Jumat, 27 Maret 2020

Dokter, Corona dan Indonesia.

Di tengah merebaknya wabah covid-19, profesi tenaga kesehatan khususnya dokter sekarang ini menjadi bahan perbincangan banyak kalangan. Tentu saja demikian, karena hanya merekalah yang dapat menyembuhkan orang-orang yang terinfeksi virus corona. Hal ini tidak seperti saat kita memperbincangkan dokter menyembuhkan kanker, menyembuhkan penyakit demam berdarah, penyakit jantung, atau penyakit lainnya yang juga berbahaya, namun tidak menular. Kita, memperbincangkan para dokter dalam berjibaku melawan virus corona karena kita tahu, saat bertugas menangani pasien yang terinfeksi covid-19, para dokter itu seperti berhadapan dengan ujung akhir hidupnya. Ya, karena kita tahu virus corona dapat menular dengan sangat mudah. Para dokter, sekarang sama saja dengan tentara yang bertugas di garis depan medan peperangan. Bedanya, perangnya bukan dengan musuh negara lain, namun para dokter berperang melawan musuh yang tidak kelihatan. Corona, si kecil yang sangat luar biasa jahat.


Virus Corona - pict pixabay

Persoalan corona pasti sudah dibahas banyak orang. Kali ini saya hanya ingin membahas masalah profesi dokter saja. Hayo siapa yang dulu cita-citanya jadi dokter, ngacung!

Setiap kita pasti pernah berhubungan dengan profesi dokter. Dokter adalah profesi yang diidam-idamkan ibu-ibu untuk dapat melekat di depan salah satu nama anaknya. Tak terkecuali mama saya. Waktu saya kecil, mama selalu mencekoki kata-kata ... rajin belajar biar pinter, kalau gede jadi dokter. Nah, siapa yang mamanya juga begitu dulu, hayo. Saat tak ada seorangpun dari anaknya yang menjadi dokter, harapan mama saya bergeser menjadi ... semoga salah satu mantunya ada yang dokter, hehe. Makanya mama saya salah satu yang antusias waktu dulu saya cerita ada dokter mau pedekate sama saya, ciyee ... curcol cerita masa lalu ni yee.


Dokter, profesi calon mantu idaman - pict from pixabay

Untungnya mama saya tidak terlalu kecewa karena salah satu adik sepupunya, tante saya yang selama SMP-SMA tinggal bersama-sama di rumah kami, berhasil menjadi dokter. Tante saya itu sudah mendahului kami semua. Semoga Allah berikan tempat terbaik buat tante tersayang di surga, aamiin. Al fatihah.

Kembali ke profesi dokter, dulu awalnya saya melihat profesi dokter dengan sepolos-polosnya pemahaman bahwa itu adalah profesi yang keren, enak, duitnya banyak. Para dokter juga cantik-cantik dan ganteng-ganteng, luar biasa. Kisah cinta mereka juga segar dan unik. Eh ... kok belok ke kisah cinta, soalnya dulu bacaan saya novel-novel Marga T dan Mira W yang berprofesi dokter dan selalu menciptakan tokoh dokter dalam novel mereka. Namun walaupun cerita itu biasanya dimulai  dari dunia mahasiswa kedokteran yang penuh kisah, saya tetap tidak tertarik untuk menjadi dokter. Saya pasti tidak tega melihat darah dan saya juga takut salah suntik. Ya, mungkin karena itu. Karena ketidakmampuan saya menjadi dokter, saya sangat menghargai dan memuji profesi dokter. Hi, doctors you are all, cool!

Semakin dewasa saya semakin memahami bahwa perjuangan seseorang hingga menjadi dokter itu sungguh luar biasa. Apalagi ketika tahu bahwa uang SPP fakultas kedokteran luar biasa mahal. Wajar juga kalau dokter tarifnya mahal, walau di satu sisi ada cerita-cerita kepahlawanan tentang satu dua dokter yang praktik kerakyatan alias dibayar semampunya pasien. Duh suka trenyuh dan terharu kalau ada dokter yang seperti itu, ya? Kalau yang tarifnya mahal? Saya juga tak terlalu menghujat. Nggak papa juga, karena mereka juga sudah punya pangsa pasien tersendiri. Semua sudah ada porsinya masing-masing.

Belakangan, ya karena marak berita corona ini, saya jadi tersentak lagi mencermati beberapa berita corona yang terkait dokter. Bagaimana dokter dan para nakes lainnya terpapar virus corona dari pasien yang mereka tangani. Beberapa wafat karena kelelahan dan penyakit yang memang sudah diderita lama. Ada dokter yang usianya sudah sepuh, namun dengan tulus terjun langsung menangani pasien covid-19. Duhai, tak terasa airmata mengalir membaca berita-berita tentang para dokter itu. Saat ini mereka benar-benar membuktikan sumpah dokter yang pernah mereka ucapkan dulu. Mereka juga membuktikan kepada masyarakat bahwa inilah sejatinya profesi dokter. Bukan profesi yang menarik hanya karena limpahan materi yang dapat diperoleh dari hasil praktik, bukan! Profesi ini juga penuh risiko. Bahkan barangkali juga bukan hanya corona, bukankah sebelumnya juga banyak penyakit yang disebabkan oleh virus yang mereka tangani? Corona hanya semacam batu yang dihantamkan ke kepala kita agar kita nyadar, weeeeh ... jadi dokter itu berat gaeees. Sudah tahu risiko tertular virus mematikan yang belum ada vaksinnya, tapi tetap hayuk ... show must go on. Sumpah, itu keren sekali dokteeeer. Aku padamuuu ... saranghaeeee.


Dokter Handoko, dokter spesialis paru usia 80 tahun yang ikut berjuang di garda terdepan menangani pasien covid-19 - pict from socmed

Jadi bagaimana membantu para dokter itu ya? Bagaimana menyemangati mereka gitu? Kita kasih hadiah, atau kita ramai-ramai ke rumah sakit gitu ya, enaknya bawain makanan? Heee, sadar gaes, sadaaar. Ini musim corona. Para dokter itu nggak minta apa-apa dari kita. Mereka cuma minta kita jaga kesehatan dan nggak sakit aja. Mereka cuma mau kita diam di rumah saja, beneran.


Love You, Docs! - pict from Serambi Indonesia

 Tapi dari kitanya ya jangan jadi bebal terus cuma diam cengo di rumah ya. Ya doain, kek. Kirim duit buat bantu-bantu, kek. Alhamdulillah sekarang banyak pos-pos kemanusiaan yang dibentuk untuk membantu para nakes ini. Bisa buat dibelikan APD (alat pelindung diri) atau asupan makanan, ye kan? Kita tinggal transfer aja dari rumah secara online. Kalau nggak punya duit? Ya elo ga punya duit tapi pasti punya Tuhan, kan? Udah doain aja cukup. Doa dengan tulus supaya dikabulin Tuhan. Doa supaya para nakes sehat-sehat dan corona segera berlalu, aamiin. Doa semoga nggak banyak yang mati, lebih banyak yang sembuh, nggak nambah lagi yang terinfeksi, vaksinnya cepat jadi. Pokoknya doa yang baik-baik saja.


Donasi untuk tenaga kesehatan dapat lewat sini - pict from socmed Asma Nadia

Semoga juga, dengan adanya wabah ini, membuat anak-anak muda nggak kemudian takut untuk jadi dokter tapi malah jadi pemantik untuk menjatuhkan pilihan pada dokter sebagai cita-cita, ya? Karena dengan kasus ini kita jadi paham bahwa kebutuhan dokter dan tenaga kesehatan di negara kita itu masih banyaaak sekali. Lagipula bukankah profesi ini adalah profesi yang mulia dan menyimpan banyak pahala? Yuk, yuk, generasi muda, daftar di fakultas kedokteran, yuk. 

Dan sedikit usul buat pemerintah, nih. Tolong dong kalau biaya sekolah kedokteran itu mbok yao dikasih subsidi, supaya tidak terlalu mahalia gitu, tah ... pemerintah. Jadi peer pemerintah setelah musim covid-19 berlalu, perbanyak dan tingkatkan kualitas guru, perbanyak dokter. Perbanyak guru supaya makin banyak anak Indonesia yang dapat mengakses pendidikan, termasuk di pelosok-pelosok. Jadi guru harus dikirim ke pelosok dengan anggaran ideal ya, termasuk gajinya. Dengan adanya guru-guru ini, anak-anak termotivasi dan jadi pinter biar gede jadi dokter, kayak keinginan para mama-mama zaman dulu maupun zaman sekarang (Ya, dalam lubuk hati paling dalam, saya juga senang kalau anak saya ada yang jadi dokter, getoh). Perbanyak dokter, dengan cara subsidi SPP tadi itu. Kalau perlu digratisinlah untuk anak-anak berprestasi (misal ranking 1 di SMAnya). Sudah banyak sih yang kuliah gratisan di FK, tapi diperbanyak lagi dengan biaya pemerintah pusat gitu. Ayo, Indonesia kita bebenah, yuk. Entah jadi apa kita nanti setelah musim covid-19 berlalu, entah tinggal berapa kita (hiks), yang penting ini saatnya kita bangkit. Bangkit dan berubah jadi bangsa yang kuat. Kuat yang benar-benar kuat ... bukan kuat di penampakan tapi kopong di dalam. Mari untuk saat ini kita banyak-banyak berdoa saja. Al fatihah.

Jumat, 20 Maret 2020

Challenge Bikin Kue: Pie Susu

Hai, siapa yang hobi bikin kue? Saya sendiri sebenarnya kalau dibilang hobi ya nggak hobi-hobi banget bikin kue. Tapi saya punya oven listrik, segala macam cetakan dan loyang-loyang, juga suka menyetok aneka bahan untuk bikin kue seperti tepung terigu, cokelat batang, margarin, bubuk vanili, baking powder, soda kue, ragi, dan teman-temannya. Kalau saya runut-runut kenapa saya punya segala perlengkapan perang itu, tak lain dan tak bukan adalah warisan kebiasaan dari mama saya tercinta. Jadi, pada eranya, mama saya adalah pembuat kue dan chef sejati yang hasil karyanya sudah diakui paling tidak oleh ibu-ibu sekompleks tentara arhanud-ri, Jatingaleh, Semarang. Mama saya itu terima pesanan kue. Dan pernah juga punya warung makan. Pokoknya hasil olah tangannya nggak perlu diragukan lagi.

Nun pada masa kami masih kecil-kecil dan sudah besar tapi belum tinggal di rumah sendiri, setiap lebaran, mama selalu bikin kue sendiri. Kaastengel, nastar, lidah kuciang, jaanhagel, pokoknya semua jenis kue kering. Kami punya berbundel-bundel resep kue dan masakan yang sebagian besar sudah dicoba bikin oleh mama. Nah, sayalah asisten setia mama yang dulu dengan senang hati membantu membentuk, mencetak, mengoles, dan memberi topping pada aneka kue kering sebelum masuk oven. Kegembiraan masa kecillah, yang membuat saya punya semua peralatan perang untuk membuat kue. Pada saat saya sedang mood dan penuh kegembiraan, saya akan bikin kue dan membuat anak dan suami gembira. Hahaha, apaan sih.

Kemarin-kemarin tak terasa sudah dua atau tiga bulan saya tak bikin kue. Kesibukan, rasa malas, pekerjaan rumah yang menumpuk, menjadi alasan. Tapi eh, tiba-tiba ada challenge dari guru nulis saya mbak Nurhayati Pujiastuti, yang suka bikin kue. Challengenya bikin kue tiap bulan. Boleh, Mbak ... siapa takut? Supaya challengenya lebih menggetarkan, maka menunya ditentukan. Bulan Februari Mbak Nur yang menentukan, sedangkan bulan berikutnya saya, demikian seterusnya berselang-seling. 

Akhir bulan Januari, Mbak Nur mengirim WA menuliskan tantangan Februari: Pie Susu. Uwow, saya belum punya cetakan pie! Okelah, karena saya adalah orang yang nggak pelit keluar duit untuk peralatan bikin kue - asal pas ada duit lho ya, sayapun menyetujui menu tersebut (cetakan atau sejenisnya nggak akan mubazir, pasti selalu akan saya gunakan walau frekuensinya mungkin nggak sering ya, tergantung mood, hihi). Sebagai catatan, saya belum pernah, lho ... bikin pie susu. Tapi itu nggak mengurangi rasa antusias saya, soalnya menurut saya, asal resepnya bener dan kita bikin kue sesuai resep, pasti kue itu akan jadi.

Tanggal 13 Februari 2020 saya dapat kiriman gambar foto pie susu dari mbak Nur. Uwow ... dia sudah duluan bikin. Tapi saya nggak panas ... Februari kan masih lama berakhir, hihihi. Soalnya saya belum punya waktu buat bikin. Saya hanya bisa bikin hari Sabtu atau Minggu saat saya libur dan banyak waktu luang di rumah. Saya baru bisa bikin tanggal 23 Februari 2020, selisih sepuluh hari dari Mbak Nur. Yipiiii, tantangan Februari done buat kita berdua.


Gambar pie buatanku


Gambar pie bikinan Mbak Nurhayati

Kesan saya selama bikin pie susu, untuk bahan-bahannya tidak terlalu susah dicari (Saya nggak share resepnya, ya. Banyak di laman google, kok). Saat menguleni adonan kulit pie, harus sabar. Apalagi saat mencetak kulit pie. Hasil bikinan perdana ini, kulit pienya masih agak tebal, mungkin karena jemari saya masih belum terlalu terampil dan feelingnya belum terasah, ciyeh.


Gambar kulit pie sebelum diisi


Gambar kulit pie dan adonan isi, siap dipanggang


Pie susu ... mak krenyessshhh bila digigit

Walaupun tebal, namun kulit pienya terasa renyah saat digigit. Adonan isi juga relatif mudah membuatnya, hanya campur-campur susu cair, kental manis, kuning telur, dan tepung maizena, lalu dituang dalam adonan kulit. Terakhir memanggang pie di oven selama 45 menit. Saya tambah 10 menit api bawah karena bagian bawah pie terlihat belum terlalu matang. Jadi lama memanggang pie susu ini paling baik sekitar 55 menit sampai 60 menit.

Perasaan saya setelah membuat pie susu, walaupun hasilnya belum terlalu sempurna, tetap saya merasa senang sekali. Seperti saya bilang di awal postingan ini, ada kegembiraan seorang bocah yang membuncah di hati. Uhuy. Kayaknya bikin kue akan bikin saya selalu awet muda, deh. #ngarep
Nah, tunggu tantangan bulan Maret, ya! Saya akan menulisnya lagi di blog ini. Nantikan cerita keseruan saya saat membuat menu tantangan Maret.




COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES