Naskah gado-gado saya baru satu yang bisa nembus Femina. Hmm, kalau yang dikirim dan ditolak sekitar lima atau enam naskah. Di siang yang panas dan nggak ada ide nulis ini, izinkan saya post ulang naskah gado-gado saya yang dimuat tahun 2012 lalu (gak kurang jadul lagi, tante...tahun 2016 sudah mau dateng niy). Yahh ... dari pada gak ada yang dipost. Bolehlah posting tulisan-tulisan lawas. Semoga bermanfaat.
Like
Mother, Like Daughter
Oleh:
Indah Novita Dewi
Kebanyakan orang yang mengenal keluarga kecil kami,
selalu berkomentar hal yang sama bila melihat ketiga anak kami, yaitu:
ketiganya fotokopi papanya. Itu untuk kemiripan fisik (wajah). Mengenai kemiripan
dalam hal sifat atau kebiasaan, aku punya cerita tersendiri, khususnya
menyangkut Nina, putri sulung kami. Begini ceritanya….
Suatu
saat, Nina menyanyikan sebuah lagu yang tidak pernah kudengar sebelumnya,
sambil bermain-main pita.
“…bersama denganmu…bersama denganmu…,” begitu
berulang-ulang.
Penasaran, aku pun menegurnya, “Kak, lagu siapa itu? Mama
kok, nggak pernah dengar?”
Nina pun malu-malu, “Lagu Nina sendiri.”
“Kok, syairnya syair lagu dewasa, sih? Ngarang lagu
anak-anak, dong,” saranku.
“Jadi liriknya gimana, Ma? Ayo, bantuin aku bikin lagu,”
pintanya.
Kuhentikan sejenak aktivitas menyetrika dan melihat ia
memegang pita warna ungu.
“Bikin lagu tentang tari pita,” usulku.
“Iyaaa, tapi bagaimana liriknya?” Nina memaksaku
mengajarinya. Terpaksa kuputar otak.
“Hmm, begini …’mari main bersama, menari pita denganku,
melayang-layang meliuk-liuk, pita warna merah ungu’...,” aku menyanyi dengan
irama yang kukarang sendiri.
Setelah beberapa kali protes dan menambah serta
mengurangi lirik yang dianggapnya tidak pas, Nina kembali bermain pita sambil
mendendangkan lagu ‘baru’. Aku pun melanjutkan menyetrika sambil ikut-ikutan
menyenandungkan lagu ‘Tari Pita’ yang kuciptakan secara kilat. Menciptakan lagu
seperti itu mudah saja bagiku, karena saat seusia Nina, aku juga hobi ‘nyanyi
ngawur’.
Satu lagi kebiasaan Nina yaitu tidak bisa diam. Salah
satunya ya menari-nari pita itu, kali lain ia main ‘engklek’ di dalam rumah,
atau tiba-tiba senam-senam tidak jelas. Hmm, kalau yang satu ini, mirip sekali
kebiasaanku waktu kecil yaitu ‘menahan kesal’
Hah? Apa itu?
Waktu kecil, tiap aku capek atau merasa bosan, maka aku
akan ambil posisi berdiri dan mulai lari di tempat. Aku namakan aktivitas itu
dengan ‘menahan kesal’ walaupun diprotes sama kakak. Menurut kakak, tingkahku
justru akan membuat tambah kesal alias capek, bukannya menahan kesal. Tapi aku
cuek saja, dan kakak serta mama cuma bisa tertawa dan geleng-geleng kepala tiap
aku bilang, “Aku mau menahan kesal, ah,” sambil langsung ambil posisi dan mulai
lari di tempat.
Beberapa hari yang lalu saat libur sekolah karena murid
kelas enam ujian, selama tiga hari Nina sangat rajin di rumah. Ia memintaku
untuk mengijinkannya menyapu, mengepel, bahkan mencuci pakaian. Kubiarkan ia
melakukan semua itu, tentunya dengan memilihkan cucian yang kecil-kecil dan
tidak melelahkan.
Aku ingat, waktu seumuran Nina, aku dulu juga sering
‘minta pekerjaan’ ke simbah yang bantu-bantu di rumah.
“Mbah, aku minta kerjaan, bosan nggak ngapa-ngapain,”
begitu biasanya celotehku kepada simbah. Lalu beliaupun mengijinkan aku ikut
mencuci bersamanya.
Selain menyapu, mengepel dan mencuci, Nina juga suka
membantu memasak di dapur. Yang sering ia lakukan adalah membantu mengulek
sambel. Aku ingat waktu kecil juga sering ikut-ikutan ngulek bumbu, tapi
ujung-ujungnya sering dimarahi mamaku karena hasil ulekan belum lembut
sempurna, aku sudah lari bosan meninggalkannya.
Selesai mengerjakan pekerjaan rumah yang dimintanya, biasanya
aku menciumi Nina dan memujinya.
Tiba-tiba Nina berkata, “Aku mau jadi pembantunya Mama
saja tiap liburan, ya?”
“Hah? Masak jadi pembantu? Nggak usah jadi pembantu, tapi
bantu-bantu Mama saja,” aku mengoreksi kata-katanya.
“Mau jadi pembantuuu,” Nina ngotot, lalu menyodorkan
tangan, “jadi Nina bisa minta bayaran.”
Hah? Aku terpana, lalu terbahak.
“Sana, ambil uang seribu di dompet Mama,” anggukku.
“Benar ya, Ma? Horee!” Nina kegirangan.
Hmm, kalau membantu kemudian minta bayaran, sepertinya
itu bukan diriku. Mungkin papanya dulu begitu, ya? Hahaha…mau lepas tangan,
nih. Tapi aku berpikir positif saja. Nina, ternyata punya jiwa bisnis dalam
usia semuda ini.
Sekalian aku menyemangatinya, “Kalau begitu nanti saat
liburan ke Malang, kamu bantu-bantu Oma, ya. Beliau pasti senang dibantu kalau cukup
bayar seribu. Jadi selama liburan, Nina bisa mengumpulkan uang.”
“Wah, ide bagus, Mama,” ucap Nina dengan mata
berbinar-binar.
Hmm, waktu kecil aku tidak terlalu suka uang, tapi
giliran sudah jadi emak-emak begini, binar-binar di mata Nina itu sama persis
dengan binar-binar di mataku saat
tiba-tiba dapat rejeki nomplok! Olala, like
mother, like daughter!*
Tetap bermanfaat, Mbak. Saya pada dikembalikan itu. Hikz.
BalasHapusnulis terus mbak ... sambil membaca yang sudah dimuat supaya dapat feelnya
Hapus