Beberapa waktu lalu, naskah cerpenku dimuat di rubrik Percikan majalah Gadis. Rubrik percikan adalah rubrik yang berisi naskah cerpen singkat sekitar 500 kata. Genrenya tentu remaja dan biasanya kisah berakhir secara twist ending, atau endingnya agak mengejutkan gitu. Sempat mencoba beberapa kali njajal gawang percikan, ini naskah ke lima yang golll. Kukirim 8 Oktober 2015, dimuat pertengahan bulan Oktober 2015. Ini naskah asli dari "Bukan Habibie". Selamat membaca, ya.
Bukan
Habibi
Oleh:
Kalya Innovie
Mataku masih terpejam ketika secara refleks kuraih ponsel
yang sudah beberapa menit mengalunkan “Knock Me Out” dari Afgan. Uuh … siapa
sih yang rese banget malam-malam buta menelepon? Tak lama setelah kugeser
penanda hijau ke merah di ponselku, suara cempreng menampar telingaku dari
ujung telepon.
“Winaaa … lama amat ngangkatnya,” suara Mia, teman
sebangkuku di kelas.
“Maaf, aku sudah tidur,” sahutku mengucap maaf dengan
maksud menyindir Mia.
“Oh, nggak papa. Sekarang sudah melek? Aku ada berita
penting.”
“Berita apa?” tanyaku malas.
“Aku sekarang tahu kenapa Vino selalu bilang aku jelek.”
“Kenapa, Mi?”
“Aku tahu karena aku baru nemenin tanteku nonton film
lama. Film Ainun-Habibi.”
“Tolong dipersingkat saja deh, Mi. Kalau bertele-tele,
aku nggak mudeng.”
“Ih, Wina. Masak kamu nggak tahu? Di film itu, pak Habibi
yang masih remaja selalu meledek bu Ainun jelek, item. Padahal itu sebenarnya
wujud kecanggungan pak Habibi saja. Padahal pak Habibi tu naksir bu Ainun.”
Mataku benar-benar melek sekarang.
“Jadi maksud kamu?”
“Maksudku, Vino pasti naksir aku. Cuma karena dia
canggung, gugup, jadi dia selalu meledek aku jelek. Kamu tahu nggak? Aku jadi
lega banget habis nonton film ini. Sekarang aku mau tidur dulu. Daa …!”
***
Aku masih terkantuk-kantuk mendengarkan sekali lagi teori
cinta a la Habibi dari mulut Mia. Tadi malam aku nggak bisa tidur lagi, lalu
aku rampungkan saja buku “Bumi” karya Tere Liye yang siangnya baru aku pinjam
dari perpustakaan. Akibatnya sekarang aku ngantuk.
Mia masih nyerocos ketika Vino masuk ke kelas kami. Aku
tau ia mencari Clarissa. Tapi Claris sedang tidak masuk.
“Hai, ganteng…,” sapa Mia senyum-senyum.
“Hai, jelek,” sahut Vino cuek, seperti biasa.
Alih-alih cemberut dan ngedumel kayak biasanya, kali ini
Mia terbahak mendengar jawaban Vino, lalu dengan centil menepuk bahu Vino.
“Ih, Vino gitu deh, sukanya. Jangan nggak jujur sama
perasaanmu sendiri…,” rajuk Mia, lalu ngikik kayak miss kunti.
Vino melongo dan terlihat agak ngeri dengan reaksi Mia
yang lain dari biasa.
“Claris mana, Win?” tanyanya padaku, tak mau lama-lama
menatap Mia yang masih cari-cari perhatian. Aku segera menjelaskan tentang
Clarissa yang tidak masuk. Vino buru-buru meninggalkan kelas kami setelah
mendengarkan penjelasanku. Sepeninggal Vino, Mia kembali membeberkan teori
cinta a la Habibi. Tapi aku punya pendapat sendiri. Walau tak menguasai teori
cinta manapun, dari tatapan mata Vino saja, aku bisa paham kalau dia naksir
Clarissa, bukan Mia. Tapi aku nggak mau merusak euforia Mia, jadi aku diam
saja.
***
“Hai, cantik … sudah sembuh bener, ya?” sapa Vino pada
Clarissa. Hmm, pradugaku 99% sudah mendekati kebenaran. Setiap jam istirahat
Vino selalu masuk kelasku untuk nyari Clarissa. Visi dan misinya terdeteksi dengan
jelas. Cuma, selalu ada satu orang yang buta.
“Hai, Vino ganteng…,” walau nggak disapa, Mia tetep aja
nyamber.
“Hai, jelek,” balas Vino pendek dengan muka lempeng.
Clarissa tertawa.
“Kalian itu nggak ada capeknya bertengkar. Yuk, kita ke
kantin. Vino janji mau nraktir kita bertiga, lho,” ajak Clarissa tersenyum
manis.
“Dalam rangka apa, Cla?” tanyaku.
“Emh … kemarin kami jadian,” jawab Clarissa dengan pipi
memerah.
Clarissa dan Vino duluan ke kantin. Aku janji akan
menyusul bersama Mia. Aku harus menghibur Mia yang syok mendengar berita dari
Clarissa.
“Mi … sabar, ya, Mi. Maaf, nggak mengingatkan kamu
tentang teori Habibi. Satu yang kamu perlu sadari, Vino itu bukan Habibi. Dan
untuk teori cinta, tiap orang punya formula yang berbeda.”
“Jadi … ternyata benar ya, Wina?” tanya Mia mengandung
isak.
“Apanya yang benar?”
“Benar aku ini jelek?” tangis Mia pecah.
Aku memeluknya. Sepertinya perlu waktu lebih lama untuk
menyusul Vino dan Clarissa ke kantin.***
Baru tahu ada teori cinta ala Habibi ttg ungkapan jelek artinya naksir he he he...Bukan Sukarno juga sepertinya mbak Ind.. Apik ceritanya, tutur sederhana tapi mengena. Kapan ada cerita bukan Sulis? ...sukses ya jeng!
BalasHapusMakasih sudah singgah ya, Bunsul. Ini terinspirasi salah satu adegan dalam film Habibie-Ainun, Bun :)
BalasHapusLucu ... pengen bikin tulisan kayak gini deh mbak. Remaja unyu2, hihihi.
BalasHapusHihihi...ayo mbak dicoba, biar kita ketularan unyu
Hapusbagus, pingin belajar bikin twist ending nih
BalasHapusbisa dilakukan dengan memikirkan twistnya dulu. misalnya sudah bikin cerpen, lalu kita berpikir seperti pembaca, ah ini pasti endingnya seperti ini. nah, lalu tinggal bikin ending yang jauh berbeda, jadilah twist.
Hapuskamu memang berbakat say :)
BalasHapusperlu diasah terus mbakk
Hapusperlu diasah terus mbakk
HapusMbak, boleh numpang tanya? Kalau mau ngirim percikan ke majalan Gadis syaratnya apa ya? Sama emailnya apa?
BalasHapusKirim langsung saja naskah pendek sekitar 500 kata, TNR 12 spasi 2, ke gadis.redaksi@feminagroup.com
HapusSemoga sukses
suka sama ceritanya, Mbak...
BalasHapussederhana tapi seru..
:)
Makasih ya, sudah singgah... :)
HapusMakasih ya, sudah singgah... :)
Hapus