Sabtu, 31 Oktober 2015

JERA

Jera
Oleh: Kalya Innovie

            Uuh … udara sangat panas di Jogja. AC rumah sedang rusak. Nyala kipas angin tak membantu banyak mengurangi rasa gerahku. Aku masih duduk di sofa ruang tengah rumahku. Tangan memegang remote televisi dan entah sudah berapa kali kuganti channel teve. Acara televisi di siang yang panas ini sungguh-sungguh membosankan.
            “Uh, sudah gerah. Panas. Suntuk. Ini stasiun televisi gak ada yang kreatif apa yak. Acaranya kok sinetron wagu semua. Artisnya semua gak bisa akting. Mau nonton drakor, yaelah diulang-ulang mulu drama yang itu lagi, itu lagi,” gerutuku.
            “Lula, kalau bosan, matikan saja televisinya. Sana kamu tidur,” ucap seseorang yang sedari tadi menemaniku di ruang tengah, tapi diam saja merajut sesuatu.
            Nggak mikir apa yak. Gimana bisa tidur, gerah begini.
            “Aah … Lula mau jalan-jalan dulu cari angin aja ah,” seruku sambil menggeliat di kursi. Kumatikan televisi. Orang yang tadi menegurku menghentikan aktivitasnya, memandangku curiga.
            “Mau ke mana kamu?”
            “Mau keluar sebentar,” jawabku pendek. Aku ngeloyor ke kamar, meraih jaket di belakang pintu. Kaget karena ternyata orang itu mengikutiku.
            “Jangan naik motor,” ucapnya pelan namun tegas.
            “Dekat saja, kok,” bandelku. Di tangan sudah kugenggam kunci varioku.
            “Lula. Naik angkot saja, atau ojek. Mama teleponkan ojek syar’i Jogja, ya?”
            “Ih, cerewet. Lagipula Papa saja nggak pernah ngelarang aku naik motor.”
            “Khusus buat ke sekolah saja,” sergahnya.
            “Nggak peduli. Kalau mau ngelanggar peraturan kenapa gak sekalian aja,” bantahku masih keras kepala.
            Perempuan yang membahasakan dirinya dengan sebutan Mama itu diam. Wajahnya merah. Pasti dia sedang sebal padaku. Haha, biarin aja.
            “Lula, setidaknya, pakai helm-mu!” teriaknya saat aku ngeloyor ke depan rumah. Oke, oke aku pakai helm. Aku segera meninggalkan rumah dengan varioku dan tak lama sudah membelah jalan kaliurang yang ramai.
*
            Perempuan itu bernama Amirah, ibu tiriku. Ibuku sendiri meninggal dua tahun lalu. Setahun kemudian ayahku menikahi Amirah. Perawan tua yang masih tetangga kampung juga.
            Hubunganku dengan Amirah tidak terlalu baik. Kadang aku tak sopan dan memperlakukan dia seperti pembantu. Sejauh ini ia selalu sabar. Tapi kesabarannya pernah teruji ketika ayah membelikan aku vario beberapa bulan setelah mereka menikah.
            Aku sudah memperhitungkan dengan baik semuanya. Alasan Ayah menikah lagi adalah supaya aku punya teman di rumah. Ayahku pelaut yang hanya tiga bulan sekali pulang ke rumah. Sebagai teman, Amirah nggak asyik. Dan ternyata ia pernah kecelakaan motor sehingga trauma naik motor. Jadi ia tak bisa mengantarkan aku ke sekolah. Ayah tak bisa menolak permintaanku. Apalagi kondisi transportasi di Jogja turut mendukung kebutuhanku ini. Dari jalan kaliurang tempat tinggal kami, untuk menuju sekolahku di kota, hanya ada angkutan umum butut yang lewat tiap setengah jam. Kalau menggantungkan diri pada kendaraan reyot itu, aku bisa telat setiap hari. Setelah ayah, aku dan Amirah sempat adu argumentasi mengenai perlu tidaknya membeli motor, akhirnya aku yang menang.
            Ya, aku tahu sebenarnya aku belum boleh mengendarai motor. Aku baru 16 tahun. Ayah sangat ketat mengajari aku di saat cutinya. Banyak anak-anak di bawah umur naik motor tanpa pengetahuan yang cukup mengenai aturan lalu lintas. Ayahku memastikan aku tahu semuanya. Mulai dari ngapalin rambu-rambu, sampai etika berkendara di jalan raya. Selalu berikan tanda sebelum membelok, tak boleh melaju lebih kencang dari 40 km/jam di dalam kota, memberi kesempatan pada orang yang mau menyeberang, dan masih banyak lagi. Kata ayah, untuk meminimalkan pelanggaran. Padahal tidak punya SIM itu kan sudah merupakan pelanggaran berat sebenarnya. Ah, biar saja. Kurasa hampir setengah dari penduduk Jogja melakukannya. Sebagian besar teman sekolahku juga naik motor dan aku tahu pasti mereka belum tujuh belas. Pak Polisi di jalan raya juga jarang merazia anak sekolah. Kalaupun ada yang ketangkap biasanya dinasihati saja. Polisi pasti pahamlah, pemerintah belum menyediakan transportasi yang memadai untuk kami para pelajar.
            Amirah yang kesal atas konspirasi kejahatanku bersama ayah, akhirnya melunak. Tapi ia mengajukan syarat, aku hanya boleh pakai motor untuk keperluan sekolah. Makanya ia tadi tampak benar-benar marah ketika aku bandel mau cari angin pakai vario.
*
            Aku berhenti di lampu merah, menunggu lampu berubah hijau. Iseng kuperhatikan kendaraan yang melaju di sisi kanan jalan. Sekilas kulihat wajah yang kukenal melintas menuju utara. Hmm, masih memakai seragam abu-abu putih. Penasaran aku masih mengikutinya dengan pandangan mata sampai badanku berbalik 180 derajat. Astaga, motornya goyang kehilangan kendali. Lalu terdengar bunyi tumbukan keras dan motornya terguling.
            “Raisa!” teriakku tanpa sadar. Aku kebingungan hendak berbalik arah. Teman sekolahku kecelakaan! Kulihat orang mulai berkerumun. Oh, aku juga harus melihatnya. Memastikan keadaannya baik-baik saja. Walaupun ia musuhku di sekolah, tapi bagaimanapun kami ini bernasib sama. Anak-anak di bawah umur yang mengendarai motor karena keterpaksaan. Iyalah. Nggak ada yang bisa antar kami, nggak ada kendaraan umum dari pemerintah dan belum ada namanya abonemen taksi. Mahal, bok. Pakai ojek? Jasa antar jemput? Iya bisa sih sebenarnya buat aku atau Raisa karena orangtua kami mampu. Tapi bagaimana dengan teman-teman kami yang lain? Sudahlah, pokoknya aku nih lagi membuat alasan pembenaran bahwa apa yang kami lakukan tidak salah. Tapi keadaan yang memaksa.
            “Permisi …. Itu teman saya,” aku merangsek kerumunan setelah memarkir motorku di depan sebuah bank dekat tempat terjadinya kecelakaan.
            “Raisa…,” aku tertegun dan mulai panik melihat seragam putih Raisa bernoda darah. Seorang laki-laki membantu membuka helmnya. Raisa lemah dan tidak sadar.
            “Mbak temannya? Tolong hubungi keluarganya,” ujar seorang perempuan.
            “I … iyaa … tapi, saya nggak punya nomor teleponnya.”
            Aku mendekat. Dadaku berdegup kencang dan airmata mulai menetes tanpa dapat kucegah. Raisa yang suka petantang-petenteng di sekolah. Yang mulutnya dengan ringan sering mencercaku judes. Pernah juga jambak-jambakan denganku. Kini dalam kondisi tak berdaya. Dan aku nggak bisa tertawa. Aku sadar hal yang sama juga bisa menimpaku.
            “Icha … Icha … bangun, Cha,” panggilku dengan panggilan kesayangannya. Mana pernah aku memanggilnya Icha dalam kondisi normal. Nggak usah sok imut, itu yang sering kubilang padanya. Dan aku lebih sering memelesetkan namanya menjadi ‘Ra iso’, bahasa jawa yang artinya ‘nggak bisa’.
            Aku meraih tangan Raisa yang terkulai.
            “Saya … ikut PMR di sekolah,” jelasku pada lelaki yang menolong Raisa. Aku nggak dapat denyut nadinya! Aku panik dan memanggil-manggil namanya.
            “Masih hidup. Nadinya lemah,” jawab lelaki itu meredam kepanikanku. “Temannya diangkut ke rumah sakit secepatnya. Mbaknya ikut, ya. Nanti tolong diperiksa ponsel temannya. Pasti ada nomor telepon ibunya.”
            Aku mengangguk dengan badan gemetar.
            Raisa segera digotong dengan hati-hati ke sebuah mobil. Raisa dibaringkan di jok tengah. Seorang ibu yang sepertinya istri lelaki tadi, menyelimuti Raisa. Aku menerima tas Raisa dan ikut duduk di dalam mobil.
            “Eh, motor….?” tanyaku.
            “Motornya biar diurus polisi. Sudah dipanggil. Yang penting nyawa manusia dulu,” jawab lelaki yang kemudian kutahu bernama pak Rully.
            “Motor saya di depan bank,” jelasku.
            “InsyaAllah aman, Mbak. Kan ada security.”
            Kamipun melaju ke rumah sakit.
*
            Raisa segera mendapatkan pertolongan di UGD. Aku sudah mengaduk-aduk nomor telepon di ponselnya. Dan sudah menghubungi mamanya. Ketika orangtua Raisa datang, pak Rully dan istrinya, bunda Sulis menjelaskan kronologis kejadian. Aku juga menjelaskan bahwa aku kebetulan lewat dan melihat kejadian tersebut.
            “Nah, karena orangtua Raisa sudah datang, sekarang kita bisa pulang. Ayo, Lula, kami antar kau pulang dulu,” ujar Pak Rully.
            “Ambil motor dulu, Mas,” bunda Sulis mengingatkan. “Nanti, biar Pak Rully yang mengendarai motormu pulang. Kamu naik mobil saja bersama saya, ya?”
            Aku mengangguk. Tadi aku sudah banyak ngobrol dengan bunda Sulis. Mengakui bahwa aku dan Raisa sama-sama belum punya SIM. Sempat juga bertahan pada alasan pembenaranku bahwa kami naik motor karena keadaan yang memaksa.
            “Hal itu tidak bisa dipungkiri,” ucap bunda Sulis kalem. “Tapi aturan dari kepolisian dibuat demi keamanan kita juga. Usia tujuh belas itu batas, di mana seorang anak dianggap sudah mempunyai kematangan untuk dapat mengendalikan kontrol emosi saat berkendara di jalan raya, Lula.”
            “Tapi mama tiriku nggak bisa naik motor, Bun. Ayahku pergi berlayar. Kendaraan umum jalan seperti siput.”
            “Coba berbagi rezeki dengan tetangga,” usul bunda Sulis.
            “Maksudnya, Bun?”
            “Ya siapa tahu ada tetangga nggak punya kerjaan, tapi bisa naik motor. Tawarkan untuk antar jemput kamu ke sekolah. Nggak lama. Beberapa bulan lagi kamu sudah bisa ikut ujian SIM, kan?”
            Aku mengangguk setuju. Lagipula, setelah melihat sendiri kejadian kecelakaan yang menimpa Raisa, rasanya aku sudah nggak berani lagi naik motor. Memang belum saatnya bagiku dan juga Raisa untuk berkendara sendiri di jalan raya. Hmm, kalau sudah cukup umur mengurus SIM, aku akan membujuk ayah untuk mengizinkan aku mengurus SIM A.
            Mama Amirah berdiri di teras menungguku dengan raut muka cemas. Apalagi melihatku datang diantar oleh dua orang asing. Bunda Sulis segera menjelaskan semuanya dengan padat, singkat dan jelas. Bunda dan suaminya menolak secara halus tawaran Mama untuk singgah masuk ke rumah. Mereka harus segera pulang.
            Mama meraih pundakku dan mengajakku masuk ke dalam rumah.
            “Untung kamu baik-baik saja, Lula. Mama panik karena sudah lepas maghrib kamu belum pulang juga.”
            “Maafkan Lula, Ma. Oya, mulai besok, Lula mau diantar Mas Bimo. Dulu Mama pernah bilang kalau adik Mama bisa ngantar jemput Lula, kan?”
            Mama Amirah melongo. Mungkin bukan karena aku mau pakai jasa antar jemput. Tapi karena aku memanggilnya Mama. Iya, aku lelah sekali hari ini. Setelah kecelakaan Raisa, aku baru sadar bahwa Mama Amirah, adalah satu-satunya kerabat dekatku, saat ayah sedang berlayar. Jadi aku sudah harus mulai berdamai dengan kehadirannya di rumahku.
            “Kita makan, yuk, Lula? Mama sudah bikin pepes ikan nila kesukaanmu,” kata Mama Amirah tersenyum bahagia. Kulihat genangan air di matanya.
            “Iya. Aku mau mandi dulu. Gerah. Eh, tapi kok rumah sudah sejuk, ya?”
            “AC-nya sudah diperbaiki,” jelas Mama.
            Aku tersenyum. Kukecup pipi Mama sebelum aku melenggang pergi ke kamar mandi, meninggalkannya untuk memberi kesempatan ia menghapus aliran airmata haru di pipinya.**   

Blog Post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen 'Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan' #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com

1 komentar:

  1. Agen Slot Terbaik

    Agen Situs Terbaik
    Situs Agen Judi Online
    https://bit.ly/2ENk1VF

    Yuk Gabung Bersama Kami Sekarang Dan Nikmati Berbagai Macam Bonus Menarik Lain Nya Seperti:

    *Bonus New Member 120%
    * Bonus New Member 20% Khusus Poker
    * Bonus Referral
    *Bonus Rollingan Casino Hingga 0.8%
    *Bonus 5% setiap hari
    Info Lebih Lanjut Bisa Hub kami Di :
    WA : 081358840484
    BBM : 88CSNMANTAP
    Facebook : 88Csn
    -www.jeruk88.com

    BalasHapus

COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES