Rabu, 26 Agustus 2015

Menulis Cerpen di Majalah Bobo

Halo, apakah kamu tahu tentang majalah Bobo? Majalah Bobo adalah majalah yang segmen pembacanya anak-anak usia 7-12 tahun. Usia SD-lah. Untuk usia di bawahnya, ada Bobo Junior, yang lebih banyak rubrik aktivitasnya. Kalau majalah Bobo, isinya adalah berbagai artikel ilmu pengetahuan, cerita bergambar, cerita pendek, profil dan masih banyak lagi. Majalah Bobo terbit sudah lama sekali lho. Pertama terbit adalah tanggal 14 April 1973. Wow, Bobo ternyata lebih tua dari saya, hehehe.
Sumber gambar di sini


Majalah Bobo juga menerima kiriman naskah dari luar, lho. Ada beberapa rubrik yang bisa kita kirimi. Untuk anak-anak usia SD yang masih belajar nulis, bisa kirim ke surat pembaca, rubrik arena kecil, tak disangka, puisi, dan gambar. Juga bisa kirim tanya jawab tentang nulis dan psikologi. Untuk orang dewasa, bisa kirim cerpen. Tentunya cerpennya adalah cerpen anak-anak, ya.

Cerita yang bisa kita kirimkan ada tiga jenis, yaitu: cerita bersambung, cerita pendek dan cerita superpendek. Cerita bersambung akan dimuat secara bersambung dalam 3-5 edisi Bobo. Panjangnya sekitar 2.100-3.500 kata. Kalau cerita pendek, panjangnya sekitar 750 kata. Cerita superpendek 300 kata.

Soal tema, bisa beragam. Bobo menerima cerita realis maupun dongeng, juga cerita misteri dan fantasi. Dongeng juga macam-macam. Bisa berupa cerita rakyat, fabel (dongeng yang tokohnya binatang), dongeng benda mati, dongeng peri-kurcaci, dan lain sebagainya. Yang penting gaya bahasanya harus gaya bahasa anak-anak, ya. Kalau masih bingung gaya bahasa anak-anak itu seperti apa, bisa baca-baca cerpen di majalah bobo. Atau survey langsung. Sering-sering saja amati kalau anak-anak kecil lagi ngobrol sambil bermain. Atau, tulislah cerpen lalu suruh anak usia SD membacanya. Kalau dia bisa memahami, berarti bahasa yang digunakan sudah cukup meng-anak.

Trus, cara kirimnya gimana? Tulis dulu cerpennya, pakai times new roman atau arial 12, spasi dua; lalu kirim bisa melalui pos atau email. Email Bobo adalah naskahbobo@gramedia-majalah.com. Kalau melalui pos, kirim ke Redaksi Bobo, Jl. Panjang No 8A Kebon Jeruk Jakarta 11530. Sembari menunggu naskahmu sampai dan kemudian dinilai oleh redaksi bobo, kamu bisa mulai menulis naskahmu yang lain. Oya, Bobo tidak memberitahu kalau naskahmu ditolak atau dimuat, lho. Tapi, kalau dimuat, nanti kamu akan mendapatkan satu majalah sebagai bukti terbit dan honor Rp250.000 yang akan dikirim langsung melalui rekening.

Agar pengiriman honor lancar, jangan lupa saat kirim cerpen, lengkapi dengan nama, alamat, no KTP, no rekening, no NPWP jika ada. Berapa lama kira-kira masa tunggu? Saya pernah kirim Sept 2014 dan baru tayang di Bobo edisi April. Jadi sekitar 7 bulan, ya.

Ingat, cerpennya harus orisinil karyamu, ya. Jangan menjiplak. Tapi kamu bisa mengirim cerpen terjemahan lo, asal kamu cantumkan sumber aslinya. Bahkan kamu bisa menceritakan kembali cerita rakyat dengan versimu sendiri, sekali lagi, tulis catatan di bawah naskah agar redaksi tau sumber ceritamu. Pokoknya harus jujur gitu deh.

Nah, sudah siap mengirim cerita ke Bobo? Let's gooooo....

Kamis, 20 Agustus 2015

Cerpen Pertama di Bobo: Toko Sepatu Ibu



Toko Sepatu Ibu
Oleh: Kalya Innovie

Ibuku bekerja di toko sepatu. Sesekali sepulang sekolah, aku akan datang ke toko, menemani Ibu. Aku senang memerhatikan berjenis-jenis sepatu yang dijual di sana. Favoritku, tentu saja, jajaran sepatu anak-anak. Aku hanya bisa memandangi dan membayangkan aku mengenakan sepatu-sepatu itu. Sebab, Ibu selalu melarangku mencoba sepatu di tokonya. Kata Ibu, nanti sepatunya kotor, atau rusak.
Hari ini, aku ke toko dengan bersemangat. Semalam Ibu cerita stok sepatu model baru sudah tiba. Aku sudah tak sabar melihat sepatu-sepatu itu.
Aku datang siang hari. Menurut pengamatanku, saat siang adalah saat yang tepat untuk datang ke toko. Saat itu, pengunjung sepi, jadi aku bisa puas berlama-lama di rak sepatu anak.
"Ingat, jangan dicoba sepatunya, ya," ucap Ibu mengingatkanku.
Aku hanya mengangguk. Dan, di sanalah aku menemukannya. Di bagian rak sepatu anak paling atas. Si merah cantik bertengger manis. Bagai magnet, menyedot seluruh perhatianku hanya kepadanya.
Top of Form
*
            Sepatu merah itu berhak rendah. Ada motif bunga di seluruh bagiannya. Di bagian tumit, ada semacam tali berbahan pita. Tali itu nanti harus diikat mengelilingi pergelangan kaki. Aku bisa membayangkan kedua kakiku memakai sepatu cantik itu. Perlahan kuraba permukaan sepatu dengan gemetar. Aku sangat ingin mencobanya!
            Aku mengintip dari sisi rak. Ibu sedang melayani pembeli. Seorang ibu bertubuh tinggi dan anaknya yang sebayaku. Aku melihat sekali lagi si merah. Menelan ludahku. Kuintip harganya. Hmm, sepertinya tidak terlalu mahal. Aku hanya punya dua sepatu untuk sekolah. Kurasa satu pasang lagi untuk dipakai saat jalan-jalan ke luar rumah, tak mengapa. Ibu mungkin memperbolehkanku membelinya. Dengan hati-hati, aku membawa si merah, mendekati Ibu.
            Ibu bertubuh tinggi rupanya sedang membujuk anaknya untuk mau membeli sepatu yang dipilihkannya. Si anak tampak cemberut dan berulang kali menggelengkan kepala. Wajahnya kusut, sangat berlawanan dengan baju cerah bermotif kupu-kupu yang dikenakannya.
            “Bu…,” kupanggil Ibu dengan suara pelan.
            Ibu menoleh, melihatku, lalu mengerutkan kening saat sadar aku membawa si merah. Belum sempat aku mengutarakan keinginanku, belum sempat juga Ibu menegurku, kami keduluan si baju kupu-kupu.
            “Aih! Sepatu ini bagus sekali! Ibu, aku mau sepatu yang ini!” seru si kupu-kupu sembari dengan serta merta mengambil alih si merah dari tanganku. Aku melongo.
            “Kamu beneran mau sepatu yang ini?” tanya ibunya.
            “Ya!” angguk si kupu-kupu mantap.
            “Tapi, sepatu ini sudah dipilih gadis kecil itu, Airin,” tegur sang ibu memandang ke arahku.
            Aku tertunduk, lalu mengangkat mukaku, melirik Ibu. Hanya sekejap Ibu menatapku, lalu beralih ke ibunya Airin, ramah.
            “Dia anak saya, Bu. Saya rasa, dia belum terlalu butuh sepatu baru,” ucap Ibu. Ibu Airin tampak senang, lalu membuka dompetnya. Airin menunduk, mencoba si merah di kakinya. Ia melompat-lompat, berlari di lorong toko dengan memakai si merah. Aku bisa membayangkan apa yang ia bayangkan. Pasti ia membayangkan sedang berlarian di sebuah taman bunga yang indah.
            Setelah kedua ibu dan anak itu pergi, Ibu mendekatiku. Aku masih menunduk, tak bisa menyembunyikan kekecewaanku.
            “Vika benar-benar ingin sepatu seperti itu?” tanya Ibu lembut.
            Belum sempat aku menjawab, datang seorang ibu dan anaknya memasuki toko. Ibu itu berpakaian kumal, membawa buntalan. Anaknya, seorang bocah laki-laki kecil bertampang kotor. Pipinya dipenuhi bekas ingus kering. Satu tangannya erat memegangi ujung kemeja ibunya, tangan yang lain memegang pedang mainan yang lusuh. Ibu memberi kode agar aku menunggu sebentar. Ia menyapa tamunya dengan ramah.
            “Ada yang bisa saya bantu?”
            “Ini…uang saya,” ibu berpakaian kumal mengeluarkan sekantung recehan dari dalam buntalannya. “Adakah sepatu untuk anak saya, yang bisa terbeli dengan uang ini?”
            Aku terkesiap, melirik kaki dekil si anak yang tanpa alas. Ibu tersenyum, lalu dengan sabar menghitung recehan yang diterimanya. Aku yakin tak ada sepatu di toko ini yang dapat terbeli oleh ibu itu. Tapi Ibu tak rela pembelinya pulang dengan tangan kosong. Bocah berpedang itu menyeringai lebar saat sepasang sepatu baru menghiasi kakinya. Mereka berdua keluar dengan senyum puas.
            “Bu,” aku memanggil Ibu.
            “Oh, ya. Vika, tentang sepatu itu…”
            “Tidak, Bu. Vika memang ingin sepatu merah itu. Tapi Vika baru sadar kalau Vika memang belum terlalu butuh sepatu. Dua sepatu Vika masih bagus.”
            Aku mendekat memeluk Ibu. Ibu tersenyum dan mencium keningku. Aku harus tahu diri. Ibuku hanya pegawai biasa di toko sepatu itu. Kalau Ibu rela berkorban membantu orang miskin mendapatkan sepatu, maka akupun bisa menunda keinginanku memiliki sepasang sepatu baru. Toh, jika ada sepatu yang diobral murah, Ibu tentu tak ragu membelikanku.

            Aku kembali ke rak sepatu anak-anak. Mengamati satu-satu dan membayangkan memakainya di kakiku. Kulihat Ibu mengusap pipinya, lalu kembali sibuk mengatur sepatu di rak yang lain. Siang ini sungguh sepi. Tapi aku senang, karena dapat memuaskan hobiku, melihat-lihat sepatu.*
COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES