Senin, 07 Oktober 2019

Bukan Cinderella

Naskah cerma (cerita remaja) saya dimuat di harian Minggu Pagi Jogjakarta di minggu keempat September 2019. Ada sedikit bagian yang diedit oleh redaksi, namun tidak mengubah isi.  Naskah aslinya saya upload di sini agar bisa dibaca semua teman-teman. Selamat membaca, ya.


Bukan Cinderella


            Hidupku mirip kisah Cinderella. Aku kehilangan ibu di usia belia. Bapakku seorang pelaut yang sering pergi berlayar. Sehari-hari, aku hanya bersama ibu dan saudara tiriku.
            Aku memang nggak perlu bekerja membanting tulang seperti Cinderella. Ibu dan saudara tiriku tak sejahat itu. Tapi bukan berarti mereka tak berlaku curang.
Bapak mengalokasikan uang saku sebesar Rp60.000,00 per hari untukku dan Adriana, saudara tiriku. Masing-masing dapat Rp30.000,00. Hanya saja setelah kemudian ia sering harus menambah uang jajan Adriana, ibu berubah pikiran.
“Dinda, adikmu sangat boros. Uang tiga puluh ribu tidak cukup. Sementara kamu, masih bisa menyisihkan uang untuk ditabung. Tolong sebagai kakak kau mengalah, ya,” Ibu memberiku uang sepuluh ribu.
Sedih, sih, tapi aku nggak mau ribut. Uang sepuluh ribu kuhemat dengan pembagian: delapan ribu untuk ongkos angkot pulang pergi, dua ribu untuk jajan. Sejak itu sering tampak pemandangan, Adriana pesan hidangan komplit di kantin sekolah, sementara aku mengunyah roti seribuan atau makan bekal yang kusiapkan dari rumah, di sudut lapangan basket. Bukan sekali dua kali aku menerima tatapan iba dari teman-teman, tapi semua kubalas dengan ketawa ringan. Ya, aku nggak suka dikasihani. Lagipula, hidup itu bukan untuk makan, melainkan sebaliknya. Makan untuk hidup, makan secukupnya saja dan nggak perlu bermewah-mewah. Itu prinsip hidupku. Prinsip hidup remaja dengan uang saku pas-pasan.
            Rasanya kurang satu lagi tokoh dalam hidupku, seandainya aku Cinderella, ya? Di mana pangeran berkuda putih? Ada. Namanya Ivan. Ia sering menemaniku makan roti saat istirahat. Tapi Ivan  itu sahabatku sejak kecil dan sudah punya pacar. Jadi kucoret keinginan untuk menjadikannya prince charming. Belakangan, Ivan sering bersama Banyu, anak baru di kelasnya. Banyu adem (air dingin), demikian aku diam-diam menjulukinya. Sebab, tiap mata kami bertemu, aku serasa disiram air dingin. Nyess. Beberapa kali Ivan menyampaikan salam dari Banyu, untukku, sambil mengedipkan matanya penuh arti. Ivan memang nakal. Ia tahu pasti orientasiku saat ini adalah tidak berpacaran dengan siapapun. Lagipula aku benar-benar takut jalan cerita Cinderella akan terjadi padaku. Kalau aku punya pacar, kemungkinan Adriana akan merebutnya. Haha, aku terbahak sendiri dengan semua skenario lucu yang aku bayangkan di kepala, saat sedang sendiri dan kesepian di rumah.
**
            Walau hanya bisa menyisihkan seribu sehari, aku rajin menabung. Sudah kebiasaan sejak kecil, ajaran dari mendiang ibuku. Dalam setahun terkumpul uang tiga ratus lima puluh ribu. Aku sangat senang  dan sudah janjian dengan pemilik sebuah toko, untuk menukar uangku.
            Minggu pagi, aku menyiapkan uang seribuanku dalam tas  kecil. Aku berjalan  melewati lorong sepi. Ketika itulah sebuah motor memepetku, dan orang yang duduk di belakang menarik tasku. Kejadiannya berlangsung  cepat. Aku berusaha mempertahankan tas, lalu tiba-tiba  uang seribuanku berhamburan. Terdengar seruan keras di belakangku, dan penjambretku  kabur. Aku limbung dan sepasang tangan kokoh menahan punggungku. Kurasa aku pingsan. Saat siuman, kulihat ada Banyu dan beberapa orang mengerubungiku.
            “Syukurlah, Dinda sudah sadar,” ternyata salah satu orang yang merubungku adalah Bu RT. Alamat, kejadian ini akan sampai di telinga ibuku. “Ini uangmu ibu masukkan kresek. Tasmu robek,” tutur bu RT menyerahkan uang dalam kantung kresek.
            Aku teringat uangku yang berceceran. Alangkah memalukan. Dilihat Banyu pula.
            “Kamu kok di sini?” tanyaku, menatap mata Banyu. Cowok itu menatapku lembut. Tatapan yang biasanya dingin, kini serupa air hangat, menenangkanku.
            “Kebetulan lewat,” jawabnya singkat.
            “Jadi, dia bener teman kamu, Dinda? Bu RT duluan ya, belum beres-beres rumah. Mas, tolong  Adinda diantar pulang, ya?” Bu RT menitipkanku pada Banyu lalu bergegas pergi.
            Kerumunan bubar. Aku berdiri gugup menyadari posisiku setengah baring bersandar di dada Banyu.
            “Jangan jalan dulu. Kamu pasti masih shock,” ucap Banyu. “Ayo kuantar pulang.”
            Aku melihat ada motor Banyu dan teringat bahwa aku sebetulnya mau menukar uang.
            “Tolong antar ke toko dulu, ya?” pintaku. Banyu mengangguk dan segera memboncengkan aku menuju toko yang kumaksud.
            Aku menukar uangku dan menerima tiga lembar seratus ribuan, serta selembar lima puluh ribu. Uang seribuanku  masih utuh jumlahnya, walau sempat berhamburan gara-gara penjambret tadi. Pasti bu RT yang memastikan semua uangku aman. Pipiku memanas membayangkan kembali bagaimana uang seribuanku tadi berhamburan. Ah, ingatan akan kejadian memalukan ini harus segera dihapus dari memori otakku, andai bisa.
            Kuhampiri Banyu di bangku depan toko. Ia menyodorkan es krim dan menyuruhku duduk.
            “Makan es krim dulu, supaya kagetmu hilang,” ucapnya singkat. “Kejadian tadi bukan  sepele. Aku punya tante yang meninggal setelah dijambret karena mempertahankan tasnya. Tante terbanting dan kepalanya membentur trotoar.”
            Cerita Banyu membuatku ngeri. Aku baru sadar sudah lepas dari ancaman maut. Aku makan es krim dengan air mata berlinangan. Membayangkan kalau aku mati muda, pasti bapakku akan sedih. Ibu dan Adriana mungkin juga sedih tapi pasti tak lama mereka akan merasa hidup lebih nyaman tanpa diriku.
            “Jangan takut, ya. Mulai sekarang, lebih berhati-hati saja,” ucap Banyu.
            Aku mengangguk. Ucapan Banyu dan tatapannya yang tak lagi sedingin air es, membuatku nyaman dan … sedikit berbunga-bunga.
**
            Di rumah, bukannya mengkhawatirkanku, ibu malah mengomel. Rupanya kekhawatiranku terbukti. Bu RT sudah singgah ke rumah dan bercerita banyak pada ibu.
            “Apa kata dunia kalau anakku bawa uang receh kemana-mana macam pengamen jalanan? Jangan ulangi lagi! Bikin malu saja!”
            Masih panjang omelannya walau nggak masuk telinga. Aku hanya tertunduk seolah khidmat mendengarkan ibu, padahal di telingaku terngiang ucapan Banyu saat mengantar pulang tadi.
            “Ternyata rumah kita searah. Kita bareng saja berangkat dan pulang sekolah,” ucap Banyu. “Err … kalau kamu mau, sih.”
            Aku tersenyum dan mengangguk malu-malu.
            Dalam hati aku memekik girang. Ya, tentu saja aku mau, Banyu! Itu artinya jatah angkotku bisa kutabung atau kubelikan bakso!
            “Lalu siapa temanmu yang membantumu waktu kecelakaan tadi? Pacarmu?” pertanyaan ibu selanjutnya membuatku terbangun dari lamunan.
            “Ehh, bukan, Bu. Dia teman satu sekolah. Eh, Bu, bolehkah kalau aku berangkat dan pulang sekolah bareng temanku itu?” tanyaku. Bagaimanapun juga, aku harus minta izin ibuku untuk hal ini.
            Ibu seperti kaget, terdiam menatapku sesaat. Lalu alisnya berkerut. Perasaanku mulai tak enak. Aku meyakinkan diriku bahwa aku bukan Cinderella.
            “Lalu kau tinggalkan adikmu naik angkot sendiri? Demi Tuhan, Dinda. Kenapa kamu begitu egois?”
            Masih banyak kata-kata ibu. Intinya ia tak mengizinkan aku berangkat dan pulang sekolah bersama Banyu. Aku hanya bisa menangis di kamar dan berdoa pada Tuhan. Ya, Tuhan, aku bukan Cinderella. Tolong berikan aku jalan cerita yang berbeda, walaupun mungkin dengan ending yang sama.**


Jumat, 20 September 2019

7 Cara efektif mengatasi mual di perjalanan

Hidup ini laksana sebuah perjalanan panjang. Kadang belok, kadang lurus, kadang naik turun. Dalam hidup selalu ada saat-saat sedih, seperti halnya dalam perjalanan selalu ada saat-saat mual. Apa yang harus dilakukan saat mual melanda? Berikut tujuh cara efektif yang dapat dilakukan untuk mengatasi mual. Setiap orang pasti punya cara favoritnya sendiri, which one is yours?


Gambar dari pixabay

1. Ngobrol
Ngobrol dengan teman seperjalanan merupakan cara yang tepat mengatasi rasa bosan. Ternyata untuk sebagian orang, cara ini juga berhasil untuk menghilangkan rasa mual. Paling tidak, kita akan berkonsentrasi pada materi obrolan sehingga mual terlupakan. Percayalah untuk sebagian orang, cara ini efektif, namun untuk saya, tidak.

2. Makan
Ngemil kripik atau makanan ringan lainnya efektif mengurangi rasa mual. Ada teman saya yang kalau naik mobil sampai di jalan belok-belok, pasti langsung ngunyah potato chips. For her, its work. For me? Malah makanan itu akan menarik keluar semua pendahulunya yang sudah bersemayam di lambung. Alamaaak....

3. Ngemut permen
Permen mempunyai rasa manis, pedes, kecut, dan lain-lain tergantung selera. Permen ini akan menetralisir rasa pahit di lidah saat perut mual sehingga mengurangi perasaan ingin muntah. Cara ini buat saya oke-oke saja. Bisa dipakai bila hanya mual-mual tipis.

4. Memejamkan mata dan posisi pewe
Saat jalanan sudah sangat tidak bersahabat sehingga badan macam terkocok-kocok di dalam mobil, pejamkanlah mata dan duduk yang enak. Memejamkan mata akan menghindari mata kita melihat jalanan yang memutar bikin pusing dan posisi wenak menjaga kita untuk tidak terlalu goyang. Posisi paling enak adalah di pinggir dengan kepala miring ke jendela. Lebih bagus kalau ada bantal leher.

5. Tidur
Tidur adalah cara praktis untuk melupakan apapun termasuk melupakan hidupmu yang banyak utang, eh melupakan mual. Bahkan mungkin kita nggak sempat mual karena sudah terbang ke alam mimpi. Hanya saja tidur ini susah dikondisikan. Kalau jalanan amburadul apa iya masih bisa enak tidur, ya kan...

6. Minum obat anti mabok sebelum perjalanan
Cara ini yang paling efektif walau setelah saya beranjak remaja, dewasa lalu tua kelak, cara ini sudah tidak pernah saya pakai. Dulu waktu kecil, saya sering minum obat anti mabok setiap pergi liburan ke rumah nenek. Cara ini membantu tidur dengan sukses. Bahkan mungkin walau jalanan berbukit kita akan tetap tidur dengan senyum tersungging walau teman satu bus sudah butuh kresek kedua untuk kantong muntah.

7. Tambahkan caramu sendiri. Nah, saya kan sudah ngetik enam cara. Untuk melengkapinya menjadi tujuh, tambahkan caramu sendiri. Atasi mual dan nikmati perjalananmu. Happy travelling!

Rabu, 15 Mei 2019

Berkah Ramadan adalah Cinta

Ramadan selalu membawa kegembiraan bagi semua umat Islam di dunia. Betapa tidak, pada bulan ini semua nilai kebaikan ibadah akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT. Maka semua berlomba-lomba dalam kebaikan, berharap curahan berkah Ramadan mampu menghapus dosa bergelimang di bulan-bulan sebelumnya.

Bagi saya pribadi, Ramadan mempunyai arti kelekatan cinta antara saya dan keluarga. Dua anak lelaki saya lahir di bulan Ramadan. Uniknya keduanya sama-sama lahir tiga hari menjelang Idul Fitri. Bisa kan, membayangkan deg-degannya saya kalau ada masalah kesehatan bayi saya sehingga tidak bisa pulang ke rumah sebelum hari raya. Ya, kedua anak saya lahir di klinik dan rumah sakit. Karena lahir di bulan Ramadan, maka saya menyematkannya sebagai pengingat di nama mereka berdua. Alm. Muhammad Naufal Ramadhan lahir 21 November 2003, dan Emir Abdillah Ramadhan lahir 28 September 2008. Sedangkan dua anak saya lainnya perempuan dan mereka lahir di bulan lain.

Arti Ramadan yang kedua bagi saya, adalah persiapan mudik. Ya, saya dan keluarga tinggal di Makassar yang jauh dari kedua orangtua saya yang tinggal di Malang. Sejak kedua mertua saya wafat, maka mudik ke Malang setiap Ramadan hingga Idul Fitri adalah wajib hukumnya.Setiap Ramadan tiba, saya dan suami bersiap-siap menyisihkan sebagian rezeki untuk membeli tiket PP, membawa serta ketiga anak kami untuk berkunjung ke rumah oma dan opanya di Malang. Kedua orangtua saya sudah sepuh. Bertemu dengan semua anak-menantu dan cucu-cucu tentu merupakan kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Dan karena saya sebagai anak bungsu sekaligus anak yang tinggalnya paling jauh dari rumah - tidak dapat setiap saat pulang - maka momen Ramadan dan lebaran ini benar-benar momen yang paling tepat untuk melepas kerinduan berkumpul sebagai keluarga.

Arti Ramadan yang ketiga saya dapatkan ketika dua tahun lalu saya dan suami memutuskan menyekolahkan putri sulung kami di sebuah pesantren. Ramadan satu bulan penuh adalah rewardnya berkumpul dengan keluarga. Tidak dapat berjumpa dengan si sulung setiap hari, membuat saya menurunkan frekuensi dan ritme mengomel khas ibu-ibu kalau anaknya bersikap tidak memuaskan. Ramadan ini, saya melihat si sulung dengan kacamata yang lain. Ia telah menjelma menjadi remaja yang mau membantu pekerjaan rumah, dan bisa dimintai tolong menjaga adik-adiknya. Ramadan adalah saatnya saya mensyukuri semua nikmat yang telah diberikan Allah SWT dalam kehidupan saya. Kesehatan, anak-anak yang beranjak besar, suami siaga, dan keluarga besar di Malang - yang pada hari-hari biasa mungkin dianggap biasa, tidak demikian ketika Ramadan tiba. Ramadan memberi jeda untuk memahami keberkahan luar biasa yang telah saya terima dalam hidup. Berkah Ramadan bagi saya, adalah pemahaman bahwa selalu ada cinta yang terus berkembang yang membuat kita rela mengorbankan yang terbaik untuk kebahagiaan keluarga. Saya selalu berharap demikian seterusnya kelak dengan Ramadan Ramadan yang diperbolehkan Allah untuk saya jumpai. Dan juga untuk anak-anak saya, sejauh apapun mereka terbang kelak, Ramadan akan selalu membawa mereka kembali kepada saya.InsyaAllah.

Gambar: Senja di Tepi Losari

Ramadhan yang menggerakkan jariku

Assalamualaikum,
Detik-detik berlalu tak terasa tahun 2019 telah menapak di bulan ke lima. Sungguh memang waktu sangat cepat berjalan dan tak terasa ia telah meninggalkan kita yang sibuk berkutat dengan hal-hal - yang kemudian kita sadari di belakang, kurang berarti.
Tahun 2019 ini, baru sekali inilah goresan pikiranku kembali menghiasi blog ini. Betul, ini tulisan pertama di blog tahun 2019. Memprihatinkan bukan, mengingat aku selalu berkoar-koar bahwa hobiku adalah menulis. Elo nulis ape? Kenape blog macam rumah kosong berhantu?
Masih nulis, sih. Salah satu penyebab blog ini kosong agak lama adalah aku bikin blog baru khusus untuk resensi buku-buku yang telah kubaca. Kalau mau lihat-lihat boleh di sini.
Jadi di blog yang ini nantinya sama sekali nggak akan ada postingan resensi buku.

Selain nulis di blog baru yang sampai detik ini baru berisi empat postingan (tutupmuka), aku juga nulis status fb (ini bukan prestasi sih tapi nulis status fb itu juga make mikir lho kalau aku sih), dan berusaha menyelesaikan novel anak untuk lomba indiva. Resolusi menulisku di tahun 2019 ini mungkin cukup itu.
1. Mengisi blog resensi (artinya rutin membaca buku dan meresensinya)
2. Menulis status fb yang menghibur, syukur-syukur inspiring (karena sudah terlalu banyak status fb yang bikin tensi darah naik)
3. Menulis novel untuk lomba
4. Menulis lagi di blog ini

Mengapa tiba-tiba aku tergerak, karena di bulan ramadhan ini aku seolah dipaksa untuk berpikir ulang mengenai cita-citaku sebagai penulis. Apa yang sudah kamu upayakan agar itu tercapai? Ibarat mobil tua yang jalannya ndut-ndutan, kamu sudah disalip oleh berjenis-jenis mobil - bahkan ada juga mobil yang lebih butut. Kalau mobil itu bisa, kenapa kamu tidak? Bertahun-tahun menulis, apa hasil yang dapat kaubanggakan?

Di ramadhan ini, aku menelaah lagi niat dan cita-citaku dan memutuskan untuk lebih serius lagi.Dan untuk serius, yang dibutuhkan hanyalah menulis dan menulis.

Gambar: kiriman dari mbak Watiek Ideo di grup wa.
COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES