Selasa, 03 November 2015

Naskah Gado-gado Femina


Naskah gado-gado saya baru satu yang bisa nembus Femina. Hmm, kalau yang dikirim dan ditolak sekitar lima atau enam naskah. Di siang yang panas dan nggak ada ide nulis ini, izinkan saya post ulang naskah gado-gado saya yang dimuat tahun 2012 lalu (gak kurang jadul lagi, tante...tahun 2016 sudah mau dateng niy). Yahh ... dari pada gak ada yang dipost. Bolehlah posting tulisan-tulisan lawas. Semoga bermanfaat.

Like Mother, Like Daughter
Oleh: Indah Novita Dewi

            Kebanyakan orang yang mengenal keluarga kecil kami, selalu berkomentar hal yang sama bila melihat ketiga anak kami, yaitu: ketiganya fotokopi papanya. Itu untuk kemiripan fisik (wajah). Mengenai kemiripan dalam hal sifat atau kebiasaan, aku punya cerita tersendiri, khususnya menyangkut Nina, putri sulung kami. Begini ceritanya….
Suatu saat, Nina menyanyikan sebuah lagu yang tidak pernah kudengar sebelumnya, sambil bermain-main pita.
            “…bersama denganmu…bersama denganmu…,” begitu berulang-ulang.
            Penasaran, aku pun menegurnya, “Kak, lagu siapa itu? Mama kok, nggak pernah dengar?”
            Nina pun malu-malu, “Lagu Nina sendiri.”
            “Kok, syairnya syair lagu dewasa, sih? Ngarang lagu anak-anak, dong,” saranku.
            “Jadi liriknya gimana, Ma? Ayo, bantuin aku bikin lagu,” pintanya.
            Kuhentikan sejenak aktivitas menyetrika dan melihat ia memegang pita warna ungu.
            “Bikin lagu tentang tari pita,” usulku.
            “Iyaaa, tapi bagaimana liriknya?” Nina memaksaku mengajarinya. Terpaksa  kuputar otak.
            “Hmm, begini …’mari main bersama, menari pita denganku, melayang-layang meliuk-liuk, pita warna merah ungu’...,” aku menyanyi dengan irama yang kukarang sendiri.
            Setelah beberapa kali protes dan menambah serta mengurangi lirik yang dianggapnya tidak pas, Nina kembali bermain pita sambil mendendangkan lagu ‘baru’. Aku pun melanjutkan menyetrika sambil ikut-ikutan menyenandungkan lagu ‘Tari Pita’ yang kuciptakan secara kilat. Menciptakan lagu seperti itu mudah saja bagiku, karena saat seusia Nina, aku juga hobi ‘nyanyi ngawur’.
            Satu lagi kebiasaan Nina yaitu tidak bisa diam. Salah satunya ya menari-nari pita itu, kali lain ia main ‘engklek’ di dalam rumah, atau tiba-tiba senam-senam tidak jelas. Hmm, kalau yang satu ini, mirip sekali kebiasaanku waktu kecil yaitu ‘menahan kesal’
            Hah? Apa itu?
            Waktu kecil, tiap aku capek atau merasa bosan, maka aku akan ambil posisi berdiri dan mulai lari di tempat. Aku namakan aktivitas itu dengan ‘menahan kesal’ walaupun diprotes sama kakak. Menurut kakak, tingkahku justru akan membuat tambah kesal alias capek, bukannya menahan kesal. Tapi aku cuek saja, dan kakak serta mama cuma bisa tertawa dan geleng-geleng kepala tiap aku bilang, “Aku mau menahan kesal, ah,” sambil langsung ambil posisi dan mulai lari di tempat.
            Beberapa hari yang lalu saat libur sekolah karena murid kelas enam ujian, selama tiga hari Nina sangat rajin di rumah. Ia memintaku untuk mengijinkannya menyapu, mengepel, bahkan mencuci pakaian. Kubiarkan ia melakukan semua itu, tentunya dengan memilihkan cucian yang kecil-kecil dan tidak melelahkan.
            Aku ingat, waktu seumuran Nina, aku dulu juga sering ‘minta pekerjaan’ ke simbah yang bantu-bantu di rumah.
            “Mbah, aku minta kerjaan, bosan nggak ngapa-ngapain,” begitu biasanya celotehku kepada simbah. Lalu beliaupun mengijinkan aku ikut mencuci bersamanya.
            Selain menyapu, mengepel dan mencuci, Nina juga suka membantu memasak di dapur. Yang sering ia lakukan adalah membantu mengulek sambel. Aku ingat waktu kecil juga sering ikut-ikutan ngulek bumbu, tapi ujung-ujungnya sering dimarahi mamaku karena hasil ulekan belum lembut sempurna, aku sudah lari bosan meninggalkannya.
            Selesai mengerjakan pekerjaan rumah yang dimintanya, biasanya aku menciumi Nina dan memujinya.
            Tiba-tiba Nina berkata, “Aku mau jadi pembantunya Mama saja tiap liburan, ya?”
            “Hah? Masak jadi pembantu? Nggak usah jadi pembantu, tapi bantu-bantu Mama saja,” aku mengoreksi kata-katanya.
            “Mau jadi pembantuuu,” Nina ngotot, lalu menyodorkan tangan, “jadi Nina bisa minta bayaran.”
            Hah? Aku terpana, lalu terbahak.
            “Sana, ambil uang seribu di dompet Mama,” anggukku.
            “Benar ya, Ma? Horee!” Nina kegirangan.
            Hmm, kalau membantu kemudian minta bayaran, sepertinya itu bukan diriku. Mungkin papanya dulu begitu, ya? Hahaha…mau lepas tangan, nih. Tapi aku berpikir positif saja. Nina, ternyata punya jiwa bisnis dalam usia semuda ini.
            Sekalian aku menyemangatinya, “Kalau begitu nanti saat liburan ke Malang, kamu bantu-bantu Oma, ya. Beliau pasti senang dibantu kalau cukup bayar seribu. Jadi selama liburan, Nina bisa mengumpulkan uang.”
            “Wah, ide bagus, Mama,” ucap Nina dengan mata berbinar-binar.
            Hmm, waktu kecil aku tidak terlalu suka uang, tapi giliran sudah jadi emak-emak begini, binar-binar di mata Nina itu sama persis dengan binar-binar di  mataku saat tiba-tiba dapat rejeki nomplok! Olala, like mother, like daughter!*

  

2 komentar:

  1. Tetap bermanfaat, Mbak. Saya pada dikembalikan itu. Hikz.

    BalasHapus
    Balasan
    1. nulis terus mbak ... sambil membaca yang sudah dimuat supaya dapat feelnya

      Hapus

COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES