saat orang sedang khusyuk berjamaah."

Gambar dari google

Pak Imam cerita bahwa beliau pernah mengimami jamaah tarawih di lapas narkoba. Saat sedang ceramah, sebagian narapidana malah asyik menggerombol di belakang sambil merokok...astaga.... Yah, begitulah, Pak Imam tidak lagi ghibah atau marah-marah sih. Saya melihat dia hanya berbagi pengalaman sekaligus curcol, hehehe.

Selasa, 14 Juni 2016

Takjil - Day 8 Fasting

Menjalankan puasa ramadhan di rumah orang nasrani, tak membuat saya berharap banyak bahwa saya akan menikmati takjil saat berbuka. Takjil adalah makanan/minuman ringan yang dinikmati saat berbuka puasa. Benar, saya memang kos sekaligus makan di dalam. Lha makan itu kan nasi beserta lauk pauk, soal takjil tidak pernah dibahas dalam kesepakatan. Apalagi sebenarnya saya juga tidak terlalu mewajibkan takjil bagi diri saya sendiri (bagi diri saya lho ya, karena kalau di keluarga Makassar, takjil is a must).

Makanya saya surprais ketika saya akan mengambil makanan untuk berbuka, ternyata di atas meja sudah tersedia semangkuk hidangan takjil untuk saya. Yaitu berupa kolak ubi. Alhamdulillah, ternyata Bu Rini sudah susah-susah membuat kolak untuk saya.

Gambar dari google

Saat tiba hari Minggu dan saya harus membayar uang makan, saya serahkan Rp150.000 (uang makan untuk seminggu) pada Bu Rini. Beliau menerima sambil bicara, "Kok, banyak sekali?"
Benar siy, karena kesepakatan awal, sekali makan saya kena charge Rp7000. Lha kalau puasa kan saya hanya makan dua kali sehari. Tapi uang itu memang sudah saya niati.
"Nggak papa, Bu. Saya samakan saya dengan kemarin-kemarin. Karena menurut saya sudah terlalu murah. Saya jadi nggak enak hati (nggak enak dengan kebaikan hatinya: karena sebenarnya saya dipersilakan makan kapanpun saya lapar, dan makanan selalu ada di meja makan). Bu Rini pun menerima uang saya dengan senyum.

Ramadhan Jauh Dari Yang Tercinta - Day 5 Fasting

Saat ramadhan tentu merupakan saat-saat yang terindah dalam hidup seorang muslim. Bagaimana tidak, pada bulan suci itulah, selama sebulan penuh, semua ibadah yang kita lakukan akan dilipatgandakan oleh Allah SWT. Maka berlomba-lombalah, semua yang paham akan hal ini. Yang biasanya beribadah ala kadarnya, saat ramadhan akan berupaya lebih maksimal agar ibadahnya lebih banyak dan lebih khusyuk.

Selain beribadah untuk kebutuhan diri sendiri, pada umumnya mereka yang berkeluarga, akan memanfaatkan moment ramadhan untuk mengajak anggota keluarga beribadah bersama. Saat-saat ini juga digunakan untuk mendidik anak-anak agar rajin dan semangat menjalankan ibadah.

Tahun ini merupakan ramadhan ke-13 saya hidup bersama dengan suami saya menjalani bahtera rumah tangga. Ini juga ramadhan ke-11 bersama Nina, sulung saya; ramadhan ke-7 bersama Emir, si tengah; dan ramadhan ke-6 bersama Amel, si bungsu. Semoga tak salah. Tapi sayangnya, ramadhan ini juga merupakan ramadhan pertama saya jauh dari keluarga.

Saya harus menjalankan puasa ramadhan di Jogja untuk menyelesaikan pekerjaan, dan keluarga tinggal di Makassar. Kangen? Nggak usah ditanya. Pasti kangenlah. Dan yang lebih jelas lagi, ada perasaan bersalah karena suami harus mengurus tiga anak sendiri. Alhamdulillah suami saya bisa mengurus anak-anak dengan baik. Malah sepertinya anak-anak jadi lebih mandiri dan penurut. Biasalah, mama-mama gak sabaran kayak saya, cenderung lemah pada anak-anak. Kalau mereka lelet, saya akan mengerjakan kegiatan yang sebenarnya mereka sudah bisa sendiri, misalnya memandikan tiap pagi. Kalau sama papanya, kemandirian mereka lebih terjaga.

Di postingan kali ini, saya hanya hendak mengatakan bahwa saya cinta keluarga saya. Saya nggak akan melakukan kebodohan yang sama (menunda pekerjaan), hingga akhirnya harus menjalani ramadhan jauh dari keluarga seperti ini. Yaah, penyesalan selalu datang terlambat memang.

Papa Asdar sayang, love you always. Kangen jalan-jalan sama anak-anak. Nanti lebaran sewa mobil trus keliling Makassar yuk. Nina, kita belum bikin kue sama-sama nih. Emir, Mama pingin bikinin Emir donat atau pancake. Amel, Mama pengen cium pipi Amel yang bulet montok dan pengen bacain Amel cerita sebelum tidur ... boleh dua cerita. Tiga juga boleh.

Love you all cinta-cintakuuuu


Kamis, 09 Juni 2016

Grup Ngaji Wa, Perlukah? - Day 4 Fasting

Hari ke empat Ramadhan, nih. Bagaimana, puasanya masih aman, kan? Kalau saya masih belum mulai puasa dan H2C dengan resolusi saya yang khatam Qur'an itu. Baiklah biar tidak resah, saya nulis saja tentang grup ngaji, khusuzon grup ngaji via whatsapp.

Wow, grup ngaji via whatsapp bagaimana tuh? Siapa yang belum pernah dengar? Awal saya mendengar tentang grup ngaji via whatsapp ini adalah sekitar dua (atau tiga ya?) tahun lalu saat tengah santer-santernya program ODOJ (One Day One Juz).

Tentang ODOJ, saya cuplikkan sejarahnya dari laman onedayonejuz.org sebagai berikut:

Pada tahun 2007 muncul sebuah ide program “One Day One Juz” alias satu hari satu juz Al Quran. Pada awalnya, gerakan One Day One Juz digerakkan oleh Bhayu Subrata dan Pratama Widodo atas kesadaran dan kepedulian mereka pribadi. Perkenalan program One Day One Juz disebarluaskan dan dipublikasikan menggunakan fasilitas short message service (sms) dengan cara Bhayu mengirimkan SMS broadcast berupa nasihat tentang Quran untuk mengaji satu hari satu juz dan membuat buletin untuk disebarkan. 
Widodo, partner Bhayu, di tahun yang sama hingga 2009, membangun fanspage One Day One Juz di facebook dengan harapan program One Day One Juz bisa mengjangkau seluruh pelosok Indonesia dan seisi dunia. “Teknik mudah baca Al Quran harian yaitu dengan menggunakan rumus 2×5, membaca 2 lembar setelah sholat fardhu (5 waktu) maka Insya Allah akan khatam 1 juz dalam 1 hari. Ajak dan motivasi teman anda untuk melakukan yang sama dan buatlah komunitas One Day One Juz” yang tertulis dalam fanspage yang dirintis Widodo tersebut kini resmi menjadi fanspage ODOJ pusat.
SEJARAH PERKEMBANGAN DAN LAHIRNYA ORGANISASI & GERAKAN ODOJ
Pada tahun 2010, istilah ODOJ sampai dan dikembangkan dengan metode whatsapp yang diperkenalkan oleh sekelompok alumni mahasiswa dari perguruan tinggi di Surabaya pada bulan September, dan  dengan metode ini segenap aktivis Rumah Quran Depok juga ikut menyebarluaskannya. Metode ODOJ dengan media whatsapp ini dengan sistem ada 30 orang dalam satu grup whatsapp yang kemudian juga berkembang melalui grup dalam blackberry message (bbm). 
Kemudian tahun 2013, kabar ODOJ pun sampai pada seorang pemuda yang melihat salah satu aktifitas group ODOJ dri Aktifis Rumah Quran. Kemudian tanggal 15 Oktober 2013 mengimplementasikan program ODOJ tsb  dalam satu kelompok yang terdiri dari gabungan beberapa teman dalam kelompok liqo’(pengajian rutin) pada dengan anggota belum genap 30 orang. Pada tanggal 1 November barulah member lengkap 30 orang, sehingga lahirlah grup ODOJ Ikhwan 1 dan memulai tilawah pada 2 November 2013. 
Bismillah…dari satu grup ODOJ ikhwan 1 tersebut muncul ide-ide untuk mengembangkan ODOJ. Pada tanggal 4 November 2013, dibentuk kepengurusan ODOJ kecil dengan nama “ODOJ support team” yang mencoba mengembangkan sistem berbasis website sebagai sarana promosi ODOJ dan juga sistem whatsapp One Day One Juz (WA ODOJ) bebasis Android untuk menjaga semangat tilawah pribadi dan grup seperti program kholas awal, khatam lebih awal, reward grup, dsb. Selanjutnya pada tanggal 11 November 2013, diadakan soft launching gerakan ODOJ di Mesjid Baitut Tholibin Kemdikbud Jakarta. 
Ketika hendak membangun website dan membeli domain www.onedayonejuz.org, pengurus terlebih dahulu mencari tahu apakah domain serupa telah ada atau tidak sebelumnya. Ternyata sebelumnya sudah ada domain www.onedayonejuz.com yang dimiliki oleh Fajar dan juga telah memiliki akun @onedayonejuz di twitter. ODOJ Support Team pun bersinergi dengan Fajar dan resmilah akun twitter dan website ODOJ yang sebelumnya telah ada untuk menjadi akun dan domain resmi ODOJ.  
Tidak hanya domain, logo one day one juz yang sebelumnya telah beredar di dunia maya juga ditelusuri oleh “ODOJ Support Team” yang ternyata dirancang oleh Bhayu Subrata (www.bayubarata.blogspot.com). ODOJ Support Team pun meminta izin penggunaan logo tersebut sebagai logo resmi ODOJ.


Nah secara singkat begitulah sejarah gerakan ODOJ. Saya juga sempat bergabung dengan ODOJ, diajak oleh teman. Sekitar 2013 saya gabung di ODOJ 802 bersama 29 perempuan cantik solihah yang lain (ihiiir, saya memuji diri cantik solihah niy, aamiinn) dari berbagai daerah. Saya bergabung selama setahun kemudian saya memutuskan untuk keluar karena kesibukan.
Hikmahnya ikut ODOJ, karena di'paksa' untuk baca sehari satu juz, selama satu tahun (walau sering ngutang juz), Alhamdulillah bacaan saya jadi lancar. Walau saya sudah tak tergabung di ODOJ, namun saya masih berusaha tilawah Al Qur'an setiap hari, kadang selembar dua lembar.

Hingga kemudian saya ikut masuk ke sebuah grup ngaji lagi. Bukan ODOJ, tapi independen dengan sistem lapor seperti ODOJ. Target baca perhari hanya 2,5 lembar Al Qur'an ditambah lapor ibadah tahajud dan dhuha. Jumlah pesertanya hanya 20 orang, tapi justru karena jumlahnya sedikit, maka hubungan kami menjadi lebih dekat dan akrab.

Kalau ditanya perlu apa enggak grup ngaji, ya tergantung dari mana kita memandangnya. Bagi sebuah grup ngaji berisi teman-teman putri yang rajin beribadah tentu membuat motivasi ibadah semakin menyala, berkobar, tak pernah padam. Kalaupun iman lagi turun, teman-teman dalam grup senantiasa siap menyemangati lagi. Tidak usah berpikir terlalu jauh bahwa ngaji rame-rame itu bid'ah, atau dekat dengan riya' atau kumpulan orang-orang sok pamer. Cukup berpikir bahwa inilah salah satu bentuk anjuran dalam Qur'an ... Fastabikhul Khairat, atau berlomba-lomba di dalam kebaikan. Alhamdulillah. Insyaa Allah. Aamiin.


Catatan: semua gambar bersumber dari google

Selasa, 07 Juni 2016

Missing Ramadhan - Day 3 Fasting

Missing Ramadhan? Rindu ramadhan tepatnya. Bagaimana tidak, dari 12 bulan perjalanan kita sebelum menginjak tahun yang baru, kita baru bertemu ramadhan setelah 11 bulan lamanya beraktivitas. Penantian yang panjang itu selayaknya membuat datangnya ramadhan ibarat kucuran air segar penyejuk dahaga. Demikian juga saya dalam menanti ramadhan kali ini.



Saya sudah berniat akan mengisi ramadhan dengan rangkaian ibadah yang lebih baik. Resolusi ramadhan saya kali ini tak muluk-muluk, harus bisa dicapai. Saya sudah tuliskan di status facebook, bahwa ramadhan kali ini saya akan:
- mengkhatamkan Al-Qur'an
- menghafal ayat-ayat Al-Qur'an
- tahajud+dhuha dikencengin

Puasa pertama berjalan dengan baik hingga menjelang ashar saya mendapat tanda-tanda haid. Apaa, hanya tinggal beberapa jam saja puasa saya sudah batal. Rasane kuciwo tenan. Akhirnya masih di awal ramadhan, resolusi saya harus tertunda, walau resolusi yang kedua harusnya masih tetap dapat dijalankan.

Baiklah, kita harus banting setir. Dan apakah ibadah yang dapat dilakukan saat haid? Hmm, saya tentu masih dapat menghafal surat An Naba yang sudah sejak kapan saya hafalkan namun tak pernah beranjak dari ayat 12 (hedeh), kemudian memperbanyak istighfar dan membaca kalimat thoyibah. Kalimat thoyibah sudah tahu, ya, yaitu Subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaa ha ilallah, wallahu akbar.

Yuk, terus beribadah. Haid nggak boleh jadi halangan, untuk memperbanyak perbekalan menuju tempat kembali.


Catatan:
Gambar diunduh dari google

Senin, 06 Juni 2016

Toleransi Randy - Day 2 Fasting

Di tempat kos saya, selain saya sendiri sebagai penghuni kos tunggal, juga ada Bu Rini, ibu kos dan Pak Rono, bapak kos. Kedua pasangan ini mempunyai dua orang anak. Yang sulung bernama Mbak Vita, tinggal hanya selisih dua rumah dari rumah ibu kos. Yang bungsu bernama Mas Adjie, bekerja di Jakarta. Mbak Vita sudah berkeluarga dan punya dua orang anak bernama Randy (kelas 5) dan Kevin (4 tahun). Di hari-hari biasa, kedua cucu ibu kos ini sering main ke rumah.

Tadi malam, saya mendengar bahwa Randy menginap di rumah neneknya. Saya mendengar ia berpesan agar dibangunkan pas saur.

"Memangnya kamu mau ikut puasa?" tanya bu Rini.

"Mau main!" sahut Randy.

Benar, menjelang jam 03.00 saya mendengar televisi sudah dinyalakan. Waktu saya keluar, Randy sudah nongkrong depan teve. Saya langsung ke belakang mencuci muka, gosok gigi, dan kemudian sahur.

"Kok, Randy sudah bangun, Bu?" tanya saya pada bu Rini.

"Iya, mau jalan-jalan sama temannya. Makanya dia nginap di sini. Kalau di rumahnya, dilarang ibunya," bisik bu Rini.

Saya ingat bahwa saat puasa seperti ini, anak-anak kecil suka diajak berkeliling membangunkan sahur, lalu ikut sholat subuh di masjid dan jalan-jalan di pagi yang masih dingin. Mungkin Randy ingin juga bergabung dengan teman-temannya, walau tidak ikut puasa.

Gambar dari google

Minggu, 05 Juni 2016

Menanti Sidang Isbat - Day 1 Fasting

Bicara mengenai puasa ramadhan, tentu tak bisa dipisahkan dengan sidang isbat. Sidang isbat adalah sidang penetapan dalil syar'i di hadapan hakim dalam suatu majelis untuk menetapkan suatu kebenaran atau peristiwa yang terjadi. Di Indonesia, secara populer, sidang Isbat sering dikaitkan dengan penetapan datangnya bulan Ramadhan, Idul Fitri atau Idul Adha.



Sidang isbat ramadhan, idul fitri dan idul adha dilaksanakan oleh pemerintah sejak 1950, dengan tujuan menetapkan hari pertama bulan ramadhan, syawal, dan tanggal 10 djulhijah. Pada awal penyelenggaraannya, sidang ini hanya sederhana dengan hanya didasarkan fatwa para ulama bahwa negara mempunyai hak untuk menentukan datangnya hari-hari tersebut. Mulai tahun 1972, Badan Hisab Rukyat mulai dibentuk di bawah kementerian agama. Di dalamnya terdapat para ahli, ulama dan ahli astronomi. Pada umumnya sidang isbat penentuan hari istimewa ini dilaksanakan satu hari menjelang hari H, dan umumnya di Indonesia, ditayangkan secara live di stasiun televisi pada malam hari.

Demikian juga saya sebagai abdi negara yang baik. Petang itu menunggu sidang isbat sambil masih memakai mukena yang saya pakai saat sholat maghrib. Niatnya sih, kalau jadi puasa besok, saya mau langsung ke masjid untuk traweh. Oh ya, sebelum lanjut, saya hendak menyampaikan cerita dulu bahwa ramadhan kali ini pastinya terasa akan sangat berkesan buat saya.

Kenapa? Karena saya menjalaninya jauh dari keluarga. Saya harus menyelesaikan utang kerjaan di suatu sudut yang sepi di Daerah Istimewa Yogyakarta, bernama Purwobinangun. Di tempat ini saya kos di sebuah keluarga nasrani. Nah, ini fakta unik satu lagi mengapa ramadhan saya pastinya berkesan. Sudah jauh dari anak dan misua, saya juga akan beribadah sendiri karena induk semang kos menganut keyakinan yang berbeda.

Untungnya beliau berdua suami istri adalah orang-orang yang baik. Sore pak kos sibuk membawa televisi ke tukang servis. Ya, sejak saya tinggal di rumah mereka, televisi memang tak pernah nyala, ternyata rusak. Saat maghrib, televisi sudah menyala, dan kemudian bapak serta ibu kos menemani saya menonton tayangan sidang isbat.

Setelah Menteri Agama positif menyatakan bahwa puasa akan dimulai besok, Bu Rini, ibu kos saya langsung bertanya apakah saya mau ke masjid? Tapi rupanya saya yang terserang malas (hedeh) dan juga terserang lapar. Saya memutuskan untuk makan malam saja dulu, dan kemudian sholat traweh secara munfarid, di rumah.


Saat awal masuk kos, saya memang sengaja sekalian minta makan di dalam. Soalnya bu Rini ini juga buka warung di depan rumahnya. Kalau saya mikirnya dari segi kepraktisan saja. Lha lingkungan tempat tinggal saya itu jauh dari mana-mana. Susah kalau saya memilih makan di luar. Demikian juga akhirnya dengan urusan makan di bulan ramadhan ini. Bu Rini yang mengurus segalanya untuk saya. Dan di sahur pertama, beliaulah yang mengetuk pintu kamar saya untuk membangunkan saya agar segera santap sahur.

"Mbak Indah...sahur dulu."

"Baik, Bu ... Makasih...."

Inikah toleransi antar umat beragama? Ya, mungkin juga. Mari membaca pengalaman saya, hingga tiga puluh hari ke depan (kalau bisa istiqomah nulis lo yaa).

Selamat Datang Ramadhan

Catatan:
Keterangan mengenai sidang isbat, diambil dari wikipedia.
Semua gambar pendukung, diambil dari google

Kamis, 02 Juni 2016

Kraton Ratu Boko: Feeling at home And Paranormal

Sudah beberapa kali aku mendengar tentang Kraton Ratu Boko. Sebuah peninggalan bersejarah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Aku dengarnya bahwa lokasi Kraton Ratu Boko itu sering digunakan sebagai tempat pemotretan pre-wedding. Beberapa kali juga teman dari komunitas penulis (IIDN Jogja), pergi ke sana dan aplot foto-foto mereka. Tapi semua itu tak jua menarik perhatianku untuk berniat pergi mengunjungi Kraton Ratu Boko. Alasan paling utama sih, aku bingung bagaimana berkendara ke sana.

Lalu, di pertengahan Mei 2016, kunontonlah film yang sedang ramai, apalagi kalau bukan Ada Apa Dengan Cinta 2. Kraton Ratu Boko adalah salah satu lokasi yang digunakan untuk syuting film tersebut. Tempat Rangga dan Cinta berbincang-bincang dalam acara CLBK. Usai nonton film itu, hasrat ke Kraton Ratu Boko belum juga muncul. Yang muncul malah pengen jalan-jalan ke Punthuk Setumbu, salah satu lokasi syuting di daerah Magelang.

Tak dinyana, akhir Mei, temanku meminta aku untuk menemaninya ke Borobudur. Maklum temanku itu walaupun sudah berumur (kayak aku), tapi belum pernah menginjakkan kaki di salah satu keajaiban dunia tersebut. Ya, bisa dimaklumi sih, karena temenku itu lahir dan besar di Jawa Barat. Aku memaklumi, namun anehnya anaknya ibu kosku takjub…

“Laaah mosok ke Borobudur saja belum pernah to mbaaak?”

Caranya mengatakan itu seolah-olah Borobudur adalah pasar tradisional yang mudah dijangkau dan setiap orang se-Indonesia pasti sudah pernah mengunjunginya. Atau seolah-olah Borobudur itu Monas yang setiap orang Indonesia pasti pernah mengunjunginya. Gila, Monas? Aku aja belum pernah ke Monas. Oke, oke … aku tahu bahwa Borobudur is miracle dan sesuatu banget. Tapi kalau orang belum pernah mengunjunginya (walaupun sudah tua), itu ya nggak papa toh?

Kembali ke laptop. Nah, lalu berembuglah aku dengan temanku itu. Bagaimana kalau tidak hanya Borobudur yang kita kunjungi? Bagaimana kalau kita mengadakan wisata tour de Candi? Misalnya Borobudur – Prambanan – Boko? Temanku setuju, walau dia sudah pernah ke Boko dan Prambanan. Kalau aku, sudah pernah ke Borobudur dan Prambanan juga sebenarnya (zaman masih mulus dan sexi – masih remaja unyu maksudnya, haha). Yang akhirnya terealisasi, karena singkatnya waktu, kami dari Borobudur langsung ke Boko.

Sampai di Boko sudah waktu ashar, maka sholatlah aku dulu sebelum memasuki areal kraton. Tempat wisata Kraton Ratu Boko ini sudah dibangun sedemikian rupa sehingga ada bangunan modern di bagian luarnya. Ada restoran dengan view yang cantik, menghadap pemandangan seluruh kota Jogja. Bahkan kita juga dapat melihat dari kejauhan bangunan Candi Prambanan nan gagah. Ada juga penginapan dan beberapa bangunan yang belum sempat  kucek apa saja (mau nggugling kok males…hehe).

Masuk ke areal kraton, kita melewati tangga yang amat landai, jelas sekali bedanya dengan saat menaiki tangga ke Borobudur yang tangganya curam-curam dan bikin ngos-ngosan aku yang juaraaaang buanget olah raga. Tangga menuju kraton Ratu Boko ini didesain romantis, dengan kursi-kursi berukir di setiap sisinya.

Setelah melewati tangga, kita sampai di areal datar. Dari kejauhan sudah tampak gerbang kraton, tapi aku malah terpesona pada hamparan rumput hijau nan menggoda, dan tawaran seorang ibu-ibu untuk mencicipi es degan. Masalahnya tadi di Borobudur sudah ngiler lihat es degan, tapi ternyata pas makan siang di restoran, gak ada menu es degan … huaa.

“Mbak, ayo kita minum es degan dulu,” ajakku.

Kamipun minum es degan sambil duduk-duduk menggelar tikar di padang rumput di pelataran bagian luar kraton Ratu Boko. Hmmm, itu momen yang sangat rileks buat aku. Aku juga nyempetin baring-baring memandang langit biru plus selfie-selfie. Malu? Ah enggak … wong nggak ada yang kenal ini. Para pengunjung yang lain juga asyik sendiri. Oya, yang kusukai dengan perjalanan ke Kraton Ratu Boko ini, karena gak seramai waktu di Borobudur tadi. Alamak, Borobudur full manusia. Rombongan SD, SMP dan SMA tumpah ruah di sana. Maklum musim liburan. Dan kata sopir travel yang nganterin kita, ada 250 bus di tempat parkir Borobudur! Entah sopirku itu gak punya kerjaan trus ngitungin bus di areal parkir sambil nungguin kami, atau dia dapat info dari penjaga loket, hehehe.

Setelah menghabiskan satu kelapa muda yang rasanya juara, kami melanjutkan perjalanan. Dan aku terkesima, terpesona, takjub, jatuh cinta pada Boko. Arealnya luas banget. Nah untuk yang satu ini aku harus gugling. Keterangan berikut bersumber dari Wikipedia.

Kraton atau Candi Ratu Boko adalah situs purbakala yang merupakan kompleks sejumlah sisa bangunan yang berada sekitar 3 km sebelah selatan kompleks Candi Prambanan. Situs Ratu Boko terletak di sebuah bukit dengan ketinggian 196 m dpl. Luas keseluruhan kompleks adalah 25 ha.

Situs Ratu Boko pertama ditemukan oleh Van Boeckholtz pada tahun 1790, namun baru 100 tahun kemudian dilakukan penelitian yang dipimpin oleh FDK Bosch yang dilaporkan dalam semacam manuskrip (?) Keraton van Ratoe Boko. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa reruntuhan purbakala tersebut adalah sebuah istana kerajaan, berdasarkan dari pola peletakan sisa-sisa bangunan. Kompleks tersebut bukan candi atau bangunan yang bersifat religius, melainkan sebuah istana berbenteng dengan bukti adanya sisa dinding benteng dan parit kering sebagai struktur pertahanan. Lalu, Ratu Boko itu sendiri siapa? Menurut legenda masyarakat sekitar, Ratu Boko adalah ayah dari Loro Jonggrang, yang juga menjadi nama candi utama pada kompleks Candi Prambanan.

Kompleks kraton Ratu Boko itu sangat luas dan aku mencoba menjelajah semua bagiannya dengan diliputi perasaan takjub. Pertama takjub dengan luasnya, takjub dengan cantiknya, takjub dengan hawa silir yang mengembus-embusku dengan nyaman, takjub dengan kinerja para arkeolog – yang tentunya sudah membuat situs ini layak dikunjungi. Aku bayangkan dulu awal ditemukan tentu tak secantik itu penampakannya. Lalu rasa takjubku juga karena saat melangkah di areal bekas kraton itu, aku diliputi perasaan bahagia seolah berada di rumah. Aku jadi berpikir mungkin aku ini titisan salah satu putri kraton yang dulu tinggal di istana Boko (dilarang protes lo yaaa…dilarang sirik trus bilang: titisan mbok emban kale…wkkk).

Dan di samping rasa takjub dan bangga dengan para nenek moyangku, aku diselipi rasa haru dan sedih. Gimana ya, supaya kraton Boko bisa dipugar, lalu berdiri megah seperti aslinya? Bagaimana ya sebenarnya penampakan aslinya? Bagaimana orang-orang dulu berinteraksi di dalam kraton ini? Tiba-tiba aku ingin belajar arkeologi (sudah telat buk…sudah tua. Ih, tak ada kata terlambat untuk belajar, bukan????). Dan tiba-tiba aku marah pada paranormal. Lho…kok sampai ke paranormal?

Maafkan pikiranku yang suka nglantur ini. Beneran pikiranku melayang pada paranormal yang suka tampil di televisi itu. Mereka sukanya meramal ada kejadian apa di tahun-tahun mendatang. Ada spesialis artis, ngeramal artis ini bakal cemerlang, artis ini bakal sakit, dan ada artis yang bakal cerai dan meninggal. Ada juga spesialis dunia politik, tahun depan Indonesia bakal bla bla bla. Hello paranormal, wes gak usah ngomongno masa depan, iku ngono kuosone Gusti Allah.

Ayo sini paranormal ikut ke Kraton Ratu Boko, atau ke semua reruntuhan candi di Indonesia.  Raba dindingnya, pegang batunya, peluk patung-patungnya dan biarkan ilmumu membawamu jauhhh ke ratusan tahun silam. Gambarkan bagaimana rupa asli bangunan-bangunan ini. Bantu para arkeolog. Daripada berceloteh tentang masa depan yang belum tentu benar, mending kalian meraba masa lalu yang pasti ada. Ilmu kalian jadi lebih bermanfaat, kan?

Yah, begitulah kisahku dalam perjalanan ke kraton Ratu Boko. I am so in love deh. Terutama oleh rasa hommy tadi. Mungkin suatu saat aku akan kembali ke Boko. Kembali pulang ke rumah. Terima kasih sudah membaca pengalamanku ini, byee (dada-dada ala putri kraton Boko).


 Berikut ini beberapa foto yang kuculik dari google untuk melengkapi kisahku. Foto-fotoku selama di Boko soalnya belum dicetak (waduh jadul amat), waktu masang rollnya nggak nyantol (haduh apalagi ini generasi unyu gak bakal ngerti), fotoku terbakar semua (aissh berasa balik ke tahun 90-an) ... hahaha.

Gerbang Kraton Ratu Boko 

Hamparan rumput di areal Kraton Ratu Boko

Restoran, dengan view kota Jogja. Menawan.

Cinta dan Rangga (AADC 2) di salah satu sudut Kraton Ratu Boko
COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES