Sahur pagi ini sangat istimewa. Semua bermula ketika saya
bawa piring makan saya di depan televisi dan melihat ibu kos sedang khusyuk
menonton acara pengajian Kyai Kanjeng. Pengajian malam-malam Cak Nun di sudut
Jogja yang ditayangkan ulang saat sahur di AdiTV. Bu Kos masih ngadepi TV
(duduk dekat banget dengan televisi), ketika kusapa,
“Wah, ibu suka nonton pengajiannya Cak Nun?” tanyaku heran.
Ibu tersenyum.
“Ya, baru ini kok, Mbak. Ini yang nikah sama Novia
Kolopaking itu kan, Mbak? Kok sudah tua, ya?”
Hahaha, ternyata bu kos lagi kepo toh.
“Iyalah, Bu. Dulu nikah sama Novia juga kan sudah tua, sudah
duda,” sahutku.
Wah, pagi-pagi jadi nggibahin Cak Nun, nih. Astaghfirullah.
Maaf ya, Cak Nun.
Akhirnya bu kos duduk menjauh, tapi tidak mengganti channel
televisi. Tetap mantep menonton sambil mencari-cari siapa tahu Mbak Novia
nongol. Tapi rupanya pagi itu Mbak Novia nggak ikut syuting. Jadilah saya dan
bu kos mengikuti kajian Kyai Kanjeng dengan khusyuk.
Ini lho, Bu Kos ... Mbak Novia masih semaniz yang dulu
Saya sendiri belum pernah menonton acara Cak Nun ini. Tahu
sih kalau stasiun televisi lokal Jogja itu selalu menayangkan Kyai Kanjeng.
Tapi entahlah saya selalu kurang tergerak untuk mencermatinya. Saya lebih
memilih menonton tausiyah Mamah Dedeh, Ustd Maulana atau AA Gym dan sesekali
Ustd YM.
Kali ini saya ‘terpaksa’ menonton Cak Nun dan Masya Allah … ternyata
sungguh saya tersentuh oleh gaya beliau. Saat sedang bertausiyah, saya masih
kurang konsen karena lebih konsen berperang melawan sayap ayam bumbu opor di
piring saya, tapi saat tanya jawab, saya terpaku menatap monitor televisi.
Terpesona, manggut-manggut, lalu tertawa-tawa penuh kagum melihat gaya Cak Nun
menjawab pertanyaan. Mungkin cara saya menuliskannya berikut ini tak akan bisa
menggambarkan hebohnya pengajian Cak Nun, tapi baiklah saya coba berbagi di
sini, ya.
Gaya Cak Nun yang ekspresif
Penanya pertama seorang anak muda santun yang mengeluh bahwa
ia ingin mengajari anak-anak di sekitar tempat tinggalnya mengaji. Tapi mengapa
anak-anak ini kurang sopan-santun. Kalau ia memberi hukuman sedikit saja juga
sudah heboh lapor kepada orangtua. Bagaimana sebagai guru ia harus bersikap?
Penanya kedua seorang bapak berusia 40-an tahun. Ia mengaku
selama ini belum tertarik belajar agama secara benar. Baru sekaranglah ia tertarik
untuk belajar pada seorang guru/ulama. Tapi ia bingung mau belajar pada yang
mana, karena menurutnya ulama-ulama itu kok semua pada bertolak belakang. Yang
satu bilang A, yang lain bilang B. Padahal menurut si bapak, di akhirat nanti
kita kan dikumpulkan bersama guru-guru kita. Nah, kalau kita pilih guru yang
salah, kita masuk neraka, dong. Kalau ikut ulama-ulama itu sama-sama masuk
neraka, mending tidak usah belajar agama saja. Atau bagaimana, Cak Nun? (pertanyaan ini menurutku unik tenan dan rada
menggelikan, belajar agama wae bingunge eram, lha mbok yo teka sak ithik,
ngafalke surat-surat sik wae misale, yo? Lho kok saya yang komen ya? Pake
Javanese pulak … wkkk. Lanjut…).
Penanya ketiga seorang mbak-mbak berbaju pink yang seseg
atinya. Kelihatan bahwa ia sudah memendam pertanyaan ini sebagai kegundahan
hatinya sejak lama. Begini pertanyaannya:
“Saya itu resah. Di keluarga besar saya, ada pemahaman bahwa
orang yang sudah meninggal, hanya ada tiga amal jariyah yang tak akan putus
pahalanya. Satu ilmu yang bermanfaat, sodakoh jariyah dan anak soleh yang
mendoakan. Pakde saya memahami hal tersebut dan melarang saya ke pemakaman.
Padahal saya ingin mendoakan kakak saya, kakek saya dan keluarga saya yang
sudah meninggal. Kata Pakde doa saya tidak akan nyampe. Ora bakal Kabul!
Bagaimana Cak Nun? Apakah kalau kakak saya belum punya anak, belum sempat
beramal jariyah dan belum sempat menyebarkan ilmu, lalu saya tidak dapat
mendoakannya? (si mbak sudah
mingsek-mingsek menahan perasaannya … dan saat saya menuliskan kalimat ini,
saya juga jadi baper dan menangis terisak-isak). Bagaimana cara saya
mengatasi masalah saya ini?
Cukup tiga penanya, Cak Nun dengan sangat kharismatik mulai
menjawab pertanyaan:
“Baiklah, saya jawab langsung urut dari pertanyaan mbaknya,
karena ini perlu dijawab cepat supaya tenang hatinya. Orang yang meninggal,
terputus amal kebajikannya, kecuali tiga hal. Ilmu yang bermanfaat, sodakoh
jariyah dan anak yang soleh. Maksudnya, orang meninggal itu sudah nggak bisa
ngapa-ngapain lagi. Sudah nggak bisa sholat, nggak bisa ngaji, nggak bisa ke
pasar. Sedangkan soal doa, itu masalah yang berbeda. Lha wong kamu mendoakan
saya saja bisa (Cak Nun mengutip ayat tentang bagaimana Allah menyuruh kita
untuk saling mendoakan pada kaum muslimin dan muslimat). Apa kita hanya bisa
mendoakan bapak kita saja atau ibu kita saja? Tidak. Dan orang yang suka
mengklaim bahwa doa itu Kabul atau nggak Kabul itu sama dengan FIR’AUN! Kabul
atau nggak Kabul doa kita itu terserah ALLAH! Kemudian masalah ziarah kubur, nggak
papa, silakan kamu ziarah kubur. Pakdemu itu berarti menganggap bahwa orang
meninggal itu sudah tidak ada. Mereka itu ada, tapi berada di dimensi yang lain
dengan kita. Coba saya tanya (Cak Nun menatap audience). Bung Karno itu ada
atau tidak? Hadirin ragu-ragu menjawab (Cak Nun jadi nggak sabar). Sekarang
saya tanya: Nabi Muhammad itu ada atau tidak!! Baru dehh pada koor menjawab
ADAAAA. Nah … ADA! Ngapain kita susah-susah ALLAHUMMA SALLI ALAA MUHAMMAD kalau
Nabi itu nggak ada. Orang-orang yang sudah meninggal itu semua masih ada. Maka
kalau di kuburan biasa Nabi memberi salam “Assalamualaikum yaa ahli kubuur –
assalamualaikum (Cak Nun mencontohkan dengan menunduk-nunduk sambil mengangkat
tangan, lalu cepat tegap kembali), kalian kira Rasulullah itu gila, sampai
seperti itu?”
Mbak, nanti kalau kamu pulang, bilang sama pakdemu, “Pakde
saya doain masuk neraka.” Terus kalau pakdemu marah … jawab saja. Jangan marah
pakde … doaku kuwi ora bakal KABUL wong kowe duduk wong tuoku, wong cuma PAKDE
(di sini saya terbahak-bahak, apalagi
bahasa tubuh Cak Nun sangat kocak).
Nah, sudah paham, Mbak? Kamu ziarah saja nggak apa-apa.
Doakan kakakmu. Adapun Pakdemu, kalau nggak kepepet nggak usah kamu lawan.
Tetap santun. Kalau ngeyel ya tadi itu, kamu doakan saja dia masuk neraka.
Si Mbak terlihat lebih tenang. Cak Nun sempat komen: Baru
kali ini saya dapat anugerah bisa melihat orang menangis sambil tertawa. (Hahaha, memang jawaban Cak Nun sangat kocak
tapi sekaligus sangat mengena. Saya bisa memahami perasaan Mbak itu pasti
plooooong hatinya).
Jawaban untuk pertanyaan kedua tak kalah lucu tapi juga
masuuuuk banget.
Dapat hadist darimana itu kalau di akhirat kita akan
berbaris di belakang guru masing-masing? Lha wong guru di dunia ini sangat
banyak. Ada guru SD, SMP, SMA, belum guru-guru yang lain. Lha kamu mau baris di
belakang yang mana? Lha jadinya sangat banyak barisan di akhirat itu. (Saya ngikik-ngikik). Di akhirat nanti
itu tidak ada NU, tidak ada Muhammadiyah, tidak ada LDII, semua satu umat di
bawah Rasulullah. Kalau mau belajar Islam, belajar dengan banyak guru lebih
baik (Detilnya saya nggak bisa
menuliskan, intinya jawaban Cak Nun seperti itu. Jawaban aslinya lebih lucuuu,
saya banyak tertawa jadi kadang missed nyemaknya, hehehe).
Penanya ketiga dinasihati oleh Cak Nun bahwa kalau ingin
mengajari ngaji ya mengajari ngaji saja. Tapi kalau ingin anak-anak santun,
yang diajari pertama adalah TAUHID, dan kedua AKHLAKUL KARIMAH atau akhlak yang
baik.
Tauhid artinya anak harus paham akan keesaan Allah.
Menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Akhlakul karimah, paling
gampang adalah HINDARI MO LIMO, yaitu: Main (judi), Maling (mencuri), Madat
(narkoba dan sejenisnya), Minum (minuman yang memabukkan), Madon (main
perempuan – berzinah).
Demikian pencerahan yang
saya dapatkan dari Cak Nun di sahur pagi ini. Cak Nun adalah seseorang
yang sangat memBUMI sekaligus meLANGIT pada saat yang bersamaan. Itu kesan saya
dalam perjumpaan kali ini. Perjumpaan yang lebih lama daripada sebelumnya yang
hanya sekilas-sekilas saja (Maksud saya
semua perjumpaan itu melalui televisi lho ya, hehe).
Ternyata di masyarakat umum masih ada
interpretasi-interpretasi agama yang sangat menyimpang. Orang-orang seperti Cak
Nun ini sangat bagus, dapat menjangkau sampai relung hati orang-orang di
pelosok-pelosok negeri. Hati saya hari ini biru oleh tausiyah Cak Nun. Hati
Anda yang membaca artikel saya ini gimana? Biru juga, apa merah? Hehe, terima
kasih sudah membaca, semoga bermanfaat.