Rabu, 16 Desember 2015

RESENSI: Raditya Dika, Garing atau Cerdas?



Sudah beberapa tahun saya ingin sekali membaca buku karya Raditya Dika. Alasannya ya cuma pengen tahu saja. Saya ingin tahu kenapa bukunya selalu laris manis digilai para abegeh tanah air (Gilaa...gilaaa). Di sisi lain, saya sudah mendapat bocoran dari satu sahabat saya seorang mamah muda berinisial 'A' bahwa buku Raditya itu garing, lucunya nanggung. Seorang teman fesbuk, juga mamah muda berinisial 'I' memperkuat penilaian 'A'. Menurut 'I', novel Raditya garing dan jorok. Sedang menurut mamah muda cantik berinisial 'V', teman yang darinyalah saya meminjam buku ini, berkata: bukunya cuma begini doang kok laris, ya?

Hahaha, jangan heran kalau teman saya mamah-mamah muda semua. Soalnya saya sendiri juga mamah (ingin selalu) muda. Muda agak tua dikitlah. Eh, dewasa, gituh.

Penilaian negatif dari para mamah di atas tidak menurunkan rasa kepo dakuh. Justru malah tambah penasaran. Saya berprinsip, jelek untuk orang lain, belum tentu buat saya. Bagus untuk orang lain, belum tentu untuk saya. Saya harus membaca sendiri, baru bisa membuat sebuah penilaian yang objektif (cie ciee...kayaknya saya cocok jadi wakil rakyat, nih. Gak ada hubungan, ya?).

Dan...tibalah saya membuat penilaian, untuk buku Raditya yang ke tujuh ini: KOALA KUMAL

PRAKATA
Baru membaca prakata, saya sudah merasa salut pada seorang Raditya. Bagaimana tidak, di sana ia bertutur bahwa untuk menyusun KOALA KUMAL, dia menyisihkan waktu di tengah kesibukannya. SEHARI SATU PARAGRAF. Dan selesai dalam waktu TIGA TAHUN.

ADA JANGWE DI KEPALAKU
Jangwe itu adalah sejenis petasan. Walaupun Raditya sudah menjelaskan dengan rinci seperti apa petasan jangwe itu, saya tetap tak bisa menggambarkannya di kepala saya. Tapi abaikan saja karena karakteristik petasan jangwe itu bukan hal penting dalam bab ini. Yang penting adalah persahabatan di masa kecil, hubungan Raditya dengan Mama Papanya yang hangat, serta pesan yang terselip: main petasan itu berbahaya. Semua dituturkan dengan santai dan lucu. Nggak garing. Saya ngikik beberapa kali.

INGATLAH INI SEBELUM BIKIN FILM

Bab ini bercerita saat Raditya menulis skenario untuk filmnya: Cinta Brontosaurus. Settingnya sudah bukan lagi saat SMP seperti bab sebelumnya, tapi Raditya sudah dewasa dan sudah pacaran. Di bab inilah saya memahami kenapa teman saya 'I' berkata bahwa KOALA KUMAL rada-rada jorok. Karena ada adegan Papa Raditya menyarankan anaknya agar cepat menikah. Nah, saran sang Papa ini memakai kata-kata yang rada vulgar, namun justru dipakai Raditya untuk salah satu dialog dalam filmnya. Mau tahu kata-kata Papa Raditya yang fenomenal itu? Baca sendiri bukunya, ya.
Oya, menurut saya bab ini cukup lucu dan tetap menggambarkan hubungan anak-orangtua yang hangat dan sedikit absurd.

BALADA LELAKI TOMBOI

Bab ini bercerita saat Raditya pacaran dengan seorang cewek tomboi. Di bab ini saya banyak tertawa ngakak-ngakak. Banyak yang lucu, ditutup Raditya dengan sebuah pencerahan ketika ia sudah dapat menerima kenapa diputusin oleh ceweknya. Bab yang bagus: perlu dibaca para abegeh yang suka berlama-lama galau kalau habis diputusin. So, move on, guys....

PANDUAN COWOK DALAM MENGHADAPI PENOLAKAN

Di bab ini Raditya memaparkan 7 cara atau panduan untuk cowok jika ditolak cewek. Bab ini rada garing menurut saya, karena panduannya absurd. Hanya berupa lelucon konyol. Cukup bikin tersenyum agak getir gitu, hehee...

KUCING STORY

Bab ini berkisah tentang Raditya yang merasa kesepian (dia sudah tinggal sendiri, tidak serumah dengan orangtua), lalu memutuskan untuk memelihara kucing. Peristiwa dia mencari kucing yang tepat diceritakan dengan lancar dan enak dibaca. Tidak terlalu konyol, tapi cukup informatif.

LB

Ini kisah rada-rada lucu gimana ketika Raditya syuting iklan di Bangkok. Waktu itu saat break syuting, Raditya ngobrol dengan salah satu kru yang mengenalkannya dengan sebuah aplikasi di media sosial, Tinder. Yaitu aplikasi untuk nyari jodoh. Caranya download saja Tinder di hp, lalu login memakai facebook. Nanti akan muncul foto orang-orang di dekat kita yang juga memakai Tinder. Ada keterangan jarak orang tersebut dengan kita. Kalau suka, kita tinggal pencet warna hijau dan kalau tak suka pencet merah. Kalau orang yang kita like juga suka, maka kita mulai bisa ngobrol.
Nah, Raditya mencoba untuk memakai aplikasi ini. Dia menemukan satu foto gadis cantik dengan lokasi yang cukup dekat. Keterangan fotonya cuma dua huruf: LB.
Ternyata respons dari Moo, cewek itu cukup cepat, bahkan mereka langsung janjian di mall. Nah, di sebuah kafe, baru terungkap LB itu apa. Ternyata kependekan dari Lady Boy. Alias waria! Endingnya Raditya mencoba membebaskan diri dari si Moo dengan alibi sudah ada janji lain.

PEREMPUAN TANPA NAMA

Ini tentang sebuah frame peristiwa dalam hidup kita. Di mana kita melihat seorang lawan jenis, lalu merasa jatuh cinta, tapi kemudian si lawan jenis itu berlalu begitu saja. Bagian ini agak gue banget. Dan aku yakin semua pembaca pasti merasakan hal yang sama. Kalaupun enggak, pasti langsung mengaduk-ngaduk memori nginget-inget ada gak ya someone without name ini. Ini salah satu cerdasnya Raditya menurut aku. Menyentil di bagian yang semua orang akan respons: Eh iya, gue juga pernah kayak gitu.

Cerita di Raditya, tentang pas dia ketemu seorang gadis cantik lagi makan di KFC. Gak ada jalan untuk kenalan, maka si gadis itu tetap dalam kenangan sampai akhir zaman. Kedua, seorang pramugari (yang ini ada cerita lucunya bin konyol), lalu ketiga mbak cantik yang lagi milih baju di toko. Yang terakhir Raditya sempat nyapa, tapi berakhir dengan kecewa.

MENCIPTAKAN MIKO

Ini tentang awal terciptanya serial Miko di kompas TV. Lucu dan membuktikan satu lagi kecerdasan Raditya. Dari nol dia mencoba menjadi sutradara untuk serial pertamanya ini. Keren. Acung jempol.

LEBIH SERAM DARI JURIT MALAM

Ini kisah tentang ekskul SMP dan cinta yang tak pernah terkatakan. Cukup lucu.

PATAH HATI TERHEBAT

Ini sebuah kisah tentang patah hati dari temannya Raditya.


AKU KETEMU ORANG LAIN

Ini menceritakan saat Raditya lulus SMA dan melanjutkan studi ke Australia. Ceritanya tentang pisahan sama ceweknya, menjalani LDR, lalu beberapa tahun kemudian si cewek mengaku "Ketemu orang lain" dan kisah mereka selesai begitu saja.

KOALA KUMAL

Koala kumal sendiri adalah cerita bagaimana Raditya menemukan judul untuk buku ini. Isinya adalah renungan tentang hidup. Bahwa perpisahan adalah hal yang merupakan keniscayaan. Ada saat-saat bertemu kembali yang kadang membawa kita pada kondisi yang merasa asing, seperti seekor koala kumal yang menemukan habitatnya sudah tak seperti dulu lagi. Pahit dan getir selalu ada dalam hidup.

KESIMPULAN

Kesimpulan setelah membaca buku ini, Raditya memang punya 'modal' untuk menjadi penulis laris. Kekuatan humornya cukup baik. Gaya menulisnya mengalir enak dibaca. Saya angkat topi dia sudah menerbitkan tujuh buku dan sebagian difilmkan. Semoga kecerdasan Raditya menular pada semua followernya yang sebagian besar para abegeh. Hai abegeh, jangan haha hihi aje, abis bace, kejar mimpi lo. Tiru Raditya yang sukses di usia muda.
Berikutnya saya akan meresensi novel-novel Raditya yang lainnya. Dengan catatan, kalau dapet pinjeman lagee...hihihi. Bye...







Minggu, 06 Desember 2015

Menulis Opini di harian Kedaulatan Rakyat



Mengapa orang menulis opini? Ya, tentu saja untuk mengutarakan opini/pendapatnya tentang suatu hal. Biasanya orang tertarik pada suatu peristiwa atau wacana yang sedang hangat, lalu merasa wajib urun rembug dan merasa pendapatnya penting untuk diketahui orang banyak, maka ia mengirimkan opininya ke media massa. Opini juga dapat ditulis sebagai bagian dari pengalaman. Si penulis mengalami sebuah peristiwa yang sangat berkesan, merasa orang perlu mengetahuinya, lalu berbagi opininya melalui media massa.

Opini berikut saya tulis sudah lama, sekitar Maret 2015, sesaat setelah saya menemani anak saya ikut ujian tes masuk SD. Saya kirim ke redaksi Kedaulatan Rakyat (Koran lokal di Yogyakarta), dan dimuat. Selamat membaca.


Tes Masuk SD, Perlukah?


            Pendaftaran murid sekolah dasar (swasta) sudah dimulai sejak Februari - Maret, jauh sebelum tahun ajaran baru dimulai. Pendaftaran siswa baru ini kemudian diikuti oleh tes masuk yang standarnya tergantung kebijakan dari masing-masing sekolah.
            Dari tiga sekolah dasar berbasis pendidikan Islam  di wilayah Sleman, penulis mencatat materi tes hampir seragam. Pertama tes akademik, calon murid SD (baca: murid TK) diuji kemampuan calistung (baca, tulis, hitung). Mereka duduk di ruangan layaknya peserta tes CPNS, menghadap kertas ujian. Tes tahap dua adalah kemandirian dan mengaji. Calon murid dilihat kemandiriannya dalam memakai baju sendiri. Untuk mengaji, calon murid diuji membaca surat pendek yang sudah dihafalnya.
            Pemandangan saat tes sangat beragam. Beberapa anak menangis, tidak mau berpisah dengan ibunya. Sebagian yang lain, berani duduk  di ruang  ujian tanpa orang tua. Beberapa peserta ujian dapat menyelesaikan soal dengan mudah. Sebagian  yang berani, bertanya pada guru penjaga jika ada soal yang belum dipahami. Namun ada juga sebagian siswa yang berwajah tegang, memukul-mukul kepala, tidak memahami soal karena belum bisa membaca dengan baik, di satu sisi tidak berani bertanya pada guru penjaga.
            Hasil tes seminggu berikutnya di salah satu SD tersebut, lima calon murid ada di deretan bawah dengan status cadangan.  
Sekolah Sebagai Taman
            Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah, Anies Baswedan dalam salah satu pidato beliau mengatakan, sistem pendidikan di Indonesia hendaknya kembali pada ajaran bapak pendidikan kita yaitu Ki Hajar Dewantara. Beberapa inti dari makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah: Anak memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas; masing-masing anak berbeda bakat dan keadaan hidupnya, sehingga sebaiknya tidak dilakukan penyeragaman; anak tumbuh berdasarkan kekuatan kodratinya yang unik, dan tidak mungkin pendidik “mengubah padi menjadi jagung”; sekolah harus berfungsi sebagai TAMAN, tempat belajar yang menyenangkan.
            Apabila dikaitan dengan tes masuk SD, rasanya sulit sebuah sekolah menjelma menjadi taman yang menyenangkan jika sebelum memasuki gerbang, anak sudah melalui tahap yang menegangkan. Belum lagi bila nantinya ada calon murid yang tidak diterima karena kemampuan akademik di bawah rata-rata. Artinya mereka tidak mendapat kesempatan yang sama untuk masuk taman yang menyenangkan. Padahal semua anak memiliki potensi dan hanya pendidik yang baik yang mampu memunculkan potensi dalam diri anak.
Antara Teori dan Kenyataan
            Standar pendidikan AUD-TK berdasarkan SK Mendiknas Nomor 58 Tahun 2009 (yang masih menjadi acuan sampai saat ini), tidak menganjurkan materi calistung sampai tingkat terampil.  Materi calistung yang disarankan adalah pengenalan angka dan huruf sampai si anak dapat menulis namanya sendiri.  Kenyataannya, materi calistung diberikan secara intensif melalui les tambahan di sekolah. Sebagian orang tua  menambah jam pelajaran calistung untuk anaknya dengan les pada guru privat atau mengajari sendiri.  Semua karena anak yang  pandai calistung punya kesempatan lulus lebih besar saat mengikuti tes masuk SD.
            Pembelajaran calistung tingkat terampil, pemberian les tambahan dan tes seleksi masuk SD adalah tiga hal yang tidak selaras dengan kurikulum pendidikan PAUD TK. Sekolah PAUD TK yang baik adalah yang memberikan kesempatan bermain pada anak. Beban akademik  yang terlalu berat untuk usianya dapat menyebabkan tekanan mental.
Tes Masuk SD
            Tes masuk SD sebaiknya dilakukan dengan tujuan mengetahui  kemampuan belajar dari calon murid, sehingga dapat direncanakan tujuan belajar dari masing-masing murid sesuai dengan tingkat kecerdasannya.

            Lalu bagaimana dengan hak SD swasta untuk mendapatkan murid terbaik agar predikat sebagai sekolah favorit tetap terjaga? Mungkin saatnya mengubah cara berpikir. Sekolah yang baik, bukanlah sekolah yang mengumpulkan anak-anak cerdas, kemudian dengan bangga menyebut dirinya sekolah unggulan. Sekolah yang hebat, adalah sekolah yang sistem belajar serta pendidiknya mampu memunculkan potensi dari anak didik, baik dari anak yang cerdas maupun yang prestasi akademiknya biasa saja. Sekolah yang baik adalah sekolah yang  menyenangkan, sehingga murid bersemangat berangkat setiap hari ke sekolah, dan enggan pulang karena belajar di sekolah sangat mengasyikkan. (Indah Novita, wali murid TK).

Jumat, 27 November 2015

Semut di dalam laptop

Dua bulanan belakangan ini saya mengalami hal yang menjengkelkan dengan laptop saya. Yaitu adanya makhluk kecil yang bermunculan melalui lubang-lubang di laptop. Bayangin aja, sedang enak-enak ngetik, tiba-tiba doski show off di layar monitor. Trus nggak lamanya keluar saudara-saudaranya dari lubang keyboard. Ya, tak lain tak bukan, dia adalah semut, saudara-saudara....



Paling parah adalah hari ini. Biasanya cuma satu dua aja si semut itu. Eh, hari ini buanyak banget kayak rombongan orang mau nonton pawai. Bejubelan membuat kesal. Niat saya tadinya mau nuntasin resensi buku temen di blog sambil nyalin jurnal, langsung amblas seketika. Dengan penuh geram langsung saya bikin postingan ini ngerumpiin si semut. Tak lupa saya menggugling dan menemukan beberapa tips mengatasi keberadaan semut di dalam laptop.

Wuah, rupanya banyak juga orang yang mengalami nasib sama dengan saya. Nggak jauh-jauh, laptop suami saya juga dikerubuti laptop. Menurut beliau, itu karena dia suka nyimpan permen dalam tas laptopnya. Hmm, jadi rupanya memang perlu dibasmi si semut itu. Saya khawatir lama-lama dia akan menyebabkan kerusakan yang sistemik dalam laptop saya.



Dan saya menemukan banyak tips dalam beberapa blog yang saya gugling di internet. Alhamdulillah. Berikut saya rangkumkan cara menghilangkan semut:
1. Letakkan laptop dalam ember yang sudah dimasuki kapur barus. Tutup dengan menyisakan tempat keluar. Saat bau kapur barus sudah memenuhi ember, semut akan berhamburan keluar
2. Mainkan game yang bisa menyebabkan laptop jadi panas. Semut akan keluar karena tidak tahan panas
3. Bongkar laptop di tempat service

Cara mencegah agar semut tak tertarik lagi pada laptop Anda:
1. Sering bersihkan laptop setidaknya seminggu dua kali. Kalau saya, inginnya sekarang tiap hari kudu buka laptop.
2. Cuci tangan sebelum mulai membuka laptop
3. Jangan ngetik sambil ngemil (kadangkala ini saya lakukan memang)

Nah, semoga Anda tak mengalami kekesalan seperti saya, ya. Jaga kebersihan laptop dan jaga kebersihan tanganmu saat ngetik. Yukk, lanjut nulis lageee.....

Sumber tulisan:
http://zaidankomputer.blogspot.co.id/2014/02/cara-mengatasi-semut-dalam-laptop.html?showComment=1448675655362#c1820358288447717812


Minggu, 22 November 2015

Percikan Pertamaku di Majalah Gadis

Beberapa waktu lalu, naskah cerpenku dimuat di rubrik Percikan majalah Gadis. Rubrik percikan adalah rubrik yang berisi naskah cerpen singkat sekitar 500 kata. Genrenya tentu remaja dan biasanya kisah berakhir secara twist ending, atau endingnya agak mengejutkan gitu. Sempat mencoba beberapa kali njajal gawang percikan, ini naskah ke lima yang golll. Kukirim 8 Oktober 2015, dimuat pertengahan bulan Oktober 2015. Ini naskah asli dari "Bukan Habibie". Selamat membaca, ya.
 



Bukan Habibi
Oleh: Kalya Innovie

            Mataku masih terpejam ketika secara refleks kuraih ponsel yang sudah beberapa menit mengalunkan “Knock Me Out” dari Afgan. Uuh … siapa sih yang rese banget malam-malam buta menelepon? Tak lama setelah kugeser penanda hijau ke merah di ponselku, suara cempreng menampar telingaku dari ujung telepon.
            “Winaaa … lama amat ngangkatnya,” suara Mia, teman sebangkuku di kelas.
            “Maaf, aku sudah tidur,” sahutku mengucap maaf dengan maksud menyindir Mia.
            “Oh, nggak papa. Sekarang sudah melek? Aku ada berita penting.”
            “Berita apa?” tanyaku malas.
            “Aku sekarang tahu kenapa Vino selalu bilang aku jelek.”
            “Kenapa, Mi?”
            “Aku tahu karena aku baru nemenin tanteku nonton film lama. Film Ainun-Habibi.”
            “Tolong dipersingkat saja deh, Mi. Kalau bertele-tele, aku nggak mudeng.”
            “Ih, Wina. Masak kamu nggak tahu? Di film itu, pak Habibi yang masih remaja selalu meledek bu Ainun jelek, item. Padahal itu sebenarnya wujud kecanggungan pak Habibi saja. Padahal pak Habibi tu naksir bu Ainun.”
            Mataku benar-benar melek sekarang.
            “Jadi maksud kamu?”
            “Maksudku, Vino pasti naksir aku. Cuma karena dia canggung, gugup, jadi dia selalu meledek aku jelek. Kamu tahu nggak? Aku jadi lega banget habis nonton film ini. Sekarang aku mau tidur dulu. Daa …!”
***
            Aku masih terkantuk-kantuk mendengarkan sekali lagi teori cinta a la Habibi dari mulut Mia. Tadi malam aku nggak bisa tidur lagi, lalu aku rampungkan saja buku “Bumi” karya Tere Liye yang siangnya baru aku pinjam dari perpustakaan. Akibatnya sekarang aku ngantuk.
            Mia masih nyerocos ketika Vino masuk ke kelas kami. Aku tau ia mencari Clarissa. Tapi Claris sedang tidak masuk.
            “Hai, ganteng…,” sapa Mia senyum-senyum.
            “Hai, jelek,” sahut Vino cuek, seperti biasa.
            Alih-alih cemberut dan ngedumel kayak biasanya, kali ini Mia terbahak mendengar jawaban Vino, lalu dengan centil menepuk bahu Vino.
            “Ih, Vino gitu deh, sukanya. Jangan nggak jujur sama perasaanmu sendiri…,” rajuk Mia, lalu ngikik kayak miss kunti.
            Vino melongo dan terlihat agak ngeri dengan reaksi Mia yang lain dari biasa.
            “Claris mana, Win?” tanyanya padaku, tak mau lama-lama menatap Mia yang masih cari-cari perhatian. Aku segera menjelaskan tentang Clarissa yang tidak masuk. Vino buru-buru meninggalkan kelas kami setelah mendengarkan penjelasanku. Sepeninggal Vino, Mia kembali membeberkan teori cinta a la Habibi. Tapi aku punya pendapat sendiri. Walau tak menguasai teori cinta manapun, dari tatapan mata Vino saja, aku bisa paham kalau dia naksir Clarissa, bukan Mia. Tapi aku nggak mau merusak euforia Mia, jadi aku diam saja.
***
            “Hai, cantik … sudah sembuh bener, ya?” sapa Vino pada Clarissa. Hmm, pradugaku 99% sudah mendekati kebenaran. Setiap jam istirahat Vino selalu masuk kelasku untuk nyari Clarissa. Visi dan misinya terdeteksi dengan jelas. Cuma, selalu ada satu orang yang buta.
            “Hai, Vino ganteng…,” walau nggak disapa, Mia tetep aja nyamber.
            “Hai, jelek,” balas Vino pendek dengan muka lempeng.
            Clarissa tertawa.
            “Kalian itu nggak ada capeknya bertengkar. Yuk, kita ke kantin. Vino janji mau nraktir kita bertiga, lho,” ajak Clarissa tersenyum manis.
            “Dalam rangka apa, Cla?” tanyaku.
            “Emh … kemarin kami jadian,” jawab Clarissa dengan pipi memerah.
            Clarissa dan Vino duluan ke kantin. Aku janji akan menyusul bersama Mia. Aku harus menghibur Mia yang syok mendengar berita dari Clarissa.
            “Mi … sabar, ya, Mi. Maaf, nggak mengingatkan kamu tentang teori Habibi. Satu yang kamu perlu sadari, Vino itu bukan Habibi. Dan untuk teori cinta, tiap orang punya formula yang berbeda.”
            “Jadi … ternyata benar ya, Wina?” tanya Mia mengandung isak.
            “Apanya yang benar?”
            “Benar aku ini jelek?” tangis Mia pecah.
            Aku memeluknya. Sepertinya perlu waktu lebih lama untuk menyusul Vino dan Clarissa ke kantin.***




Kemiskinan di Indonesia

Dengan payung judul di atas, saya meresensi sebuah buku di bawah ini:


Pengentasan Kemiskinan Melalui Beras Miskin (Raskin), Mungkinkah?


Judul Buku                  : Pembasmian Kemiskinan, Perspektif Sosiologi-Antropologi
Penulis                         : DR. Swis Tantoro, M.Si
Penerbit                       : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan                       : I, Desember 2014
Tebal buku                  : 184 halaman
ISBN                           : 978-602-229-435-1

Kemiskinan merupakan sebuah kata yang sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia. Telah sering kita dengar kalimat yang mengandung kontradiksi, Indonesia negeri kaya, dengan masyarakat yang miskin. Tidak hanya di Indonesia saja, namun kemiskinan telah menjadi sebuah issue yang sangat penting di seluruh dunia, hingga penelitian mengenai kemiskinan selalu dilaksanakan dari waktu ke waktu.
Buku ini merupakan sari dari disertasi yang disusun oleh penulis, saat menempuh studi jenjang S3 di Malaysia. Mengambil topik kemiskinan, dan fokus penelitian pada salah satu program pemerintah dalam mengatasi kemiskinan, yaitu program beras miskin (raskin). Buku ini menjelaskan bagaimana program raskin dilaksanakan dan apa saja kendala dalam penyaluran raskin. Lokasi penelitian dilakukan di kota Pekanbaru. Walaupun hasil penelitian dalam buku ini adalah gambaran lokal di Pekanbaru, namun dapat menjadi cermin dan pelajaran untuk perbaikan program raskin baik di Pekanbaru sendiri maupun di daerah lain di Indonesia. Menarik tentunya, mengingat di akhir 2014 telah muncul wacana bahwa pemerintah akan menghapus program beras miskin dan menggantikannya dengan e-money untuk membeli beras.
Ada enam ‘tepat’ yang harus dipenuhi untuk memastikan penyaluran raskin yaitu: tepat sasaran, tepat jumlah, tepat mutu, tepat waktu, tepat harga dan tepat administrasi. Kenyataannya, selalu ada kendala yang menyebabkan raskin tidak tepat sasaran, seperti data masyarakat miskin yang tidak sesuai. Tidak tepat jumlah, karena ada kelurahan yang punya ‘kebijakan’ tersendiri sehingga membagi rata jatah raskin pada semua penduduknya baik miskin maupun tidak. Tidak tepat mutu, banyak beras yang apek, kotor dan berkutu. Tidak tepat waktu, kadang terlambat hingga dua minggu karena penyetoran hasil penjualan raskin bulan sebelumnya belum dilakukan. Tidak tepat harga, masyarakat membayar lebih untuk biaya tambahan. Tidak tepat administrasi, syarat-syarat administrasi tidak terpenuhi pada waktunya. Walaupun mengakui banyak kendala pada program raskin, tapi penulis buku ini  menyarankan pemerintah agar meneruskan program ini dengan melakukan perbaikan-perbaikan. Penulis percaya bahwa program ini dapat mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan masyarakat.

Dari sisi judul, sebetulnya judul buku ini kurang sesuai, karena saya tidak menemukan perspektif sosiologi-antropologi di dalamnya. Kalaupun ada, itu hanya dipaparkan sedikit di bagian tinjauan pustaka. Judul yang lebih sesuai adalah Program Raskin di Indonesia: Studi Kasus Kota Pekanbaru. Walaupun judul kurang sesuai, menurut saya isi buku ini penting, khususnya  untuk menambah wawasan kita mengenai program raskin dan kendalanya.

Kamis, 05 November 2015

Cerpen keempat di Majalah Bobo: Pergilah Kau, Koles



Pergilah Kau, Koles
Oleh: Kalya Innovie

            Pulang sekolah, lapar dan haus. Seperti biasa, Dina langsung menuju meja makan.
            “Ha? Ayam kukus lagi?” Dina menggumam sambil melongok hidangan di bawah tudung saji.
            “Lihat, aku lihat, Kak!” Syafiq, adiknya, ikut-ikutan melongok ke bawah tudung saji. “Yaah…” Syafiq mendesah kecewa. Di bawah tudung saji ada ayam kukus, tumis kacang panjang dan tahu bacem, sebagai menu makan siang mereka.
            “Sudah lama sekali kita tidak makan ayam goreng, ya, Fiq?” keluh Dina. Syafiq mengangguk sedih.
            “Hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, Fiq,” ucap Dina.
            “Maksud Kakak?”
            “Kita harus demo,” bisik Dina di telinga Syafiq.
Mata Syafiq membulat. “Bakar ban, Kak?” tanyanya
Dina tertawa. Dulu mereka pernah lewat sebuah kampus saat mahasiswa sedang demo, membakar ban memprotes kenaikan BBM. Waktu itu Syafiq bertanya pada Papa, ada apa. Lalu Papa jawab, sedang ada demo. Rupanya dalam kepala Syafiq, demo itu identik dengan bakar ban.
Dina menjelaskan pada adiknya. Demo, atau kependekan dari demonstrasi, adalah ungkapan rasa kecewa karena sesuatu yang di luar harapan kita.
“Caranya bagaimana, Kak?”
Dina berbisik lagi di telinga Syafiq. Syafiq membelalak. Mogok makan? Wah, nanti lapar, dong. Walaupun Syafiq memang ingin makan ayam goreng, tapi ayam kukus buatan Mama juga enak. Masak tidak dimakan?
“Eh, kalian lagi pada ngapain? Pulang sekolah bukannya ganti baju, malah bisik-bisik dekat meja makan?” Mama datang dari belakang rumah, membawa baju-baju yang sudah kering usai dijemur. “Cepat ganti baju, lalu makan.”
Dina dan Syafiq mencium tangan Mama, lalu menuju kamar masing-masing. Setelah ganti baju, Dina langsung berbaring-baring di kasur, membaca-baca buku. Sementara Syafiq, langsung keluar kamar dan menuju meja makan. Di kamarnya, alis Dina terangkat mendengar suara denting sendok beradu dengan piring – dari ruang makan.
“Syafiiiiiiiqqqqqq!!” teriak Dina kesal. Harusnya kan, mereka mogok makan.
*
            Sorenya Dina dan Syafiq protes pada Papa.
            “Kenapa sih, Pa … akhir-akhir ini, Mama selalu masak serba kukus. Ayam, dikukus. Ikan, dikukus. Daging sudah jarang banget. Tempe tahu juga dikukus. Kami rindu ayam goreng,” keluh Dina.
            Papa terbahak.
            “Kenapa nggak bilang langsung sama Mama?”
            “Ih, sudah, Pa.”
            “Terus, jawaban Mama apa?”
            “Kata Mama, makanan yang serba kukus, itu sehat. Begitu, Pa.”
            “Nah, betul itu kata Mama.”
            “Yaah, Papa. Malah jadi pendukung Mama.”
“Sabar, ya. Nanti Papa bilang sama Mama deh, supaya sesekali bikin ayam goreng lagi. Mama kalian itu sedang diet rendah kolesterol. Sebulan lalu, Mama cek kolesterol dan ternyata kolesterol Mama cukup tinggi.”
“Koles-koles itu apa sih, Pa?” tanya Syafiq.
“Ko-les-te-rol, bukan koles-koles,” ralat Papa. “Kolesterol itu lemak jahat. Hii, kalian tahu ternyata di tubuh kita ada lemak jahat dan lemak baiknya. Lemak jahat bisa menyumbat aliran darah ke jantung.”
“Makanan yang digoreng itu minyaknya bisa jadi lemak jahat, ya, Pa?” tanya Dina.
Papa mengangguk.
“Kasihan Mama, ya,” bisik Syafiq sedih. Dina pun terdiam. Demi kesehatan Mama, rasanya makan ayam kukus setiap hari, Dina rela.
“Tidak usah sedih, kadar kolesterol Mama belum terlalu tinggi, kok. Tapi tetap harus dijaga agar tidak naik lagi,” hibur Papa.
*
            Demi mengobati rindu ayam goreng, Papa mengajak Dina dan Syafiq makan ayam goreng kremes di warung langganan. Pada Mama, mereka pamit jalan-jalan. Mama juga tidak tertarik ikut karena ada pekerjaan di dapur yang harus diselesaikan.
            Sepulang makan, mereka bertiga singgah di toko buah. Papa membeli banyak alpukat dan belimbing manis.
            “Tumben sih, Pa? Biasanya beli apel dan jeruk?” tanya Dina.
            “Ini buat Mama. Rutin mengkonsumsi alpukat dan belimbing manis, dapat menurunkan kolesterol. Itu Papa baca di internet tadi siang.”
            “Ooh … penyakit koles-koles itu, kok, obatnya enak sih, Pa?” tanya Syafiq.
            Papa tergelak.
            Sesampai di rumah, Dina dan Syafiq memberikan oleh-oleh buah pada Mama.
            “Ma, ini buah untuk Mama. Dimakan rutin, bisa menurunkan koles-koles, lho,” ucap Syafiq.
            “Apa itu koles-koles?” tanya Mama tersenyum. “Terima kasih, ya. Oh ya, waktu kalian pergi tadi, Mama masak ayam kremes, lho. Mama kasihan, kalian jarang makan ayam goreng kesukaan kalian. Nah, sekarang Mama bikinkan. Ayo, buruan makan.”
            Papa, Dina dan Syafiq saling berpandangan. Ayam kremes lagi?”**

Selasa, 03 November 2015

Naskah Gado-gado Femina


Naskah gado-gado saya baru satu yang bisa nembus Femina. Hmm, kalau yang dikirim dan ditolak sekitar lima atau enam naskah. Di siang yang panas dan nggak ada ide nulis ini, izinkan saya post ulang naskah gado-gado saya yang dimuat tahun 2012 lalu (gak kurang jadul lagi, tante...tahun 2016 sudah mau dateng niy). Yahh ... dari pada gak ada yang dipost. Bolehlah posting tulisan-tulisan lawas. Semoga bermanfaat.

Like Mother, Like Daughter
Oleh: Indah Novita Dewi

            Kebanyakan orang yang mengenal keluarga kecil kami, selalu berkomentar hal yang sama bila melihat ketiga anak kami, yaitu: ketiganya fotokopi papanya. Itu untuk kemiripan fisik (wajah). Mengenai kemiripan dalam hal sifat atau kebiasaan, aku punya cerita tersendiri, khususnya menyangkut Nina, putri sulung kami. Begini ceritanya….
Suatu saat, Nina menyanyikan sebuah lagu yang tidak pernah kudengar sebelumnya, sambil bermain-main pita.
            “…bersama denganmu…bersama denganmu…,” begitu berulang-ulang.
            Penasaran, aku pun menegurnya, “Kak, lagu siapa itu? Mama kok, nggak pernah dengar?”
            Nina pun malu-malu, “Lagu Nina sendiri.”
            “Kok, syairnya syair lagu dewasa, sih? Ngarang lagu anak-anak, dong,” saranku.
            “Jadi liriknya gimana, Ma? Ayo, bantuin aku bikin lagu,” pintanya.
            Kuhentikan sejenak aktivitas menyetrika dan melihat ia memegang pita warna ungu.
            “Bikin lagu tentang tari pita,” usulku.
            “Iyaaa, tapi bagaimana liriknya?” Nina memaksaku mengajarinya. Terpaksa  kuputar otak.
            “Hmm, begini …’mari main bersama, menari pita denganku, melayang-layang meliuk-liuk, pita warna merah ungu’...,” aku menyanyi dengan irama yang kukarang sendiri.
            Setelah beberapa kali protes dan menambah serta mengurangi lirik yang dianggapnya tidak pas, Nina kembali bermain pita sambil mendendangkan lagu ‘baru’. Aku pun melanjutkan menyetrika sambil ikut-ikutan menyenandungkan lagu ‘Tari Pita’ yang kuciptakan secara kilat. Menciptakan lagu seperti itu mudah saja bagiku, karena saat seusia Nina, aku juga hobi ‘nyanyi ngawur’.
            Satu lagi kebiasaan Nina yaitu tidak bisa diam. Salah satunya ya menari-nari pita itu, kali lain ia main ‘engklek’ di dalam rumah, atau tiba-tiba senam-senam tidak jelas. Hmm, kalau yang satu ini, mirip sekali kebiasaanku waktu kecil yaitu ‘menahan kesal’
            Hah? Apa itu?
            Waktu kecil, tiap aku capek atau merasa bosan, maka aku akan ambil posisi berdiri dan mulai lari di tempat. Aku namakan aktivitas itu dengan ‘menahan kesal’ walaupun diprotes sama kakak. Menurut kakak, tingkahku justru akan membuat tambah kesal alias capek, bukannya menahan kesal. Tapi aku cuek saja, dan kakak serta mama cuma bisa tertawa dan geleng-geleng kepala tiap aku bilang, “Aku mau menahan kesal, ah,” sambil langsung ambil posisi dan mulai lari di tempat.
            Beberapa hari yang lalu saat libur sekolah karena murid kelas enam ujian, selama tiga hari Nina sangat rajin di rumah. Ia memintaku untuk mengijinkannya menyapu, mengepel, bahkan mencuci pakaian. Kubiarkan ia melakukan semua itu, tentunya dengan memilihkan cucian yang kecil-kecil dan tidak melelahkan.
            Aku ingat, waktu seumuran Nina, aku dulu juga sering ‘minta pekerjaan’ ke simbah yang bantu-bantu di rumah.
            “Mbah, aku minta kerjaan, bosan nggak ngapa-ngapain,” begitu biasanya celotehku kepada simbah. Lalu beliaupun mengijinkan aku ikut mencuci bersamanya.
            Selain menyapu, mengepel dan mencuci, Nina juga suka membantu memasak di dapur. Yang sering ia lakukan adalah membantu mengulek sambel. Aku ingat waktu kecil juga sering ikut-ikutan ngulek bumbu, tapi ujung-ujungnya sering dimarahi mamaku karena hasil ulekan belum lembut sempurna, aku sudah lari bosan meninggalkannya.
            Selesai mengerjakan pekerjaan rumah yang dimintanya, biasanya aku menciumi Nina dan memujinya.
            Tiba-tiba Nina berkata, “Aku mau jadi pembantunya Mama saja tiap liburan, ya?”
            “Hah? Masak jadi pembantu? Nggak usah jadi pembantu, tapi bantu-bantu Mama saja,” aku mengoreksi kata-katanya.
            “Mau jadi pembantuuu,” Nina ngotot, lalu menyodorkan tangan, “jadi Nina bisa minta bayaran.”
            Hah? Aku terpana, lalu terbahak.
            “Sana, ambil uang seribu di dompet Mama,” anggukku.
            “Benar ya, Ma? Horee!” Nina kegirangan.
            Hmm, kalau membantu kemudian minta bayaran, sepertinya itu bukan diriku. Mungkin papanya dulu begitu, ya? Hahaha…mau lepas tangan, nih. Tapi aku berpikir positif saja. Nina, ternyata punya jiwa bisnis dalam usia semuda ini.
            Sekalian aku menyemangatinya, “Kalau begitu nanti saat liburan ke Malang, kamu bantu-bantu Oma, ya. Beliau pasti senang dibantu kalau cukup bayar seribu. Jadi selama liburan, Nina bisa mengumpulkan uang.”
            “Wah, ide bagus, Mama,” ucap Nina dengan mata berbinar-binar.
            Hmm, waktu kecil aku tidak terlalu suka uang, tapi giliran sudah jadi emak-emak begini, binar-binar di mata Nina itu sama persis dengan binar-binar di  mataku saat tiba-tiba dapat rejeki nomplok! Olala, like mother, like daughter!*

  

Sabtu, 31 Oktober 2015

JERA

Jera
Oleh: Kalya Innovie

            Uuh … udara sangat panas di Jogja. AC rumah sedang rusak. Nyala kipas angin tak membantu banyak mengurangi rasa gerahku. Aku masih duduk di sofa ruang tengah rumahku. Tangan memegang remote televisi dan entah sudah berapa kali kuganti channel teve. Acara televisi di siang yang panas ini sungguh-sungguh membosankan.
            “Uh, sudah gerah. Panas. Suntuk. Ini stasiun televisi gak ada yang kreatif apa yak. Acaranya kok sinetron wagu semua. Artisnya semua gak bisa akting. Mau nonton drakor, yaelah diulang-ulang mulu drama yang itu lagi, itu lagi,” gerutuku.
            “Lula, kalau bosan, matikan saja televisinya. Sana kamu tidur,” ucap seseorang yang sedari tadi menemaniku di ruang tengah, tapi diam saja merajut sesuatu.
            Nggak mikir apa yak. Gimana bisa tidur, gerah begini.
            “Aah … Lula mau jalan-jalan dulu cari angin aja ah,” seruku sambil menggeliat di kursi. Kumatikan televisi. Orang yang tadi menegurku menghentikan aktivitasnya, memandangku curiga.
            “Mau ke mana kamu?”
            “Mau keluar sebentar,” jawabku pendek. Aku ngeloyor ke kamar, meraih jaket di belakang pintu. Kaget karena ternyata orang itu mengikutiku.
            “Jangan naik motor,” ucapnya pelan namun tegas.
            “Dekat saja, kok,” bandelku. Di tangan sudah kugenggam kunci varioku.
            “Lula. Naik angkot saja, atau ojek. Mama teleponkan ojek syar’i Jogja, ya?”
            “Ih, cerewet. Lagipula Papa saja nggak pernah ngelarang aku naik motor.”
            “Khusus buat ke sekolah saja,” sergahnya.
            “Nggak peduli. Kalau mau ngelanggar peraturan kenapa gak sekalian aja,” bantahku masih keras kepala.
            Perempuan yang membahasakan dirinya dengan sebutan Mama itu diam. Wajahnya merah. Pasti dia sedang sebal padaku. Haha, biarin aja.
            “Lula, setidaknya, pakai helm-mu!” teriaknya saat aku ngeloyor ke depan rumah. Oke, oke aku pakai helm. Aku segera meninggalkan rumah dengan varioku dan tak lama sudah membelah jalan kaliurang yang ramai.
*
            Perempuan itu bernama Amirah, ibu tiriku. Ibuku sendiri meninggal dua tahun lalu. Setahun kemudian ayahku menikahi Amirah. Perawan tua yang masih tetangga kampung juga.
            Hubunganku dengan Amirah tidak terlalu baik. Kadang aku tak sopan dan memperlakukan dia seperti pembantu. Sejauh ini ia selalu sabar. Tapi kesabarannya pernah teruji ketika ayah membelikan aku vario beberapa bulan setelah mereka menikah.
            Aku sudah memperhitungkan dengan baik semuanya. Alasan Ayah menikah lagi adalah supaya aku punya teman di rumah. Ayahku pelaut yang hanya tiga bulan sekali pulang ke rumah. Sebagai teman, Amirah nggak asyik. Dan ternyata ia pernah kecelakaan motor sehingga trauma naik motor. Jadi ia tak bisa mengantarkan aku ke sekolah. Ayah tak bisa menolak permintaanku. Apalagi kondisi transportasi di Jogja turut mendukung kebutuhanku ini. Dari jalan kaliurang tempat tinggal kami, untuk menuju sekolahku di kota, hanya ada angkutan umum butut yang lewat tiap setengah jam. Kalau menggantungkan diri pada kendaraan reyot itu, aku bisa telat setiap hari. Setelah ayah, aku dan Amirah sempat adu argumentasi mengenai perlu tidaknya membeli motor, akhirnya aku yang menang.
            Ya, aku tahu sebenarnya aku belum boleh mengendarai motor. Aku baru 16 tahun. Ayah sangat ketat mengajari aku di saat cutinya. Banyak anak-anak di bawah umur naik motor tanpa pengetahuan yang cukup mengenai aturan lalu lintas. Ayahku memastikan aku tahu semuanya. Mulai dari ngapalin rambu-rambu, sampai etika berkendara di jalan raya. Selalu berikan tanda sebelum membelok, tak boleh melaju lebih kencang dari 40 km/jam di dalam kota, memberi kesempatan pada orang yang mau menyeberang, dan masih banyak lagi. Kata ayah, untuk meminimalkan pelanggaran. Padahal tidak punya SIM itu kan sudah merupakan pelanggaran berat sebenarnya. Ah, biar saja. Kurasa hampir setengah dari penduduk Jogja melakukannya. Sebagian besar teman sekolahku juga naik motor dan aku tahu pasti mereka belum tujuh belas. Pak Polisi di jalan raya juga jarang merazia anak sekolah. Kalaupun ada yang ketangkap biasanya dinasihati saja. Polisi pasti pahamlah, pemerintah belum menyediakan transportasi yang memadai untuk kami para pelajar.
            Amirah yang kesal atas konspirasi kejahatanku bersama ayah, akhirnya melunak. Tapi ia mengajukan syarat, aku hanya boleh pakai motor untuk keperluan sekolah. Makanya ia tadi tampak benar-benar marah ketika aku bandel mau cari angin pakai vario.
*
            Aku berhenti di lampu merah, menunggu lampu berubah hijau. Iseng kuperhatikan kendaraan yang melaju di sisi kanan jalan. Sekilas kulihat wajah yang kukenal melintas menuju utara. Hmm, masih memakai seragam abu-abu putih. Penasaran aku masih mengikutinya dengan pandangan mata sampai badanku berbalik 180 derajat. Astaga, motornya goyang kehilangan kendali. Lalu terdengar bunyi tumbukan keras dan motornya terguling.
            “Raisa!” teriakku tanpa sadar. Aku kebingungan hendak berbalik arah. Teman sekolahku kecelakaan! Kulihat orang mulai berkerumun. Oh, aku juga harus melihatnya. Memastikan keadaannya baik-baik saja. Walaupun ia musuhku di sekolah, tapi bagaimanapun kami ini bernasib sama. Anak-anak di bawah umur yang mengendarai motor karena keterpaksaan. Iyalah. Nggak ada yang bisa antar kami, nggak ada kendaraan umum dari pemerintah dan belum ada namanya abonemen taksi. Mahal, bok. Pakai ojek? Jasa antar jemput? Iya bisa sih sebenarnya buat aku atau Raisa karena orangtua kami mampu. Tapi bagaimana dengan teman-teman kami yang lain? Sudahlah, pokoknya aku nih lagi membuat alasan pembenaran bahwa apa yang kami lakukan tidak salah. Tapi keadaan yang memaksa.
            “Permisi …. Itu teman saya,” aku merangsek kerumunan setelah memarkir motorku di depan sebuah bank dekat tempat terjadinya kecelakaan.
            “Raisa…,” aku tertegun dan mulai panik melihat seragam putih Raisa bernoda darah. Seorang laki-laki membantu membuka helmnya. Raisa lemah dan tidak sadar.
            “Mbak temannya? Tolong hubungi keluarganya,” ujar seorang perempuan.
            “I … iyaa … tapi, saya nggak punya nomor teleponnya.”
            Aku mendekat. Dadaku berdegup kencang dan airmata mulai menetes tanpa dapat kucegah. Raisa yang suka petantang-petenteng di sekolah. Yang mulutnya dengan ringan sering mencercaku judes. Pernah juga jambak-jambakan denganku. Kini dalam kondisi tak berdaya. Dan aku nggak bisa tertawa. Aku sadar hal yang sama juga bisa menimpaku.
            “Icha … Icha … bangun, Cha,” panggilku dengan panggilan kesayangannya. Mana pernah aku memanggilnya Icha dalam kondisi normal. Nggak usah sok imut, itu yang sering kubilang padanya. Dan aku lebih sering memelesetkan namanya menjadi ‘Ra iso’, bahasa jawa yang artinya ‘nggak bisa’.
            Aku meraih tangan Raisa yang terkulai.
            “Saya … ikut PMR di sekolah,” jelasku pada lelaki yang menolong Raisa. Aku nggak dapat denyut nadinya! Aku panik dan memanggil-manggil namanya.
            “Masih hidup. Nadinya lemah,” jawab lelaki itu meredam kepanikanku. “Temannya diangkut ke rumah sakit secepatnya. Mbaknya ikut, ya. Nanti tolong diperiksa ponsel temannya. Pasti ada nomor telepon ibunya.”
            Aku mengangguk dengan badan gemetar.
            Raisa segera digotong dengan hati-hati ke sebuah mobil. Raisa dibaringkan di jok tengah. Seorang ibu yang sepertinya istri lelaki tadi, menyelimuti Raisa. Aku menerima tas Raisa dan ikut duduk di dalam mobil.
            “Eh, motor….?” tanyaku.
            “Motornya biar diurus polisi. Sudah dipanggil. Yang penting nyawa manusia dulu,” jawab lelaki yang kemudian kutahu bernama pak Rully.
            “Motor saya di depan bank,” jelasku.
            “InsyaAllah aman, Mbak. Kan ada security.”
            Kamipun melaju ke rumah sakit.
*
            Raisa segera mendapatkan pertolongan di UGD. Aku sudah mengaduk-aduk nomor telepon di ponselnya. Dan sudah menghubungi mamanya. Ketika orangtua Raisa datang, pak Rully dan istrinya, bunda Sulis menjelaskan kronologis kejadian. Aku juga menjelaskan bahwa aku kebetulan lewat dan melihat kejadian tersebut.
            “Nah, karena orangtua Raisa sudah datang, sekarang kita bisa pulang. Ayo, Lula, kami antar kau pulang dulu,” ujar Pak Rully.
            “Ambil motor dulu, Mas,” bunda Sulis mengingatkan. “Nanti, biar Pak Rully yang mengendarai motormu pulang. Kamu naik mobil saja bersama saya, ya?”
            Aku mengangguk. Tadi aku sudah banyak ngobrol dengan bunda Sulis. Mengakui bahwa aku dan Raisa sama-sama belum punya SIM. Sempat juga bertahan pada alasan pembenaranku bahwa kami naik motor karena keadaan yang memaksa.
            “Hal itu tidak bisa dipungkiri,” ucap bunda Sulis kalem. “Tapi aturan dari kepolisian dibuat demi keamanan kita juga. Usia tujuh belas itu batas, di mana seorang anak dianggap sudah mempunyai kematangan untuk dapat mengendalikan kontrol emosi saat berkendara di jalan raya, Lula.”
            “Tapi mama tiriku nggak bisa naik motor, Bun. Ayahku pergi berlayar. Kendaraan umum jalan seperti siput.”
            “Coba berbagi rezeki dengan tetangga,” usul bunda Sulis.
            “Maksudnya, Bun?”
            “Ya siapa tahu ada tetangga nggak punya kerjaan, tapi bisa naik motor. Tawarkan untuk antar jemput kamu ke sekolah. Nggak lama. Beberapa bulan lagi kamu sudah bisa ikut ujian SIM, kan?”
            Aku mengangguk setuju. Lagipula, setelah melihat sendiri kejadian kecelakaan yang menimpa Raisa, rasanya aku sudah nggak berani lagi naik motor. Memang belum saatnya bagiku dan juga Raisa untuk berkendara sendiri di jalan raya. Hmm, kalau sudah cukup umur mengurus SIM, aku akan membujuk ayah untuk mengizinkan aku mengurus SIM A.
            Mama Amirah berdiri di teras menungguku dengan raut muka cemas. Apalagi melihatku datang diantar oleh dua orang asing. Bunda Sulis segera menjelaskan semuanya dengan padat, singkat dan jelas. Bunda dan suaminya menolak secara halus tawaran Mama untuk singgah masuk ke rumah. Mereka harus segera pulang.
            Mama meraih pundakku dan mengajakku masuk ke dalam rumah.
            “Untung kamu baik-baik saja, Lula. Mama panik karena sudah lepas maghrib kamu belum pulang juga.”
            “Maafkan Lula, Ma. Oya, mulai besok, Lula mau diantar Mas Bimo. Dulu Mama pernah bilang kalau adik Mama bisa ngantar jemput Lula, kan?”
            Mama Amirah melongo. Mungkin bukan karena aku mau pakai jasa antar jemput. Tapi karena aku memanggilnya Mama. Iya, aku lelah sekali hari ini. Setelah kecelakaan Raisa, aku baru sadar bahwa Mama Amirah, adalah satu-satunya kerabat dekatku, saat ayah sedang berlayar. Jadi aku sudah harus mulai berdamai dengan kehadirannya di rumahku.
            “Kita makan, yuk, Lula? Mama sudah bikin pepes ikan nila kesukaanmu,” kata Mama Amirah tersenyum bahagia. Kulihat genangan air di matanya.
            “Iya. Aku mau mandi dulu. Gerah. Eh, tapi kok rumah sudah sejuk, ya?”
            “AC-nya sudah diperbaiki,” jelas Mama.
            Aku tersenyum. Kukecup pipi Mama sebelum aku melenggang pergi ke kamar mandi, meninggalkannya untuk memberi kesempatan ia menghapus aliran airmata haru di pipinya.**   

Blog Post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen 'Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan' #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com
COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES