Membuat cerita anak itu menyenangkan. Kita harus berusaha agar kalimatnya sederhana, masalahnya sederhana, dan dipecahkan oleh si tokoh (anak) dalam cerita. Ending cerita harus memuat pesan moral yang baik. Pesan moral dalam cerita ini adalah: menjaga agar tetap jujur itu penting, karena walaupun tidak ada yang tahu saat kita melakukan kecurangan, Tuhan selalu melihat apa yang kita lakukan.
Ini cerpen anak pertama saya yang dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, sebuah surat kabar di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ini cerpen anak pertama saya yang dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, sebuah surat kabar di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Menjaga
Kejujuran
Oleh:
Indah Novita Dewi
Putri
anak asli Lembar Selatan, Pulau Lombok. Ibunya punya sebuah warung kecil di
lokasi ekowisata mangrove. Putri sering membantu di warung jika sedang libur.
“Besok
bantu Mamak di warung, ya?” pinta sang ibu ketika Putri hendak tidur. Mamak
Putri menjelaskan bahwa hari Minggu akan ramai karena organisasi asing yang
dulu ikut membantu mendirikan kawasan ekowisata, akan datang berkunjung
melakukan penilaian.
Putri
mengiyakan permintaan Mamak, lalu pamit tidur. Sambil menarik selimut, ia teringat
ucapan Ika di sekolah.
“Sepatunya
tinggal satu, Put. Warna kesukaanmu. Kalau tidak segera kamu beli, aku jual ke
teman lain.”
Ika,
teman sekelas Putri, membantu ibunya berjualan online. Jualannya kali ini
sepatu. Modelnya bagus. Putri ingin
sepatu itu, dan sudah memesan sepasang dengan warna maroon. Masalahnya, uang
Putri masih kurang.
“Uangku
masih kurang seratus ribu,” jelas Putri.
“Pinjam
ibumu saja.”
“Nggak
akan dikasih. Bulan lalu aku sudah dibelikan sepatu.”
“Gimana
kalau pinjam diam-diam dari laci warung? Nanti bisa kamu lunasi,” usul Ika.
Usul
Ika itulah yang terngiang-ngiang di telinga Putri menjelang tidurnya malam ini.
*
Udara
pantai dan bau laut menyambut Putri ketika pagi itu ia ikut ibunya ke kawasan
ekowisata. Rimbun dedaunan mangrove tampak berayun di kejauhan. Putri membantu
ibunya membersihkan warung. Ibu menyapu lantai, Putri mengelap toples-toples
kue.
Pukul
sembilan, mulai banyak pembeli di warung. Tak lama, datang bu Yayan, wakil dari
dinas pariwisata yang biasa melakukan penyuluhan pada pedagang-pedagang kecil
seperti Mamak Putri.
Setelah
berbincang sebentar, bu Yayan mengajak Mamak Putri pergi ke pendapa untuk
mendengarkan penyuluhan.
“Putri,
jaga warung, ya? Mamak mau ikut bu Yayan ke pendapa.”
Putri
akhirnya sendirian. Godaan untuk mengambil selembar uang, muncul. Lagipula
bukankah nanti ia akan mengembalikan uang itu dengan cara menyicil? Mamak tidak
perlu tahu dan tidak akan tahu.
“Putri!”
teriakan Sahira mengagetkan Putri. Sahira adalah anak pemilik warung sebelah.
Sahira mendekat mengulurkan sebuah
dompet.
“Ini
ada dompet ketinggalan di bangku. Punya siapa, Put?”
Putri
gemetaran menerima dompet dan membukanya. Ada foto bu Yayan di dalam dompet.
Dan uang berjajar rapi.
“Dompetnya
bu Yayan,” bisik Sahira. “Wah, uangnya banyak. Ambil selembar, nggak bakal
ketahuan.”
Kata-kata
Sahira membuat Putri tersadar.
“Jangan,
Hira. Itu namanya mencuri. Mungkin nggak ada orang tahu, tapi Tuhan maha tahu.”
tutur Putri.
Sahira
nyengir, “Iya, aku bercanda, Put. Cepat kembalikan. Mungkin bu Yayan bingung
mencari dompetnya.”
“Tolong
jagakan warung sebentar, ya, Hira.”
Putri
pergi membawa dompet bu Yayan. Dalam hati Putri berjanji untuk mengembalikan
uang Mamak yang sudah ia kantongi, sesegera mungkin ke dalam laci. Putri tak
ingin membeli sepatu dengan uang tak halal.