Selasa, 30 Januari 2018

Tentang Saya


Hai, nama saya Indah Novita Dewi dan saya adalah ibu dari tiga anak. 
Saya tinggal di Makassar dan bekerja sebagai peneliti bidang sosial kehutanan di sebuah instansi litbang milik pemerintah. 
Hobi saya menulis fiksi dan artikel tentang apa saja yang menarik minat saya. 
Blog ini berisi beberapa hasil karya saya di bidang literasi baik yang sudah publish di media cetak/online, maupun yang memang saya tulis khusus untuk konsumsi pembaca blog ini saja. 
Saya juga menerima pesanan tulisan baik fiksi maupun artikel. 
Kontak saya di indardiasha@gmail.com.
*
Selamat membaca tulisan-tulisan di blog ini, semoga bermanfaat, jangan lupa untuk meninggalkan jejak bila berkenan. Terima kasih.

Selasa, 09 Januari 2018

Dua Jurus Jitu Menjadi Penulis




Foto dari https://typercat18.wordpress.com/2012/06/11/


Saya mempunyai banyak teman dunia maya yang berprofesi sebagai penulis. Saya juga senang membaca banyak grup-grup tentang kepenulisan. Kenapa? Ya karena saya suka menulis. Saya suka menulis dan mengirimkannya ke media, lalu mendapatkan honor dari tulisan saya tersebut. Saya kadang juga menulis bukan untuk dikirimkan ke media, namun sekadar opini, curhat, atau cerita sehari-hari  yang saya tuangkan di blog.

Saya sering membaca pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada beberapa teman penulis dan juga pertanyaan di grup-grup kepenulisan, tentang keingintahuan bagaimana memulai menjadi seorang penulis.

“Bagaimana sih, caranya menjadi penulis?”
“Saya punya banyak ide cerita tapi saya tidak dapat menuangkan menjadi tulisan yang bagus. Bagaimana ya, sebaiknya?”
“Saya ingin jadi penulis tapi bagaimana cara mendapatkan ide?”

Dan … masih banyak lagi pertanyaan lain yang diajukan. 

Saya bukan penulis profesional. Posisi saya adalah penulis yang masih harus selalu belajar setiap saat untuk memperbaiki kualitas tulisan saya. Namun setelah saya telusuri berbagai tulisan teman-teman dan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan di atas, maka saya berani menyimpulkan bahwa untuk menjadi penulis hanya butuh DUA jurus jitu, yaitu:

TEKUN dan SABAR

1.       Tekun (Tekun menulis dan tekun membaca)

Foto dari http://www.teknikhidup.com/quotes/gambar-kata-motivasi-semangat-kerj
 
Banyak penulis menyarankan pada penulis newbie untuk menulis secara teratur. Tiap hari harus selalu ada yang ditulis. Tidak usah terlalu banyak kalau memang tidak bisa. Dengan menulis satu paragraph setiap hari misalnya, maka dalam seminggu kita bisa mendapatkan satu halaman tulisan. Menulis teratur banyak manfaatnya, yaitu lambat laun otak kita akan luwes dalam mengolah kata. Dengan melatih setiap hari, kualitas dan kuantitas yang kita peroleh akan bertambah.

Salah satu penulis terkenal yang sangat tekun adalah Raditya Dika. Dika menulis buku-bukunya di sela jadwal kerjanya yang padat. Ada satu bukunya yang rampung dalam tiga tahun, hasil menulis rutin satu paragraph per hari.

Tentu saja sebelum bertekun ria, harus ditetapkan dulu naskah apa yang hendak ditulis, sesuai minat masing-masing. Ide dan diksi dapat diperoleh dengan tekun membaca naskah-naskah sejenis. Jika ingin menulis cerpen anak, maka tekunlah membaca puluhan bahkan ratusan cerpen anak sebagai referensi,; jika ingin menulis novel romantis, tekunlah membaca puluhan novel bergenre sama. Nanti pasti akan didapatkan kuncinya, setelah itu kita dapat menulis dengan lebih lancar karena paham, naskah yang akan kita tulis itu seperti apa.

2.       Sabar


Foto dari  http://jmmi.its.ac.id/2015/10/sabar-sudahkan-dihati-kita/

Penulis tidak hanya harus tekun dalam menjalani proses belajar menulis. Ia juga harus sabar, terutama penulis yang ingin menerbitkan karyanya untuk tujuan komersial. Menerbitkan naskah di media cetak atau digital ataupun naskah buku ke penerbit. Pada saat kita merasa senang sudah berhasil menulis naskah pendek (opini, cerpen, dll), atau panjang (novel, buku non fiksi), akan ada perjuangan panjang melalui alur kesabaran, yaitu saat kita mengirimkan naskah ke media/penerbit dan mengharap konfirmasi Acc.

Sebagai contoh saya share saja perjalanan kelima naskah saya yang tayang di 2017 kemarin, ya.

-          Cerpen anak “Kampung Baru Lina”, naskah cerpen dalam kumcer PBA (Penulis Bacaan Anak) saya tulis dan kirim 12 September 2014 sebagai naskah audisi kumcer. Setelah naskah itu pasti lolos untuk dibukukan, bukunya baru selesai tahun 2017. Nyaris tiga tahun prosesnya.

-          Cerpen remaja “Janji Eka”, dikirim 4 Februari 2017 ke majalah Gogirl dan dimuat di edisi 16 April 2017. Prosesnya dua bulan lebih. Ini termasuk cepat.

-          Opini “Transportasi Online” dikirim ke harian Bernas 15 Maret 2017, dimuat 16 Maret 2017. Naskah opini di surat kabar termasuk jenis naskah yang cepat tayang, jika memang layak tayang, dan sesuai momen. Saya mengirimkan naskah ini saat rame-ramenya demo terhadap transportasi online. Apabila selama satu minggu naskah tidak ada kabar, bisa dipastikan naskah kita tidak layak terbit. Durasi menunggu satu minggu ini, hanya untuk naskah koran, ya.

-          Cerpen anak “Kotak Bekal Misterius”, dikirim ke majalah Bobo 1 Agustus 2016, dimuat edisi 13 Juli 2017. Prosesnya nyaris satu tahun. Untuk Bobo ini relatif “cepat” karena ada cerpen yang dimuat setelah menunggu dua tahun antrean.

-          Cerpen anak “Menjaga Kejujuran”, dikirim via pos ke harian Kedaulatan Rakyat sekitar bulan Oktober 2017 (saya lupa mencatat karena dikirim via pos), dimuat tanggal 12 Desember 2017. Proses sekitar dua bulan. Untuk naskah cerpen di harian lokal memang relatif cepat penanyangannya kalau memang naskahnya layak.




Foto dari koleksi pribadi

 
 Dari penjelasan di atas rekor bersabar terlama diraih oleh naskah buku (antologi kumcer). Dengar-dengar, memang untuk naskah buku diperlukan kesabaran yang lebih tingkat dewa. Terlebih bila naskah kita diacc, ada tahap revisi yang harus benar-benar kita lakoni dengan fokus dan sabar agar naskah kita cepat selesai. Untuk naskah buku solo, saya memang belum pernah Acc (menghela napas panjang), jadi belum tahu harus sesabar apa. Semoga sebentar lagi saya dapat ujian kesabaran ngerevisi naskah buku yang diacc penerbit, Aamiin (ngarep).

Selama ini saya menulis untuk media sekadar hobi atau second job, karena itu memang hasil ‘hobi’ saya ini tidak banyak dari sisi kepuasan materi. Namun dari sisi kepuasan batin, cukup menyenangkan. Kalau ada yang kepo bertanya berapa rupiah saya hasilkan dari lima naskah di atas? Totalnya kurang dari satu juta rupiah. Satu juta untuk satu tahun tentu jumlah yang tidak banyak. Jadi jika kita memutuskan untuk menjadikan penulis sebagai profesi, kita harus lebih tekun dan lebih sabar dalam bekerja, ditambah satu jurus lagi yaitu KREATIF. Menjadikan penulis sebagai profesi , kita tidak lagi bisa tekun menulis hanya satu paragraph per hari, namun harus tekun bekerja minimal delapan jam per hari untuk menulis. KREATIF dalam arti pandai mencari peluang. Tidak hanya menulis untuk media, tapi melebarkan sayap untuk menulis buku, menulis di blog, menulis naskah sinetron/film, ataupun di media lain yang menghasilkan lebih banyak uang. 

Nah, tujuan kita menulis, hanya kita sendiri yang tahu. Apakah hanya untuk bersenang-senang, sebagai second job seperti saya untuk mendapatkan sedikit tambahan penghasilan, atau full menulis sebagai profesi. Apapun pilihannya, kita tetap harus TEKUN dan SABAR.

Minggu, 07 Januari 2018

[Resensi]: Kasih Ibu Sepanjang Masa




Judul               : Ya Allah Aku Rindu Ibu
Penulis             : Irfa Hudaya
Penerbit           : Kana Books
Tahun terbit     : Cetakan I, 2016
Tebal               : 252 halaman
Harga              : Rp50.000,00
ISBN               : 978-602-60440-1-3

Kasih ibu sepanjang masa. Dulu saya memaknai kalimat tersebut biasa-biasa saja, hingga kemudian saya melahirkan empat anak berturut-turut. Barulah saya merasa kalimat itu sangat benar dan saya bersyukur karena melahirkan dan mengurus balita membuat saya semakin mencintai dan menghargai semua pengorbanan ibu merawat saya dan saudara2 saya saat masih kecil dulu. Kemudian saya membaca buku berjudul “Ya Allah Aku Rindu Ibu” ini. Sebuah kisah yang menceritakan sosok seorang ibu, lengkap dengan ketidaksempurnaannya sebagai manusia biasa. Saya tenggelam dalam tangis dan rasa syukur. Tangis karena ikut terharu dengan kisah dalam buku, dan bersyukur saya masih diberi kesempatan untuk melepaskan rindu pada ibu saya yang masih sehat hingga detik ini. Ya, buku ini diangkat dari kisah nyata penulisnya, Irfa Hudaya.
Sebuah memoar atau naskah kenangan tentang seseorang, memang pada umumnya membuat kita ikut larut terbawa perasaan, terutama jika orang yang dikisahkan itu seseorang yang sedemikian dekat. Mempunyai hubungan emosi yang erat. Demikian juga kisah Irfa dan ibunya, terlebih selama hidupnya, Irfa tak pernah jauh dari sang ibu. Ibunya menikmati hari tua dengan ditemani oleh Irfa dan keluarga kecilnya (suami dan dua anak).
Kekuatan dari buku ini, selain gaya bercerita penulisnya yang sanggup membuat pembaca terhanyut, adalah banyaknya pelajaran hidup yang dapat kita petik. Penulis menceritakan kisah hidupnya mulai dari masa kanak-kanak hingga dewasa, khususnya dalam hubungannya dengan ibu yang dalam buku ini disebut ibuk. Pada saat umur lima tahun, Irfa heran dan sedikit cemburu karena sebagian besar waktu ibuk habis untuk mengurusi neneknya, mbah uti (hal 7). Mbah uti ternyata memang sakit-sakitan dan ibuk adalah anak perempuan satu-satunya yang harus mengurus sang ibu. Kenangan masa kecil ini mengajarkan Irfa tentang berbakti pada orangtua. Saat pertama mendapat haid, kata-kata ibuklah yang membuat Irfa tak pernah sekalipun meninggalkan shalat dan puasa wajib (hal 28).
Pada masa SMP hubungan Irfa dan ibuk ibarat anjing dan kucing (hal 34), ada saja yang bikin dia sebal pada ibuk. Misalnya waktu Irfa sudah bersiap pergi pramuka, eh tiba-tiba ibuk melarangnya pergi dengan alasan harus momong adik! Kalau tetap memaksa pergi, Irfa harus bawa adiknya ke sekolah. Akhirnya Irfa terpaksa membawa adiknya latihan pramuka dan terpaksa  harus rela ditertawakan oleh teman-temannya. Setelah dewasa baru Irfa paham makna di balik itu semua. Mengapa ibuk selalu memaksanya membawa-bawa adik kemana-mana.Ternyata hal itulah yang membuat ikatan hatinya lebih dalam terhadap adiknya. Sebagai anak sulung, Irfa diharapkan selalu menjadi pengikat hati saudara-saudaranya jika kelak kedua orangtua telah tiada (hal 39).
Hubungan dengan ibuk menjadi lebih manis ketika Irfa beranjak dewasa dan kuliah jauh dari rumah. Ibuk berubah peran menjadi sahabat (halaman 54) tempat curhat, dan tempat menumpahkan airmata saat hubungan Irfa dengan seorang lelaki kandas di tengah jalan. Irfa dapat melewati masa patah hatinya dengan baik berkat dukungan dan kata-kata penyemangat dari ibuk.
Kehidupan Irfa berubah ketika sang bapak meninggal dunia. Ibuk harus bertahan hidup, mencukup-cukupkan penghasilan dari pensiunan janda yang hanya 30% dari gaji, untuk kebutuhan kuliah dua anak dan satu anak yang baru masuk SMA. Pemasukan lain adalah dari hasil panen sawah yang kadang tak seberapa. Ibuk terpaksa sering meminjam uang untuk mencukupi kebutuhan. Namun kondisi ini tak membuat ibuk menyerah. Ia tetap mendukung keinginan anak-anaknya untuk sekolah setinggi mungkin. Beruntung kemudian selepas kuliah, Irfa mendapatkan pekerjaan yang cukup baik sehingga ia dapat membantu ibuk membiayai kuliah adik-adiknya. Bakti pada keluarga, sudah dimulai Irfa pada usia yang relatif muda. Ikhlas, berkat tempaan dan contoh yang ia lihat pada ibunya.
Perjalanan hidup manusia adalah sebuah perjalanan yang diawali dengan lambat, kemudian cepat, dan melambat lagi dengan menuanya manusia. Demikian juga seorang ibu. Ibuk di hari tua, sangat menikmati hari-harinya dengan mengikuti berbagai kumpulan pengajian. Hubungannya dalam bersosial juga patut diacungi jempol. Bahkan dengan orang yang ‘sulit’ pun, ibuk pandai bergaul. Irfa yang sudah menikah dan punya dua anak, akhirnya memutuskan untuk senantiasa mendampingi sang ibuk, tetap tinggal di rumah masa kecilnya dan berhubungan jarak jauh dengan suami yang bekerja di Semarang. Irfa tak lagi berkarier di luar rumah. Ia memutuskan fokus merawat kedua anaknya serta ibunya dan bekerja dari rumah. Harus dirinya yang memegang tanggungjawab itu, memegang amanat dari almarhum bapaknya untuk menjaga ibu dan adik-adiknya. Walaupun kedua adiknya telah berkeluarga dan harus tinggal jauh dari rumah, Irfa tetap tinggal, memegang amanat kedua orangtuanya untuk menjadi perekat saudara-saudaranya
Bukan tak mudah merawat ibuk yang makin sepuh terutama saat beliau usai terkena serangan stroke pertama. Ibuk berubah menjadi agak mudah marah, contohnya saja saat harus mengatur pola makan. Ibuk memprotes Irfa yang hanya memberinya makanan rebusan. Beliau minta makan sayur lodeh. Saat Irfa menjelaskan bahwa santan harus dihindari (halaman 155), ibuk merajuk dan ngeyel. Saat ibuk sudah kembali sehat dan mulai beraktivitas ngaji lagi, Irfa memberi saran agar ibuk membatasi kegiatan supaya tidak mudah capek. Apa jawaban ibuk? Mau ikut pengajian cari ilmu kok, nggak boleh. Hahaha, begitulah Irfa menceritakan hubungannya yang unik dengan sang ibu. Kesabaran Irfa sebagai seorang anak dalam mengurus sang ibu di masa tua, patut dicontoh.
Setelah mengalami serangan stroke pertama dan sembuh (halaman 162), perjalanan religiusitas ibuk mencapai puncaknya. Hidup hanya untuk Allah. Ibuk mengikuti beberapa majelis taklim. Seminggu bisa tiga sampai empat kali ikut pengajian. Sholat tahajud dan dhuha tak pernah absen. Puasa senin kamis selalu dilakukan. Ibuk selalu tilawah setiap habis sholat wajib. Sholat jamaah ke masjid tiap subuh dan maghrib. Ibuk juga aktif di kegiatan sosial kemasyarakatan. PKK dusun, PKK desa, dan Aisyiyah. Pada masa-masa akhir hidupnya, Ibuk juga berpesan pada Irfa untuk berbuat baik pada orang yang telah menyakiti. Berpesan agar Irfa menghilangkan dendam di hati. Hidup hanya sekali, saling menyakiti hanya akan merugi. Ibuk, menunjukkan kasihnya, tak ingin sang putri memelihara dendam sepeninggal beliau nanti. Ingin sang putri hidup dengan sebaik-baiknya kehidupan.
Ingin rasanya saya menuangkan lebih banyak kalimat lagi pada resensi ini. Rasanya tak habis-habis ingin menceritakan buku yang ditulis mbak Irfa dengan sangat elok ini. Tapi alangkah lebih baiknya jika Anda membacanya sendiri. Akan lebih terasa feel-nya dan dijamin Anda akan seperti saya yang tersenyum, menangis, tercengang, tertawa geli, bahkan terbahak membaca buku ini. Mbak Irfa Hudaya berhasil meramu kisah kehidupannya bersama sang ibu dengan sangat manis, lucu, dan mengharukan. Siapapun yang punya ibu, harus membaca buku ini. Terakhir, saya menutup tulisan ini dengan bacaan Al fatihah untuk ibuk, yang telah menginspirasi saya dan mungkin banyak orang yang sudah membaca buku ini, agar menjadi orang yang lebih baik. Hidup hanya untuk Allah.

Senin, 01 Januari 2018

Resolusi 2018

Waktu berlalu demikian cepat. Tahu-tahu sudah 2018 saja, tempe-tempe...? Hehehe. Usia dan pengalaman hidup membuat saya memahami bahwa sebuah resolusi itu tidak usah terlalu muluk-muluk. Pengalaman membuktikan semakin muluk, semakin tak bisa dikejar, hiks.
Tapi tak ada salahnya menulis sebuah resolusi. Ok, here they are...

1. Semakin produktif baik nulis sebagai hobi, maupun nulis paper ilmiah/semi ilmiah sebagai tugas utama di kantor. Sebagai patokan, pada gambar di bawah ini hasil nulis sebagai hobi di tahun 2017, nah tahun 2018 minimal sama deh hasilnya, maksimal lebih banyak, aamiin. Kalau kerjaan kantor, ada 4 karya tulis ilmiah tahun 2017, minimal sama juga deh.

2. Ngelarin naskah buku.
    Dengan sangat menyesal saya ngaku tahun 2017 nggak tamat ngelarin naskah teenlit buat lomba. Naskah itu rencananya mau dikelarin 2018 dan entar dikirim ke penerbit. Semoga bisa, aamiin.

3. Semakin kenceng ibadahnya
    Usia ni ya, makin tua. Sudah nyadar senyadar-nyadarnya suatu saat bisa dipanggil kapan aja. Jadi saya mau kencengin ibadah. Nggak usah detail, yang penting sholat ditambah, ngaji ditambah, trus sedekah juga. Semoga selalu diberi kelonggaran waktu, rezeki, dan niat kuat untuk melaksanakan semua itu, aamiin.

4. Diet
    Dalam artian mengatur pola makan nggak sembarangan kayak dulu lagi, dan lebih memperhatikan asupan air putih dan buah-buahan.

5. Happy family
    Berusaha sesantai mungkin untuk menjadi ibu yang serius menjalankan perannya. Wah, piye kuwi? Gimana itu? Ya, saya ingin dikenang anak-anak sebagai ibu yang asyik. Nggak suka marah-marah dan  anak-anak tetap tumbuh sehat, pintar, dan sholeh/sholehah, aamiin.

6. Ngelunasin utang
    Hari gene masih ngutang? Dengan berat hati saya mengangguk, hiyaaa. Semoga kerja keras di 2018 dapat menghasilkan pundi-pundi pelunas hutang, aamiin.

Baiklah, mungkin cukup itu resolusi saya. Bagaimanapun, sejatinya resolusi adalah doa. Semakin diingat, ditulis, atau diucapkan, insyaAllah yang maha pemberi anugerah akan mengijabah, aamiin.

Today is the first, and don't worry to take your step ... day by day until end.
Selamat menjalani 2018 dengan baik.
COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES