Jumat, 27 November 2015

Semut di dalam laptop

Dua bulanan belakangan ini saya mengalami hal yang menjengkelkan dengan laptop saya. Yaitu adanya makhluk kecil yang bermunculan melalui lubang-lubang di laptop. Bayangin aja, sedang enak-enak ngetik, tiba-tiba doski show off di layar monitor. Trus nggak lamanya keluar saudara-saudaranya dari lubang keyboard. Ya, tak lain tak bukan, dia adalah semut, saudara-saudara....



Paling parah adalah hari ini. Biasanya cuma satu dua aja si semut itu. Eh, hari ini buanyak banget kayak rombongan orang mau nonton pawai. Bejubelan membuat kesal. Niat saya tadinya mau nuntasin resensi buku temen di blog sambil nyalin jurnal, langsung amblas seketika. Dengan penuh geram langsung saya bikin postingan ini ngerumpiin si semut. Tak lupa saya menggugling dan menemukan beberapa tips mengatasi keberadaan semut di dalam laptop.

Wuah, rupanya banyak juga orang yang mengalami nasib sama dengan saya. Nggak jauh-jauh, laptop suami saya juga dikerubuti laptop. Menurut beliau, itu karena dia suka nyimpan permen dalam tas laptopnya. Hmm, jadi rupanya memang perlu dibasmi si semut itu. Saya khawatir lama-lama dia akan menyebabkan kerusakan yang sistemik dalam laptop saya.



Dan saya menemukan banyak tips dalam beberapa blog yang saya gugling di internet. Alhamdulillah. Berikut saya rangkumkan cara menghilangkan semut:
1. Letakkan laptop dalam ember yang sudah dimasuki kapur barus. Tutup dengan menyisakan tempat keluar. Saat bau kapur barus sudah memenuhi ember, semut akan berhamburan keluar
2. Mainkan game yang bisa menyebabkan laptop jadi panas. Semut akan keluar karena tidak tahan panas
3. Bongkar laptop di tempat service

Cara mencegah agar semut tak tertarik lagi pada laptop Anda:
1. Sering bersihkan laptop setidaknya seminggu dua kali. Kalau saya, inginnya sekarang tiap hari kudu buka laptop.
2. Cuci tangan sebelum mulai membuka laptop
3. Jangan ngetik sambil ngemil (kadangkala ini saya lakukan memang)

Nah, semoga Anda tak mengalami kekesalan seperti saya, ya. Jaga kebersihan laptop dan jaga kebersihan tanganmu saat ngetik. Yukk, lanjut nulis lageee.....

Sumber tulisan:
http://zaidankomputer.blogspot.co.id/2014/02/cara-mengatasi-semut-dalam-laptop.html?showComment=1448675655362#c1820358288447717812


Minggu, 22 November 2015

Percikan Pertamaku di Majalah Gadis

Beberapa waktu lalu, naskah cerpenku dimuat di rubrik Percikan majalah Gadis. Rubrik percikan adalah rubrik yang berisi naskah cerpen singkat sekitar 500 kata. Genrenya tentu remaja dan biasanya kisah berakhir secara twist ending, atau endingnya agak mengejutkan gitu. Sempat mencoba beberapa kali njajal gawang percikan, ini naskah ke lima yang golll. Kukirim 8 Oktober 2015, dimuat pertengahan bulan Oktober 2015. Ini naskah asli dari "Bukan Habibie". Selamat membaca, ya.
 



Bukan Habibi
Oleh: Kalya Innovie

            Mataku masih terpejam ketika secara refleks kuraih ponsel yang sudah beberapa menit mengalunkan “Knock Me Out” dari Afgan. Uuh … siapa sih yang rese banget malam-malam buta menelepon? Tak lama setelah kugeser penanda hijau ke merah di ponselku, suara cempreng menampar telingaku dari ujung telepon.
            “Winaaa … lama amat ngangkatnya,” suara Mia, teman sebangkuku di kelas.
            “Maaf, aku sudah tidur,” sahutku mengucap maaf dengan maksud menyindir Mia.
            “Oh, nggak papa. Sekarang sudah melek? Aku ada berita penting.”
            “Berita apa?” tanyaku malas.
            “Aku sekarang tahu kenapa Vino selalu bilang aku jelek.”
            “Kenapa, Mi?”
            “Aku tahu karena aku baru nemenin tanteku nonton film lama. Film Ainun-Habibi.”
            “Tolong dipersingkat saja deh, Mi. Kalau bertele-tele, aku nggak mudeng.”
            “Ih, Wina. Masak kamu nggak tahu? Di film itu, pak Habibi yang masih remaja selalu meledek bu Ainun jelek, item. Padahal itu sebenarnya wujud kecanggungan pak Habibi saja. Padahal pak Habibi tu naksir bu Ainun.”
            Mataku benar-benar melek sekarang.
            “Jadi maksud kamu?”
            “Maksudku, Vino pasti naksir aku. Cuma karena dia canggung, gugup, jadi dia selalu meledek aku jelek. Kamu tahu nggak? Aku jadi lega banget habis nonton film ini. Sekarang aku mau tidur dulu. Daa …!”
***
            Aku masih terkantuk-kantuk mendengarkan sekali lagi teori cinta a la Habibi dari mulut Mia. Tadi malam aku nggak bisa tidur lagi, lalu aku rampungkan saja buku “Bumi” karya Tere Liye yang siangnya baru aku pinjam dari perpustakaan. Akibatnya sekarang aku ngantuk.
            Mia masih nyerocos ketika Vino masuk ke kelas kami. Aku tau ia mencari Clarissa. Tapi Claris sedang tidak masuk.
            “Hai, ganteng…,” sapa Mia senyum-senyum.
            “Hai, jelek,” sahut Vino cuek, seperti biasa.
            Alih-alih cemberut dan ngedumel kayak biasanya, kali ini Mia terbahak mendengar jawaban Vino, lalu dengan centil menepuk bahu Vino.
            “Ih, Vino gitu deh, sukanya. Jangan nggak jujur sama perasaanmu sendiri…,” rajuk Mia, lalu ngikik kayak miss kunti.
            Vino melongo dan terlihat agak ngeri dengan reaksi Mia yang lain dari biasa.
            “Claris mana, Win?” tanyanya padaku, tak mau lama-lama menatap Mia yang masih cari-cari perhatian. Aku segera menjelaskan tentang Clarissa yang tidak masuk. Vino buru-buru meninggalkan kelas kami setelah mendengarkan penjelasanku. Sepeninggal Vino, Mia kembali membeberkan teori cinta a la Habibi. Tapi aku punya pendapat sendiri. Walau tak menguasai teori cinta manapun, dari tatapan mata Vino saja, aku bisa paham kalau dia naksir Clarissa, bukan Mia. Tapi aku nggak mau merusak euforia Mia, jadi aku diam saja.
***
            “Hai, cantik … sudah sembuh bener, ya?” sapa Vino pada Clarissa. Hmm, pradugaku 99% sudah mendekati kebenaran. Setiap jam istirahat Vino selalu masuk kelasku untuk nyari Clarissa. Visi dan misinya terdeteksi dengan jelas. Cuma, selalu ada satu orang yang buta.
            “Hai, Vino ganteng…,” walau nggak disapa, Mia tetep aja nyamber.
            “Hai, jelek,” balas Vino pendek dengan muka lempeng.
            Clarissa tertawa.
            “Kalian itu nggak ada capeknya bertengkar. Yuk, kita ke kantin. Vino janji mau nraktir kita bertiga, lho,” ajak Clarissa tersenyum manis.
            “Dalam rangka apa, Cla?” tanyaku.
            “Emh … kemarin kami jadian,” jawab Clarissa dengan pipi memerah.
            Clarissa dan Vino duluan ke kantin. Aku janji akan menyusul bersama Mia. Aku harus menghibur Mia yang syok mendengar berita dari Clarissa.
            “Mi … sabar, ya, Mi. Maaf, nggak mengingatkan kamu tentang teori Habibi. Satu yang kamu perlu sadari, Vino itu bukan Habibi. Dan untuk teori cinta, tiap orang punya formula yang berbeda.”
            “Jadi … ternyata benar ya, Wina?” tanya Mia mengandung isak.
            “Apanya yang benar?”
            “Benar aku ini jelek?” tangis Mia pecah.
            Aku memeluknya. Sepertinya perlu waktu lebih lama untuk menyusul Vino dan Clarissa ke kantin.***




Kemiskinan di Indonesia

Dengan payung judul di atas, saya meresensi sebuah buku di bawah ini:


Pengentasan Kemiskinan Melalui Beras Miskin (Raskin), Mungkinkah?


Judul Buku                  : Pembasmian Kemiskinan, Perspektif Sosiologi-Antropologi
Penulis                         : DR. Swis Tantoro, M.Si
Penerbit                       : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan                       : I, Desember 2014
Tebal buku                  : 184 halaman
ISBN                           : 978-602-229-435-1

Kemiskinan merupakan sebuah kata yang sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia. Telah sering kita dengar kalimat yang mengandung kontradiksi, Indonesia negeri kaya, dengan masyarakat yang miskin. Tidak hanya di Indonesia saja, namun kemiskinan telah menjadi sebuah issue yang sangat penting di seluruh dunia, hingga penelitian mengenai kemiskinan selalu dilaksanakan dari waktu ke waktu.
Buku ini merupakan sari dari disertasi yang disusun oleh penulis, saat menempuh studi jenjang S3 di Malaysia. Mengambil topik kemiskinan, dan fokus penelitian pada salah satu program pemerintah dalam mengatasi kemiskinan, yaitu program beras miskin (raskin). Buku ini menjelaskan bagaimana program raskin dilaksanakan dan apa saja kendala dalam penyaluran raskin. Lokasi penelitian dilakukan di kota Pekanbaru. Walaupun hasil penelitian dalam buku ini adalah gambaran lokal di Pekanbaru, namun dapat menjadi cermin dan pelajaran untuk perbaikan program raskin baik di Pekanbaru sendiri maupun di daerah lain di Indonesia. Menarik tentunya, mengingat di akhir 2014 telah muncul wacana bahwa pemerintah akan menghapus program beras miskin dan menggantikannya dengan e-money untuk membeli beras.
Ada enam ‘tepat’ yang harus dipenuhi untuk memastikan penyaluran raskin yaitu: tepat sasaran, tepat jumlah, tepat mutu, tepat waktu, tepat harga dan tepat administrasi. Kenyataannya, selalu ada kendala yang menyebabkan raskin tidak tepat sasaran, seperti data masyarakat miskin yang tidak sesuai. Tidak tepat jumlah, karena ada kelurahan yang punya ‘kebijakan’ tersendiri sehingga membagi rata jatah raskin pada semua penduduknya baik miskin maupun tidak. Tidak tepat mutu, banyak beras yang apek, kotor dan berkutu. Tidak tepat waktu, kadang terlambat hingga dua minggu karena penyetoran hasil penjualan raskin bulan sebelumnya belum dilakukan. Tidak tepat harga, masyarakat membayar lebih untuk biaya tambahan. Tidak tepat administrasi, syarat-syarat administrasi tidak terpenuhi pada waktunya. Walaupun mengakui banyak kendala pada program raskin, tapi penulis buku ini  menyarankan pemerintah agar meneruskan program ini dengan melakukan perbaikan-perbaikan. Penulis percaya bahwa program ini dapat mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan masyarakat.

Dari sisi judul, sebetulnya judul buku ini kurang sesuai, karena saya tidak menemukan perspektif sosiologi-antropologi di dalamnya. Kalaupun ada, itu hanya dipaparkan sedikit di bagian tinjauan pustaka. Judul yang lebih sesuai adalah Program Raskin di Indonesia: Studi Kasus Kota Pekanbaru. Walaupun judul kurang sesuai, menurut saya isi buku ini penting, khususnya  untuk menambah wawasan kita mengenai program raskin dan kendalanya.

Kamis, 05 November 2015

Cerpen keempat di Majalah Bobo: Pergilah Kau, Koles



Pergilah Kau, Koles
Oleh: Kalya Innovie

            Pulang sekolah, lapar dan haus. Seperti biasa, Dina langsung menuju meja makan.
            “Ha? Ayam kukus lagi?” Dina menggumam sambil melongok hidangan di bawah tudung saji.
            “Lihat, aku lihat, Kak!” Syafiq, adiknya, ikut-ikutan melongok ke bawah tudung saji. “Yaah…” Syafiq mendesah kecewa. Di bawah tudung saji ada ayam kukus, tumis kacang panjang dan tahu bacem, sebagai menu makan siang mereka.
            “Sudah lama sekali kita tidak makan ayam goreng, ya, Fiq?” keluh Dina. Syafiq mengangguk sedih.
            “Hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, Fiq,” ucap Dina.
            “Maksud Kakak?”
            “Kita harus demo,” bisik Dina di telinga Syafiq.
Mata Syafiq membulat. “Bakar ban, Kak?” tanyanya
Dina tertawa. Dulu mereka pernah lewat sebuah kampus saat mahasiswa sedang demo, membakar ban memprotes kenaikan BBM. Waktu itu Syafiq bertanya pada Papa, ada apa. Lalu Papa jawab, sedang ada demo. Rupanya dalam kepala Syafiq, demo itu identik dengan bakar ban.
Dina menjelaskan pada adiknya. Demo, atau kependekan dari demonstrasi, adalah ungkapan rasa kecewa karena sesuatu yang di luar harapan kita.
“Caranya bagaimana, Kak?”
Dina berbisik lagi di telinga Syafiq. Syafiq membelalak. Mogok makan? Wah, nanti lapar, dong. Walaupun Syafiq memang ingin makan ayam goreng, tapi ayam kukus buatan Mama juga enak. Masak tidak dimakan?
“Eh, kalian lagi pada ngapain? Pulang sekolah bukannya ganti baju, malah bisik-bisik dekat meja makan?” Mama datang dari belakang rumah, membawa baju-baju yang sudah kering usai dijemur. “Cepat ganti baju, lalu makan.”
Dina dan Syafiq mencium tangan Mama, lalu menuju kamar masing-masing. Setelah ganti baju, Dina langsung berbaring-baring di kasur, membaca-baca buku. Sementara Syafiq, langsung keluar kamar dan menuju meja makan. Di kamarnya, alis Dina terangkat mendengar suara denting sendok beradu dengan piring – dari ruang makan.
“Syafiiiiiiiqqqqqq!!” teriak Dina kesal. Harusnya kan, mereka mogok makan.
*
            Sorenya Dina dan Syafiq protes pada Papa.
            “Kenapa sih, Pa … akhir-akhir ini, Mama selalu masak serba kukus. Ayam, dikukus. Ikan, dikukus. Daging sudah jarang banget. Tempe tahu juga dikukus. Kami rindu ayam goreng,” keluh Dina.
            Papa terbahak.
            “Kenapa nggak bilang langsung sama Mama?”
            “Ih, sudah, Pa.”
            “Terus, jawaban Mama apa?”
            “Kata Mama, makanan yang serba kukus, itu sehat. Begitu, Pa.”
            “Nah, betul itu kata Mama.”
            “Yaah, Papa. Malah jadi pendukung Mama.”
“Sabar, ya. Nanti Papa bilang sama Mama deh, supaya sesekali bikin ayam goreng lagi. Mama kalian itu sedang diet rendah kolesterol. Sebulan lalu, Mama cek kolesterol dan ternyata kolesterol Mama cukup tinggi.”
“Koles-koles itu apa sih, Pa?” tanya Syafiq.
“Ko-les-te-rol, bukan koles-koles,” ralat Papa. “Kolesterol itu lemak jahat. Hii, kalian tahu ternyata di tubuh kita ada lemak jahat dan lemak baiknya. Lemak jahat bisa menyumbat aliran darah ke jantung.”
“Makanan yang digoreng itu minyaknya bisa jadi lemak jahat, ya, Pa?” tanya Dina.
Papa mengangguk.
“Kasihan Mama, ya,” bisik Syafiq sedih. Dina pun terdiam. Demi kesehatan Mama, rasanya makan ayam kukus setiap hari, Dina rela.
“Tidak usah sedih, kadar kolesterol Mama belum terlalu tinggi, kok. Tapi tetap harus dijaga agar tidak naik lagi,” hibur Papa.
*
            Demi mengobati rindu ayam goreng, Papa mengajak Dina dan Syafiq makan ayam goreng kremes di warung langganan. Pada Mama, mereka pamit jalan-jalan. Mama juga tidak tertarik ikut karena ada pekerjaan di dapur yang harus diselesaikan.
            Sepulang makan, mereka bertiga singgah di toko buah. Papa membeli banyak alpukat dan belimbing manis.
            “Tumben sih, Pa? Biasanya beli apel dan jeruk?” tanya Dina.
            “Ini buat Mama. Rutin mengkonsumsi alpukat dan belimbing manis, dapat menurunkan kolesterol. Itu Papa baca di internet tadi siang.”
            “Ooh … penyakit koles-koles itu, kok, obatnya enak sih, Pa?” tanya Syafiq.
            Papa tergelak.
            Sesampai di rumah, Dina dan Syafiq memberikan oleh-oleh buah pada Mama.
            “Ma, ini buah untuk Mama. Dimakan rutin, bisa menurunkan koles-koles, lho,” ucap Syafiq.
            “Apa itu koles-koles?” tanya Mama tersenyum. “Terima kasih, ya. Oh ya, waktu kalian pergi tadi, Mama masak ayam kremes, lho. Mama kasihan, kalian jarang makan ayam goreng kesukaan kalian. Nah, sekarang Mama bikinkan. Ayo, buruan makan.”
            Papa, Dina dan Syafiq saling berpandangan. Ayam kremes lagi?”**

Selasa, 03 November 2015

Naskah Gado-gado Femina


Naskah gado-gado saya baru satu yang bisa nembus Femina. Hmm, kalau yang dikirim dan ditolak sekitar lima atau enam naskah. Di siang yang panas dan nggak ada ide nulis ini, izinkan saya post ulang naskah gado-gado saya yang dimuat tahun 2012 lalu (gak kurang jadul lagi, tante...tahun 2016 sudah mau dateng niy). Yahh ... dari pada gak ada yang dipost. Bolehlah posting tulisan-tulisan lawas. Semoga bermanfaat.

Like Mother, Like Daughter
Oleh: Indah Novita Dewi

            Kebanyakan orang yang mengenal keluarga kecil kami, selalu berkomentar hal yang sama bila melihat ketiga anak kami, yaitu: ketiganya fotokopi papanya. Itu untuk kemiripan fisik (wajah). Mengenai kemiripan dalam hal sifat atau kebiasaan, aku punya cerita tersendiri, khususnya menyangkut Nina, putri sulung kami. Begini ceritanya….
Suatu saat, Nina menyanyikan sebuah lagu yang tidak pernah kudengar sebelumnya, sambil bermain-main pita.
            “…bersama denganmu…bersama denganmu…,” begitu berulang-ulang.
            Penasaran, aku pun menegurnya, “Kak, lagu siapa itu? Mama kok, nggak pernah dengar?”
            Nina pun malu-malu, “Lagu Nina sendiri.”
            “Kok, syairnya syair lagu dewasa, sih? Ngarang lagu anak-anak, dong,” saranku.
            “Jadi liriknya gimana, Ma? Ayo, bantuin aku bikin lagu,” pintanya.
            Kuhentikan sejenak aktivitas menyetrika dan melihat ia memegang pita warna ungu.
            “Bikin lagu tentang tari pita,” usulku.
            “Iyaaa, tapi bagaimana liriknya?” Nina memaksaku mengajarinya. Terpaksa  kuputar otak.
            “Hmm, begini …’mari main bersama, menari pita denganku, melayang-layang meliuk-liuk, pita warna merah ungu’...,” aku menyanyi dengan irama yang kukarang sendiri.
            Setelah beberapa kali protes dan menambah serta mengurangi lirik yang dianggapnya tidak pas, Nina kembali bermain pita sambil mendendangkan lagu ‘baru’. Aku pun melanjutkan menyetrika sambil ikut-ikutan menyenandungkan lagu ‘Tari Pita’ yang kuciptakan secara kilat. Menciptakan lagu seperti itu mudah saja bagiku, karena saat seusia Nina, aku juga hobi ‘nyanyi ngawur’.
            Satu lagi kebiasaan Nina yaitu tidak bisa diam. Salah satunya ya menari-nari pita itu, kali lain ia main ‘engklek’ di dalam rumah, atau tiba-tiba senam-senam tidak jelas. Hmm, kalau yang satu ini, mirip sekali kebiasaanku waktu kecil yaitu ‘menahan kesal’
            Hah? Apa itu?
            Waktu kecil, tiap aku capek atau merasa bosan, maka aku akan ambil posisi berdiri dan mulai lari di tempat. Aku namakan aktivitas itu dengan ‘menahan kesal’ walaupun diprotes sama kakak. Menurut kakak, tingkahku justru akan membuat tambah kesal alias capek, bukannya menahan kesal. Tapi aku cuek saja, dan kakak serta mama cuma bisa tertawa dan geleng-geleng kepala tiap aku bilang, “Aku mau menahan kesal, ah,” sambil langsung ambil posisi dan mulai lari di tempat.
            Beberapa hari yang lalu saat libur sekolah karena murid kelas enam ujian, selama tiga hari Nina sangat rajin di rumah. Ia memintaku untuk mengijinkannya menyapu, mengepel, bahkan mencuci pakaian. Kubiarkan ia melakukan semua itu, tentunya dengan memilihkan cucian yang kecil-kecil dan tidak melelahkan.
            Aku ingat, waktu seumuran Nina, aku dulu juga sering ‘minta pekerjaan’ ke simbah yang bantu-bantu di rumah.
            “Mbah, aku minta kerjaan, bosan nggak ngapa-ngapain,” begitu biasanya celotehku kepada simbah. Lalu beliaupun mengijinkan aku ikut mencuci bersamanya.
            Selain menyapu, mengepel dan mencuci, Nina juga suka membantu memasak di dapur. Yang sering ia lakukan adalah membantu mengulek sambel. Aku ingat waktu kecil juga sering ikut-ikutan ngulek bumbu, tapi ujung-ujungnya sering dimarahi mamaku karena hasil ulekan belum lembut sempurna, aku sudah lari bosan meninggalkannya.
            Selesai mengerjakan pekerjaan rumah yang dimintanya, biasanya aku menciumi Nina dan memujinya.
            Tiba-tiba Nina berkata, “Aku mau jadi pembantunya Mama saja tiap liburan, ya?”
            “Hah? Masak jadi pembantu? Nggak usah jadi pembantu, tapi bantu-bantu Mama saja,” aku mengoreksi kata-katanya.
            “Mau jadi pembantuuu,” Nina ngotot, lalu menyodorkan tangan, “jadi Nina bisa minta bayaran.”
            Hah? Aku terpana, lalu terbahak.
            “Sana, ambil uang seribu di dompet Mama,” anggukku.
            “Benar ya, Ma? Horee!” Nina kegirangan.
            Hmm, kalau membantu kemudian minta bayaran, sepertinya itu bukan diriku. Mungkin papanya dulu begitu, ya? Hahaha…mau lepas tangan, nih. Tapi aku berpikir positif saja. Nina, ternyata punya jiwa bisnis dalam usia semuda ini.
            Sekalian aku menyemangatinya, “Kalau begitu nanti saat liburan ke Malang, kamu bantu-bantu Oma, ya. Beliau pasti senang dibantu kalau cukup bayar seribu. Jadi selama liburan, Nina bisa mengumpulkan uang.”
            “Wah, ide bagus, Mama,” ucap Nina dengan mata berbinar-binar.
            Hmm, waktu kecil aku tidak terlalu suka uang, tapi giliran sudah jadi emak-emak begini, binar-binar di mata Nina itu sama persis dengan binar-binar di  mataku saat tiba-tiba dapat rejeki nomplok! Olala, like mother, like daughter!*

  

COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES