Rabu, 04 April 2018

[Resensi]:Seumpama Matahari

Keputusan Seorang Mantan Pemberontak

Judul               : Seumpama Matahari
Penulis             : Arafat Nur
Penerbit           : Diva Press
Cetakan           : I, Mei 2017
Tebal               : 142 halaman
ISBN               : 978-602-391-415-9



            Kekuatan Arafat Nur dalam merangkai kata tidak perlu diragukan lagi. Penulis asal Aceh ini pernah memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010 dan meraih Khatulistiwa Literary Award 2011 untuk novelnya yang berjudul Lampuki. Novelnya Tanah Surga Merah kembali memenangkan sayembara serupa pada tahun 2016. Hampir seluruh novel karya Arafat Nur menggunakan latar belakang peperangan Aceh ataupun kondisi politik Aceh pasca perang. Demikian pula dengan novel Seumpama Matahari ini, mengangkat satu episode perjalanan hidup seorang mantan pemberontak bernama Asrul.
            Asrul anak sulung dari dua bersaudara. Ia hidup hanya dengan ibu dan adik perempuannya. Bapaknya sudah lama mati, dibunuh tentara. Kematian bapaknyalah salah satu alasan Asrul bergabung dengan pasukan pemberontak, menjadi gerilyawan yang tinggal di hutan dan berjuang melawan tentara. Untuk itu ia rela hidup terpisah dengan ibu dan adiknya selama tiga tahun.
            Kisah dalam novel ini diawali dengan adegan Asrul dan dua orang temannya di dalam hutan, berusaha membebaskan diri dari serbuan tentara. Mereka dapat sampai dengan selamat di markas, dan setelah kejadian tersebut, Asrul memutuskan untuk pulang dan bertemu dengan ibu serta adiknya. Dalam perjalanan ke rumahnya, Asrul berjumpa dengan dua orang perempuan kakak beradik dan sempat bertukar canda dengan mereka (hal 33). Di sini terlihat tokoh Asrul hampir serupa dengan tokoh-tokoh dalam novel Arafat Nur lainnya. Tokoh utama dalam novel Arafat hampir selalu pria usia tiga puluhan dengan penampilan menarik dan menimbulkan rasa tertarik gadis yang melihatnya. Demikian juga Asrul dalam pertemuan pertamanya dengan Putri, sudah menimbulkan kesan di hati gadis itu, begitu juga sebaliknya.
            Tak lama setelah Asrul pulang ke rumahnya, ternyata ada kabar yang menyebutkan bahwa markasnya di hutan habis digempur tentara. Zen, sang pemimpin, menjadi satu-satunya yang berhasil melarikan diri dan kemudian menelpon Asrul untuk memperingatkannya. Asrul langsung memutuskan untuk pergi menyelamatkan diri dari rumah dan berusaha memperoleh pekerjaan di Riau. Sayangnya setelah dua bulan tinggal di rumah kost, ia harus terusir karena tak juga mendapatkan pekerjaan. Saat itulah ia hidup menggelandang dan makan dari mengorek-ngorek sampah. Mujur, suatu hari di terminal, ia bertemu kembali dengan Putri dan adiknya. Kedua perempuan ini dengan senang hati menolongnya bahkan mengizinkannya tinggal di rumah mereka. Lambat laun, kedekatannya dengan Putri membuat Asrul ingin hidup normal sebagai manusia biasa. Bahkan ia memutuskan untuk tidak kembali bergabung dengan pemberontak, walau Zen memanggilnya untuk bergabung dengan kelompok pemberontak yang lain.
            Keunikan dari novel ini adalah karena jalan ceritanya tidak murni dari olah pikir seorang Arafat Nur. Novel ini ditulis berdasarkan catatan gerilya Thayeb Loh Angen, mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kemudian menjadi penulis dan jurnalis, sehingga kisah yang diceritakan sebagian besar adalah berdasarkan fakta. Membaca novel ini akan membuat kita memahami mengapa orang Aceh memilih menjadi pemberontak, lalu mengapa ia memutuskan untuk menjalani hidup baru sebagai orang biasa. Setiap orang punya alasan dalam membuat sebuah keputusan. Pilihan masing-masing individu itulah yang dapat menjadi bahan pelajaran atau cermin kita sendiri dalam menjalani kehidupan.
COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES