Selasa, 26 Desember 2017

Cerpen di Kedaulatan Rakyat: Menjaga Kejujuran

Membuat cerita anak itu menyenangkan. Kita harus berusaha agar kalimatnya sederhana, masalahnya sederhana, dan dipecahkan oleh si tokoh (anak) dalam cerita. Ending cerita harus memuat pesan moral yang baik. Pesan moral dalam cerita ini adalah: menjaga agar tetap jujur itu penting, karena walaupun tidak ada yang tahu saat kita melakukan kecurangan, Tuhan selalu melihat apa yang kita lakukan.
Ini cerpen anak pertama saya yang dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, sebuah surat kabar di Daerah Istimewa Yogyakarta.







Menjaga Kejujuran
Oleh: Indah Novita Dewi

            Putri anak asli Lembar Selatan, Pulau Lombok. Ibunya punya sebuah warung kecil di lokasi ekowisata mangrove. Putri sering membantu di warung jika sedang libur.
            “Besok bantu Mamak di warung, ya?” pinta sang ibu ketika Putri hendak tidur. Mamak Putri menjelaskan bahwa hari Minggu akan ramai karena organisasi asing yang dulu ikut membantu mendirikan kawasan ekowisata, akan datang berkunjung melakukan penilaian.
            Putri mengiyakan permintaan Mamak, lalu pamit tidur. Sambil menarik selimut, ia teringat ucapan Ika di sekolah.
            “Sepatunya tinggal satu, Put. Warna kesukaanmu. Kalau tidak segera kamu beli, aku jual ke teman lain.”
            Ika, teman sekelas Putri, membantu ibunya berjualan online. Jualannya kali ini sepatu. Modelnya bagus. Putri  ingin sepatu itu, dan sudah memesan sepasang dengan warna maroon. Masalahnya, uang Putri masih kurang.
            “Uangku masih kurang seratus ribu,” jelas Putri.
            “Pinjam ibumu saja.”
            “Nggak akan dikasih. Bulan lalu aku sudah dibelikan sepatu.”
            “Gimana kalau pinjam diam-diam dari laci warung? Nanti bisa kamu lunasi,” usul Ika.
            Usul Ika itulah yang terngiang-ngiang di telinga Putri menjelang tidurnya malam ini.
*
            Udara pantai dan bau laut menyambut Putri ketika pagi itu ia ikut ibunya ke kawasan ekowisata. Rimbun dedaunan mangrove tampak berayun di kejauhan. Putri membantu ibunya membersihkan warung. Ibu menyapu lantai, Putri mengelap toples-toples kue.
            Pukul sembilan, mulai banyak pembeli di warung. Tak lama, datang bu Yayan, wakil dari dinas pariwisata yang biasa melakukan penyuluhan pada pedagang-pedagang kecil seperti Mamak Putri.
            Setelah berbincang sebentar, bu Yayan mengajak Mamak Putri pergi ke pendapa untuk mendengarkan penyuluhan.
            “Putri, jaga warung, ya? Mamak mau ikut bu Yayan ke pendapa.”
            Putri akhirnya sendirian. Godaan untuk mengambil selembar uang, muncul. Lagipula bukankah nanti ia akan mengembalikan uang itu dengan cara menyicil? Mamak tidak perlu tahu dan tidak akan tahu.
            “Putri!” teriakan Sahira mengagetkan Putri. Sahira adalah anak pemilik warung sebelah. Sahira mendekat  mengulurkan sebuah dompet.
            “Ini ada dompet ketinggalan di bangku. Punya siapa, Put?”
            Putri gemetaran menerima dompet dan membukanya. Ada foto bu Yayan di dalam dompet. Dan uang berjajar rapi.
            “Dompetnya bu Yayan,” bisik Sahira. “Wah, uangnya banyak. Ambil selembar, nggak bakal ketahuan.”
            Kata-kata Sahira membuat Putri tersadar.
            “Jangan, Hira. Itu namanya mencuri. Mungkin nggak ada orang tahu, tapi Tuhan maha tahu.” tutur Putri.
            Sahira nyengir, “Iya, aku bercanda, Put. Cepat kembalikan. Mungkin bu Yayan bingung mencari dompetnya.”
            “Tolong jagakan warung sebentar, ya, Hira.”
            Putri pergi membawa dompet bu Yayan. Dalam hati Putri berjanji untuk mengembalikan uang Mamak yang sudah ia kantongi, sesegera mungkin ke dalam laci. Putri tak ingin membeli sepatu dengan uang tak halal.

Senin, 25 Desember 2017

Opini Harian Bernas: Mengapa Transportasi Online?

Saya juga suka menulis non fiksi seperti tulisan-tulisan serius untuk kolom opini di surat kabar. Waktu itu rame-ramenya demo terhadap transportasi online dan sebagai pengguna saya merasa tergerak untuk ikut bersuara. Lebih mirip curhat, sih, tapi alhamdulillah dimuat juga di harian Bernas, Yogyakarta, bulan Maret 2017. Berikut naskah aslinya, ada perubahan judul dan sedikit isinya juga, namun tidak mengubah makna.









Time is Money, Mengapa Memilih Transportasi Online

Membaca wacana pelarangan transportasi berbasis online (Bernas, 13 Maret 2017), membuat saya tercenung. Masalah transportasi ini sudah sejak lama menjadi pemikiran saya, terutama setelah di beberapa daerah sempat terjadi demo transportasi konvensional terhadap keberadaan transportasi online seperti terjadi di kota Malang beberapa waktu lalu.
            Dua bulan lalu saya adalah pengguna setia transportasi konvensional. Mulai angkot Jogja-Kaliurang yang lewat per 20 menit sekali (jika lancar), angkot Purwobinangun-Ps. Kranggan yang hanya tinggal 9 armada (jika jalan semua), jalur bus konvensional terutama yang melalui kampus UGM (jalur 2, 4, 15), trans jogja, taksi dan ojek konvensional, semua pernah saya jajal. Kesan saya terhadap semua transportasi tersebut adalah: kondisi kendaraan kebanyakan sudah tidak laik jalan – sering mogok, kendaraan sering ngetem menunggu penumpang sehingga penumpang sering tidak tepat waktu sampai tujuan. Untuk trans jogja, nunggunya agak lama sehingga mungkin memang perlu penambahan armada, dan di beberapa bus ada kebocoran AC parah. Taksi dan ojek konvensional merupakan pilihan terakhir jika terburu-buru pergi ke suatu tempat. Hanya saja tarifnya terlalu mahal.
            Pada saat saya mulai menggunakan aplikasi transportasi online, semua masalah yang saya temui saat mengendarai transportasi konvensional, sirna. Kelebihan transportasi online antara lain: tersedia 24 jam, pesan bisa di mana pun dan kapan pun, dijemput langsung di posisi kita berada dan diantar sampai tujuan, driver ramah dan sopan, tarif sudah ditentukan oleh perusahaan dan tidak naik sesuka hati. Lagipula tarifnya sangat murah. Memang tarifnya tidak bisa mengalahkan tarif trans jogja, tapi bila dibandingkan dengan taksi dan ojek konvensional jelas sangat beda jauh. Bisa sampai setengah atau bahkan seperempatnya saja. Jelas, banyak kalangan lebih memilih transportasi online dibandingkan dengan transportasi konvensional, terutama kalangan mahasiswa dan pegawai yang penghasilannya pas-pasan.
            Pembenahan masalah transportasi di Jogjakarta, menurut pendapat saya haruslah memikirkan kebutuhan semua pihak. Tidak hanya kebutuhan driver (konvensional maupun online), tidak hanya kebutuhan pemerintah setempat untuk menegakkan aturan, namun juga kebutuhan penumpang. Menjamurnya jumlah driver transportasi online adalah bukti bahwa masyarakat sebagai pengguna, menyambut baik dan sangat terbantu dengan keberadaannya. Kalaupun memang pihak pemerintah dalam hal ini dinas perhubungan ingin melarang transportasi online, maka harus ada pembenahan pada transportasi konvensional. Cobalah disurvey terlebih dahulu kondisi transportasi konvensional dan lakukan perbandingan dengan transportasi online. Pejabat dinas perhubungan sebaiknya merasakan sendiri bagaimana bepergian dengan menggunakan transportasi konvensional maupun online sehingga dapat merasakan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Mengingat pengguna transportasi online sudah sangat banyak, maka apabila hendak dilakukan pelarangan sebaiknya dilakukan proses diskusi dengan melibatkan semua pihak, termasuk pengguna. Bagaimana sesungguhnya yang diinginkan oleh masyarakat pengguna sarana transportasi publik ini. Apabila tetap dilakukan pelarangan transportasi online tanpa alternatif kompromi, bisa jadi pengguna transportasi online tidak akan kembali menggunakan transportasi konvensional, melainkan memutuskan untuk membeli motor yang tentunya malah menambah kemacetan di Yogyakarta. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena dari percakapan saya dengan driver ojek online yang kebetulan juga seorang marketing kendaraan roda dua, dengan uang muka Rp350.000,- orang sudah bisa membeli motor dengan cicilan Rp650.000,- per bulan selama tiga tahun. Jargon lama Time is Money masih terus berlaku, orang rela membayar demi jarak dan waktu tempuh yang lebih singkat.
            Maka, jangan hanya bisa melarang sesuatu yang kemudian akan menambah masalah yang lebih parah, misalnya kemacetan lalu lintas. Tapi mari mencari win win solution yang membuat semua pihak senang. Hadirnya transportasi online adalah bukti bahwa ada yang salah dengan transportasi konvensional di Yogyakarta. Jadi mari dibenahi bersama tanpa harus mematikan lahan pekerjaan orang yang baru mulai tumbuh dan berkembang. Benahi transportasi konvensional, lalu buat regulasi agar ada pembatasan-pembatasan untuk transportasi online. Misalnya untuk tujuan non urgent ada pembatasan jalur edar dan jadwal operasi (misalnya pada siang hari hanya beroperasi dari rumah pengguna ke halte trans terdekat; sore hingga pagi hari dapat beroperasi di seluruh kota). Banyak alternatif yang bisa disepakati, asal semua pihak diajak duduk bersama.

Cerpen Gogirl! Magazine: Janji Eka

Waktu itu 16 April 2017 kala cerpenku dimuat di majalah Gogirl! Ide cerpen ini adalah ketika aku ketemu lagi dengan teman-teman masa kecilku di grup wa SD. Masa yang telah lama berlalu, namun ada kenangan yang begitu lucu. Tapi yang kutulis dalam cerpen ini, sebagian besar adalah imajinasi, tentu saja, hehe. Berikut naskahnya:





Janji Eka
Oleh: Kalya Innovie
               
Aku mendengarkan celoteh Vita di dapur. Adikku itu sedang membicarakan tentang sinetron ABG bersama Mama. Intinya dia merasa pusing dengan sinetron yang ia tonton karena anak-anak SMP sudah berani pacaran. Aku tersenyum mencuri dengar dari kamar. Kamarku dan dapur hanya dibatasi dinding papan, jadi semua dialog Mama dan Vita terdengar dengan sangat jelas. Hampir tawaku meledak mendengar kegusaran Vita pada teman-temannya yang juga sudah mulai terpengaruh dengan sinetron itu. Vita memang anaknya agak kaku dan terlalu serius. Perasaan cinta itu sebenarnya tidak bisa direncanakan kapan datang dan hilang. Seperti aku, yang mulai merasakan sayang pada lawan jenis di usia yang sangat belia. Ingatanku melayang saat aku masih duduk di bangku kelas enam SD.
***
Cowok bertubuh kurus itu masih bersandar di tembok, di sampingku. Tangannya terlipat rapi, bibirnya cemberut. Aku duduk di bangku, di sebelahnya. Sedikit miring agar dapat melihat wajahnya yang kusut.
                “Jadi benar kamu mau pindah ke Malang, Lea?” tanyanya sekali lagi.
                Aku mengangguk untuk yang kesekian kalinya.
                “Kenapa sih, kamu nggak di sini saja?”
                Aku mengembuskan napas.
                “Kan sudah aku jelaskan. Papa dan Mamaku ingin aku menetap di satu kota. Nggak ikut mereka pindah-pindah lagi. Dan itu di Malang, di sana ada nenek.”
                “Kenapa kamu nggak di sini saja?” Eka masih ngotot dengan pertanyaannya.
                “Ekaa … kan sudah aku jelaskan, aku nggak punya saudara di sini.”
                “Kamu tinggal di rumahku saja,” sahut Eka.
                Aku melotot. Senyum usil muncul di bibir Eka.
                “Mimpi,” ucapku sambil memukul bahunya pelan.
                “Hehe, tapi kamu suka kan?” Eka cengengesan.
                “Eka … aku….”
                “Iya, Lea. Aku tahu. Kita masih terlalu kecil untuk pacaran. Gini aja, tulis alamatmu di Malang. Nanti kalau kita sudah SMA, aku akan mencarimu.”
                Aku mencari secarik kertas dalam tas dan mulai menulisinya dengan alamat nenek. Walau sebenarnya aku ragu dengan kata-kata Eka.
                Eka menerima alamatku sambil senyum-senyum.
                “Ingat, Lea. Kamu jaga diri di sana, ya. Gak usah pacaran. Nanti pacarannya sama aku aja, pas kita SMA. Tunggu aku, ya.”
                Eka menjabatku dan memberi cubitan kecil dalam telapak tanganku, lalu lari pulang sambil melambai-lambaikan tangan. Uh, aku belum sempat membalas cubitannya. Aku pun segera pulang, memegang janji Eka dalam hati.
***
                Kilasan kenangan bersama Eka itu selalu muncul dan muncul dalam benakku. Dan selama tiga tahun menjalani SMP di Malang, aku benar-benar setia pada Eka, cinta monyetku di SD itu. Ada beberapa teman yang minta aku jadi pacar, tapi di samping aku merasa aku masih kecil, setiap ada cowok pedekate, aku selalu merasa telapak tangan kananku panas. Cubitan Eka terasa seolah baru kemarin terjadi.
                Ada satu cowok yang dengan setia nembak aku. Namanya Joe. Ia baik. Tidak balik membenciku walau aku sudah menolaknya beberapa kali. Kami menjadi sahabat. Dan karena hubungan kami yang dekat, aku tak ragu bercerita tentang Eka.
                “Jadi selama ini kamu nungguin si Eka itu?” tanya Joe dengan nada cemburu. “Kok kamu lugu banget sih, Lea. Bisa jadi si Eka itu cuma omong kosong saja. Selama kita SMP, ada nggak dia kirim surat atau telepon?”
                “Nggak. Kan, masih SMP. Janjinya kan ketemuan pas SMA.”
                “Kamu yakin dia nggak lupa?”
                Aku menggeleng. Entahlah. Tiba-tiba keraguan memenuhi hatiku. Kupandangi Joe yang balik memandangku dengan tatapan sangsi. Sejak saat itu dengan sangat menjengkelkan ia menjulukiku si lugu.
**
                Joe sangat girang ketika kami masuk di SMA yang sama. Kami masih bersahabat, walau beberapa kali, Joe suka juga cari-cari kesempatan nembak aku. Kadang dia mencandai aku. Apa kabar Eka? Begitu tanya Joe sambil senyum-senyum mengejekku.
                Apa kabar Eka? Yah, terus terang, di dalam hatiku, wajah Eka pun sudah kabur. Cubitannya di telapak tanganku tak pernah terasa lagi, terkubur oleh senyuman Joe, candaan Joe dan kata-kata manis Joe.
                “Lagipula zaman internet gini kalian tuh gak berhubungan bahkan via sosmed? Aneh, deh. Trus, kalau semisal Eka itu sudah mati, kamu mau nunggu dia terus? Sudah. Terima saja Joe,” gerutu Ivon sahabatku ketika akhirnya aku bercerita tentang Eka padanya.
                Duh, Eka … kamu di mana?
                “Kamu tuh benar-benar lugu, Lea,” imbuh Ivon lagi. “Di saat kamu menggenggam janji setia Eka, cowok itu mungkin sudah pacaran dengan banyak gadis di belahan bumi sana.”
                Keraguan kembali menyelimuti hatiku.
                “Terima saja Joe. Dia sudah membuktikan kesetiaannya selama tiga tahun di SMP. Dan sekarang kita sudah SMA, sudah boleh pacaran, kan. Ingat, teman kita banyak yang cantik-cantik. Joe juga cowok yang menarik. Jangan sampai kamu nangis kalau Joe pacaran sama cewek lain,” pungkas Ivon, memandang tajam padaku.
***
                Mama dan Vita berhenti ngobrol ketika terdengar bunyi kendaraan di halaman rumah. Aku menengok jam dinding, masih satu jam lagi waktu janjianku dengan Joe. Kok, dia sudah datang, sih. Aku bangkit mengganti bajuku.
                “Kak, ada temanmu,” Vita datang melongok dari korden kamar.
                “Kak Joe, ya? Suruh tunggu dulu.”
                “Bukan Kak Joe. Aku nggak kenal. Katanya sih, teman lama kakak.”
                Aku mengernyitkan kening karena merasa tidak janjian dengan siapapun. Teman lama? Tiba-tiba hatiku resah tak jelas. Aku bersegera ke ruang tamu. Dua orang cowok duduk menunggu di sana. Salah satunya tersenyum manis menyambutku. Aku terdiam berdiri di tempatku, tak kuasa mengeluarkan sepatah kata mewakili perasaanku.
                “Lea, apa kabar?” tanya sosok kurus yang kini tinggi menjulang. Dia tersenyum. Senyum usil itu. Mata penuh rindu. Aku yang terpaku.
Kemarin aku menerima cinta Joe yang menembak untuk ke tiga belas kalinya. Dan sekarang aku harus menyiapkan kata-kata untuk Eka yang datang membuktikan janji. Aku harus bagaimana?**
COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES