Minggu, 31 Januari 2016

Berpura-pura Menjadi Sebuah Benda: Daster Lusuh

Tahun lalu saya ikut sebuah tantangan 30 hari menulis, dengan tema yang telah ditentukan tiap harinya. Wuih, nggak sukses deh...terpontal-pontal mengejarnya. Tapi ada beberapa juga tulisan yang jadi, dan ini salah satunya. Temanya berpura-pura menjadi sebuah benda dan menceritakan sesuatu dengan sudut pandang benda itu.

Gambar dari google


"DASTER LUSUH"

Hai, kenalkan, aku daster lusuh. Aku masih mengingat pertama aku diproduksi. Motifku bunga-bunga dan warnaku cerah ceria. Aku terbuat dari bahan yang adem. Dijahit dengan lengan pendek dengan panjang rok di bawah lutut. Saat dipajang di toko, banyak tangan yang mengelusku. Lalu suatu saat aku dilipat, dibungkus, lalu aku menikmati perjalanan pertamaku keluar dari dunia toko menuju ke sebuah rumah.

"Horeee...daster baru!" teriak perempuan muda menangkapku. "Terima kasih, Sayang!" perempuan muda itu mengecup lelaki muda yang memberinya daster.

Sejak saat itu, aku akrab membungkus tubuh mungil si perempuan. Ia sangat senang memakaiku sehingga aku sering sekali dipakai. Aku akan dipakai, lalu dilepas untuk direndam dalam sabun yang wangi. Setelah dikucek dan dibilas, aku direndam dalam larutan wangi. Dalam keadaan harum, aku akan dijemur di tiang jemuran di luar rumah. Senangnya berayun-ayun ditiup angin, dihangati matahari. Setelah kering, aku diseterika lalu biasanya tak sampai dilipat, aku sudah dipakai lagi.

Itulah sebabnya tak lama aku sudah menjadi lusuh. Warnaku memudar.

Suatu saat aku dikemas dan dijejalkan ke sebuah tas bersama pakaian yang lain. Mau kemana kita? Riuh kami bertanya-tanya. Sepertinya si perempuan muda mau camping dan ia membawaku serta.

Wew, aku akan melihat dunia luar. Eh, tapi pastinya aku hanya dipakai saat dia tidur. Mungkin tetap saja aku nggak akan jalan-jalan jauh. Tapi lumayanlah bisa lihat pemandangan lain selain rumah Mbak Syera, nama pemilikku itu.

Wuuh...ternyata ada ya, tempat yang udaranya sedingin ini. Mbak Syera pergi ke wilayah lereng gunung Merapi untuk camping. Ia menginap di rumah penduduk, bersama teman-temannya. Saat malam tiba, ia tetap setia memakaiku, tapi melapisiku dengan jaket tebal. Dan ia memakai celana leging agak panjang.

"Daster butut juga dibawa?" komentar teman Mbak Syera. Tapi Mbak Syera hanya tersenyum saja.

Wah, ada yang beda di sini! Suatu pagi, Mbak Syera membawaku menuruni jalan setapak. Ternyata dia membawaku untuk dicuci. Tapi nyucinya di sungai! Wuuh, aku baru pertama melihat sungai secara live! Dan merasakan dinginnya air pegunungan. Mak nyesss di tubuhku.

Wah, wah, wah...batu sungainya licin! Mbak Syera mau kepleset! Ups, awas jatuh Mbak...Alhamdulillah nggak jadi jatuh. Tapi...tapi...kok, Mbak Syera menjadi semakin jauh dari pandanganku? Astaga! Aku hanyuuuut. Masih sempat kulihat Mbak Syera kebingungan, tapi lalu hanya melambai-lambai mengiringi kepergianku.

Wauwww...rasanya luar biasa. Aku pernah melihat wisata arung jeram di televisi. Tak kusangka aku sekarang merasakannya! Aku hanyut meliuk-liuk melewati batu-batu kali. Aku terus mengikuti aliran air yang cukup deras, hingga kemudian aku tersangkut.

Aku tersangkut selama tiga hari. Suatu saat sepotong tongkat meraihku.

"Ngapain kamu ngambil gombal?" tanya seorang pemuda pada seorang temannya yang meraihku dengan tongkat.

"Baju ini bagus. Seperti daster istriku yang hanyut di sungai beberapa hari yang lalu."

"Terus, kamu mau bawakan gombal itu untuk istrimu?"

"Nggaklah. Istriku belum pernah mendaki Merapi."

"Terus, apa hubungannya dengan gombal itu?"

"Nanti kau akan tahu."

Aku dibawa mendaki gunung! Wah senang sekali. Pemandangan di sepanjang jalan sangat indah. Aku si daster lusuh, bisa juga menikmati keindahan alam Indonesia. Wuuh, tak setiap orang lho bisa sampai ke sini.

Di sebuah puncak, gerombolan anak muda itu mengibarkan bendera. Aku juga diikat di sebuah kayu, lalu ditancapkan di dekat sebuah tebing. Angin pegunungan membuatku melambai-lambai. Disinilah akhir perjalananku.

Dunia dalam pandanganku sangat indah. Aku telah menjadi saksi kehidupan sepasang suami istri muda yang penuh kasih. Tinggal di sebuah rumah yang rapi. Dan dunia luar juga memperlakukanku dengan baik. Aku sangat menikmati perjalananku, bahkan saat air sungai deras menerjangku. Dan di tempatku berada sekarang, aku menikmati setiap detiknya. Angin yang berhembus, udara dingin dan hangat, bintang dan bulan. Matahari yang bersinar. Dan kadang suara langkah kaki pendaki.



Kamis, 28 Januari 2016

Renungan tentang kematian, kehidupan dan surga

Saya baru saja takziah ke rumah sesama wali murid sekolah anak sulung saya. Anak laki-lakinya meninggal akibat kecelakaan. Saya datang dan larut dalam suasana kedukaan yang dirasakan sang ibu. Terutama karena setahun lalu kepala keluarga telah berpulang. Kini lelaki tertua dalam keluarga telah menyusul. Baru 16 tahun usia si jejaka yang pergi meninggalkan ibu dan saudara-saudaranya.

Kematian adalah misteri yang hanya Allah saja yang tahu, kapan ia akan datang menghampiri kita. Kematian tidak mendatangi hanya ketika kita telah beranjak tua. Hal ini sudah saya pahami ketika lebih dua belas tahun lalu anak sulung saya meninggal dalam usia 3,5 bulan. Bahkan ponakan saya hanya menghirup 12 jam udara luar, dan ponakan yang lain keluar dari rahim ibunya dalam keadaan tak bernyawa. Belum lagi ruh-ruh yang belum sempat ditiupkan, namun gumpalan daging merah telah gugur sebelum kokoh menempel pada langit rahim.

Sebaliknya tak sedikit kabar tentang orang paling tertua di dunia, dan nenek atau kakek teman kita, yang usianya telah lebih dari hitungan abad. Mengapa Allah mencabut dengan cepat sebagian ummat, dan membiarkan sebagian lain berlama-lama di dunia, hanya Dia yang mengetahui alasannya.

Ketika kesadaran bahwa kematian itu tak mengetuk pintu lebih dahulu, ia bisa tiba-tiba datang, bahkan saat saya sedang mengetik sekarang ini; bagaimana respons kita mengenai hal itu? Ibadah yang semakin ditingkatkan? Zikir yang semakin dikencangkan? Sedekah yang semakin dirutinkan? Sayangnya masih banyak yang biasa-biasa saja. Business as usual. Nothing's change. Nggak ngefek.

Sebuah broadcast di whatsapp pagi tadi membuat saya merenung. Isinya tentang sebuah keluarga yang memutuskan untuk membentuk keluarga islami yang Masya Allah, patut menjadi contoh kita semua. Keluarga tersebut punya 7 anak yang kesemuanya dididik untuk menjadi hafidz/ah. Sebagai contoh, anak ketujuh hafalannya sekarang 5 juz di usia 5 tahun. Semua pendidikan itu dilakukan sendiri di rumah (homeschooling). Selain hal ini, mereka keluarga konvensional yang tidak memakai hp. Setiap harinya mereka hanya satu kali makan, bukan karena nggak ada, tapi sudah menjadi amal. Ada lima hal yang selalu dipegang oleh keluarga ini, yaitu:

1. Tauhid, keyakinan mutlak pada Allah, tidak takut kekurangan rizki dan fasilitas hidup, meluruskan niat menghafal Al-Qur'an hanya karena Allah semata.

2. Menjauhi pola hidup dan gaya hidup mubazir

3. Menjaga kehalalan dan kethayyiban

4. Bebas dari hutang dan riba

5. Mulai dari diri yakin Islam dan rendah hati tuk kembali ke jalan Islam dengan dalil ilmu

(rangkuman obrolan grup Jogja Islamic Home Education - dishare oleh Deassy M Destiani di grup WA IIDN Jogja).

Saya mencoba membandingkan dengan diri saya sendiri. Sangat jauh dibanding keluarga tersebut. Bahkan merasa tertampar dengan kenyataan anak-anak saya belajar membaca Al-Qur'an dari tangan orang lain. Benar, saya kadang-kadang mengajari anak saya membaca hijaiyah, tapi tanpa niat untuk menjadikannya rutinitas. Ah, nanti kan diajari gurunya di sekolah. Ya, Allah, ampuni saya ...

Belum lagi gaya hidup? Hidup tanpa hp di era sosmed? Ow tak mungkin. Makan satu kali? Bukankah aturan kesehatan kita harus makan tiga kali sehari? Dan dua kali kudapan ... (siapa gerangan yang menyusun aturan makan sedemikian rupa?), wahai betapa sangat berlebih-lebihan kita. Belum lagi kalau jalan-jalan ada tempat makan baru pasti mau dicoba. Perut sudah kenyang, kalau mata masih lapar dan mulut masih pengen ngunyah, semua dijabanin aja. Bagaimana dengan baju? Coba kalau setiap hari ganti baju, kira-kira baju kita di lemari habis dalam waktu berapa hari? 7 hari? Sebulan? Atau bahkan setahun? Dan kalau ada setelan cantik di mall terdekat rasanya sayang kalau tidak meraihnya dan membayar harganya di meja kasir. Kalau yang lebih kaya lagi, berapa mobilnya? Satu anak punya satu mobil? Berapa rumahnya? Ada satu rumah di setiap kota besar di Indonesia? Belum yang di luar negeri? Duhai, kita memang sangat berlebih-lebihan, dan terlalu suka bersenang-senang.

Padahal, untuk apa kita hidup? Untuk kemudian mati. Dan dihisab. Kenapa kita dulu bisa sampai ke bumi? Karena Adam diusir dari surga, dosanya karena tidak mematuhi perintah Allah-lah yang menyebabkan ia diturunkan ke bumi. Kita di bumi untuk menebus dosa, dan kelak dilihat siapa yang pantas kembali ke surga. Mereka yang mematuhi perintah Allah, atau mereka yang tergoda bujuk rayu setan?

Kalau ada keluarga yang memutuskan untuk berjuang di jalan Allah, dan kiranya Allah ridha memasukkan mereka di surga kelak sebagai imbalan semua jerih payahnya di dunia, bagaimana dengan kita? Yang khusyuk nonton pertandingan bola 90 menit tanpa jeda, asyik nonton serial di televisi 60 menit sampai bengong, yang nonton bioskop dua jam penuh keterpukauan, yang merasa harus menyelesaikan novel 300 halaman dengan sekali baca, yang suka selancar di sosmed berjam-jam, ... tapi sholat lima menit pikirannya bercabang dan beranting, baca Al Qur'an satu lembar sudah lelah. Pantaskah kita memasuki surga-Nya?

Ya, Allah, mungkin hamba tak pantas masuk ke surga-Mu, namun hamba tak kuat menahan panasnya api neraka. Maka tariklah hamba, ya Allah. Panggil hamba, ya Allah. Ingatkan hamba jika lalai, ya Allah. Jadikan hamba ummatMu yang setia. Yang cinta Qur'an, yang ahli sholat, yang gemar puasa, yang lancar berzakat dan sedekah. Jadikan kami semua hamba-Mu, yang tak takut menghadapi kematian, karena yakin sudah mempersiapkan bekal.

Selasa, 26 Januari 2016

Mencoba Meraih Keajaiban Lewat Tujuh Macam Shalat


Judul Buku     : 7 Shalat yang menciptakan Keajaiban
Penulis           : Adiba A Soebachman
Penerbit         : Syura Media Utama
Tahun terbit   : 2013

Baru di halaman pengantar saja, buku karya Adiba A Soebachman ini telah mampu menikam saya tepat di jantung. Ada sebuah kalimat yang berbunyi: Hanya manusia yang super duper sombong yang berani menyepelekan shalat. Astaghfirullahal adziim.... Tak bermaksud menyepelekan, namun terkadang memang masih ada shalat yang saya lewatkan karena berbagai alasan. Tikaman di jantung ini membuat saya semakin penasaran dan melanjutkan membaca isi bukunya.

Buku ini memaparkan manfaat/keajaiban dari tujuh macam shalat, yang dapat kita raih bila kita istiqomah dalam menjalankannya. Ke tujuh shalat itu adalah:

1. Shalat Subuh

Shalat subuh merupakan satu-satunya shalat wajib yang dikupas dalam buku ini. Mengapa? Apakah artinya shalat subuh lebih utama dari ke empat shalat lainnya? Bukan begitu maksudnya. Semua shalat wajib yang kita laksanakan lima kali dalam sehari, memiliki keutamaannya masing-masing. Tak ada yang lebih tinggi dari yang lain.
Shalat subuh istimewa, karena ia merupakan shalat fardhu pembuka hari. Dikerjakan "hanya" dua rakaat saja, namun pada waktu yang sungguh-sungguh utama, yaitu dikerjakan di antara waktu sepertiga malam terakhir dan waktu fajar. Waktu di mana terjadi pergantian "piket" malaikat yang menjaga manusia. Malaikat yang telah bertugas menyertai manusia dari malam hingga fajar menjelang, akan melapor kepada Allah dengan satu catatan manis, bahwa hambaNya yang bernama si Fulan, saat ditinggalkan malaikat sedang pas menegakkan shalat subuh.
Bagaimana bila saat itu kita masih enak-enakan merajut mimpi? Aduhai, malunya pada Allah jika laporan dari malaikat berbunyi: Si fulanah lagi enak-enak ngorok waktu saya tinggalkan *tears*
Tidur adalah alasan terbesar orang meninggalkan shalat subuh. Itu artinya setan yang menang. Dia meninabobokan kita dengan ranjang empuk, mimpi yang melenakan, dan semua hal yang membelenggu tubuh kita sehingga tetap mlungker nggak peduli panggilan adzan. Duh...

Lalu manfaat atau keajaiban apa yang bisa kita raih melalui shalat subuh? Banyak. Buanyak. Buanyuaaak. Semua dijelaskan secara terperinci di buku ini. Beli dong, masak harus saya jelaskan semua? Hehhe.

2. Shalat Dhuha

Shalat dhuha dikenal sebagai shalat yang dapat mendatangkan kelimpahan rezeki, karena sabda Rasulullah SAW berikut:

"Pada tiap-tiap pagi lazimkanlah atas tiap-tiap ruas anggota tubuhmu agar kamu bersedekah: tiap-tiap tahlil satu sedekah, tiap-tiap takbir satu sedekah, menyuruh berbuat baik satu sedekah, dan cukuplah (sebagai ganti) yang demikian itu dengan mengerjakan dua rakaat shalat dhuha" (H.R. Al Bukhari dan Muslim).

Shalat dhuha dikerjakan pada waktu dhuha, yaitu ketika matahari mulai naik sepenggalah, yaitu kurang lebih tujuh hasta sejak terbitnya. Sekitar pukul tujuh pagi hingga menjelang waktu dhuhur. Jumlah rakaatnya terserah kita, antara dua rakaat hingga dua belas rakaat. Dikerjakan per dua rakaat satu salam.

Selain sebagai shalat pembuka pintu rezeki, shalat dhuha juga dapat menghapuskan dosa:

"Barang siapa yang menjaga sembahyang dhuhanya niscaya diampuni Allah baginya akan segala dosanya walaupun seperti buih di lautan" (H.R. Ibnu Majah dan At Tarmidzi).

3. Shalat Tahajud

Shalat tahajud adalah shalat sunnah yang dilakukan pada malam hari setelah tidur terlebih dahulu. Waktunya cukup panjang, yaitu selepas isya hingga waktu subuh/terbitnya. Lebih afdhal dilakukan di sepertiga malam yang terakhir yaitu kira-kira pukul 01.00 sampai jelang waktu subuh.

Shalat tahajud dikerjakan secara munfarid atau tidak berjamaah. Jumlah rakaatnya minimal 2 rakaat dan maksimal tidak terhingga hingga hampir masuk waktu subuh.

Sabda Nabi Muhammad tentang kemuliaan yang didapatkan orang yang rutin melaksanakan tahajud:

"Barang siapa mengerjakan sholat tahajud dengan sebaik-baiknya, dan dengan tata tertib yang rapi, maka Allah SWT akan memberikan 9 macam kemuliaan, yaitu lima macam di dunia dan empat macam di akhirat."

Lima keutamaan di dunia adalah:
1. Akan dipelihara oleh Allah SWT dari segala macam bencana
2. Tanda ketaatannya akan tampak kelihatan di mukanya
3. Akan dicintai para hamba Allah yang shaleh dan dicintai oleh semua manusia
4. Lidahnya akan mampu mengucapkan kata-kata yang mengandung hikmah
5. Akan dijadikan orang bijaksana, yakni diberi pemahaman dalam agama

Empat keutamaan di akhirat adalah:
1. Wajahnya berseri ketika bangkit dari kubur di Hari Pembalasan nanti
2. Akan mendapat keringanan ketika dihisab
3. Ketika menyeberangi jembatan shiratal mustaqim bisa melakukannya dengan sangat cepat
4. Catatan amalnya diberikan dengan tangan kanan

4. Sholat Hajat

Sholat hajat adalah sholat sunnah yang dilakukan untuk memohon hajat, yakni hal tertentu yang kita inginkan. Atau bisa juga saat kita sedang berada dalam suatu masalah pelik, kita lakukan sholat hajat untuk memohon pertolongan Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa yang mempunyai hajat kepada Allah SWT atau kepada seorang manusia, maka hendaklah ia berwudu dengan sebaik-baiknya, kemudian dia melakukan sholat dua rakaat." (HR. At Tirmizi)

Sholat hajat dapat dikerjakan sendirian ataupun berjamaah. Bisa dikerjakan waktu siang ataupun malam hari. Namun akan lebih afdhol jika dilakukan sendirian saat sunyi usai tengah malam.Karena dalam suasana yang hening kita akan lebih khusyuk mengerjakan sholat. Sholat hajat dikerjakan paling sedikit dua rakaat dan paling banyak 12 rakaat.

Keistimewaan sholat ini, pada sujud yang terakhir perlu memuji-muji Allah dan kemudian menyertainya dengan niat hajat yang hendak dicapai. Sesudah melaksanakan sholat hajat, perlu berdoa sekali lagi agar permintaan mudah dikabulkan.

5. Sholat Istikharah

Istikharah artinya 'meminta pilihan'. Jadi, sholat istikharah adalah sholat untuk meminta pilihan kepada Allah. Kita memohon ditunjukkan pilihan yang terbaik bagi kita sebab kita masih bingung menetapkan pilihan secara logika manusia. Sholat ini akan menjauhkan kita dari sikap keragu-raguan dalam memilih.

Sholat istikharah dikerjakan dua rakaat dan dapat dilaksanakan kapanpun bila sedang menghadapi masalah. Tentunya lebih afdhol bila kita laksanakan pada saat tengah malam sehingga lebih khusyuk.

6. Sholat Tarawih

Sholat tarawih adalah sholat sunnah yang dilakukan khusus hanya pada bulan Ramadhan. Waktu pelaksanaannya setelah sholat Isya, dapat dikerjakan secara munfarid (sendirian), maupun berjamaah. Sholat tarawih dapat dikerjakan sebanyak 11 rakaat (8 rakaat sholat tarawih, dan 3 rakaat witir); dan dapat juga dilakukan sebanyak 23 rakaat (20 + 3 witir).

Dalam buku ini, manfaat sholat tarawih dijelaskan satu persatu setiap malamnya. Betapa banyaknya manfaat sholat tarawih, seperti misalnya pada malam pertama, akan dihapus dosa kita dan menjadi suci sebagaimana awal kita dilahirkan. Malam ke-15, para malaikat bershalawat kepada kita dan menjaga di Arsy. Malam ke-25, Allah SWT akan mengangkat kita dari siksa kubur. Dan masih banyak manfaat lainnya yang sayang untuk diabaikan dengan meninggalkan sholat tarawih.

7. Sholat Witir

Sholat witir disunnahkan untuk dikerjakan setiap malam. Ia termasuk qiyamul lail (sholat malam), sebagai penutup semua rangkaian sholat kita dalam sehari semalam.

Sholat witir adalah sholat yang paling sering disepelekan oleh umat Islam. Padahal sesungguhnya sholat ini amat penting.

"Sesungguhnya Allah adalah witir (ganjil) dan mencintai witir." (HR. Abu Daud).

"Jadikanlah witir akhir sholat kalian di waktu malam." (HR. Bukhari)

Waktu pengerjaan sholat witir adalah dimulai setelah sholat Isya' sampai dengan sesaat sebelum sholat subuh. Dikerjakan minimum satu rakaat dan maksimum 11 rakaat. Bilangan rakaatnya adalah 1 rakaat, 3,5,7,9, dan 11. Kalau sholat witirnya banyak, boleh dikerjaan 2 rakaat satu salam, kemudian yang terakhir satu rakaat dengan satu salam. Jumlah 11 rakaat sudah cukup dan itu yang biasa Rasulullah kerjakan, sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah ra:

"Tidaklah Rasulullah SAW mengerjakan sholat malam (witir) melebihi dari 11 rakaat.

Keistimewaan sholat witir, adalah kita yang melakukannya benar-benar menjadi ummat Nabi Muhammad, karena Rasulullah pernah mengatakan bahwa barang siapa yang tidak mau melakukan sholat sunnah witir, maka ia bukan termasuk golongan beliau.

PENUTUP

Semua sholat di atas, masing-masing memiliki keistimewaan yang berbeda-beda. Yang membedakannya adalah bagaimana kita melaksanakannya dengan sungguh-sungguh secara rutin (istiqomah).
Membaca buku ini, kita akan melihat kembali ibadah sholat yang telah kita jalani selama ini. Dan bisa melihat, mengkoreksi, mana yang harus kita perbaiki. InsyaAllah buku ini dapat meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT.




Sabtu, 23 Januari 2016

Berkunjung ke Kebun Teh Wonosari, Lawang, Malang

Selamat datang di kebun teh Wonosari, Lawang, Malang....

Gambar 1. Pemilik Kebun Teh (ngareep)

Baiklah, ini sebuah cerita lama yang baru diaplot di blog. Januari 2014 berarti dua tahun lalu, kami sekeluarga main ke kebun teh Wonosari. Kebun teh ini terletak enam kilometer dari Lawang, atau 30 km ke utara kota Malang. Luas areanya 1.144 hektar, tapi kita tidak perlu takut capek mengitarinya, karena ada kereta yang dapat kita tumpangi untuk berkeliling kebun teh.


Gambar 2. Naik Kereta Yuuuk...

Selain udara segar, dan panorama hijau nan indah yang dapat kita lihat, di tempat wisata ini juga menyediakan fasilitas wisata seperti berkuda, flying fox, wall climb, dan berbagai permainan anak-anak. Kalau lapar, juga tersedia tempat makan. Dan bila ingin membeli oleh-oleh, ada koperasi yang menjual teh kemasan hasil kebun.

Gambar 3. Emir, senang naik kuda sama Mas Hilmy

Gambar 4. Senyum Emir yang Khas

Gambar 5. Amel dan Emir naik kereta 

Senang sekali menghabiskan waktu bersama anak-anak di kebun teh Wonosari. Nah, kalau tertarik kemari, caranya mudah saja. Dari kota Malang, bisa naik kendaraan umum berupa bus antarkota menuju Surabaya. Turun di terminal Lawang. Dari terminal Lawang, ada kendaraan langsung menuju Wonosari. Kalau berombongan, bisa juga carter mobil di terminal Lawang.

Gambar 6. Aku dan krucils

Nah, selamat berkunjung ya....

Rabu, 20 Januari 2016

Seorang Sahabat Yang Kubanggakan

Aku berkenalan dengannya di sebuah kopdar komunitas menulis. Aku salah satu pengurus di komunitas tersebut. Dan dia baru bergabung, tapi jam terbangnya sebagai penulis profesional sudah ratusan ribu jam mungkin...laksana ELANG yang gagah mengangkasa di langit. Ahai!

Pertama ngobrol, kami sudah langsung akrab. Tapi awalnya dia mengira aku adalah orang lain. Yah, beginilah muka pasaran. Menurutnya, aku mirip dengan salah seorang tetangganya di alamat lama di mana ia pernah tinggal. Okelah, tak apa. Itu sudah biasa kualami. Hiks. Hiks. Lebay, hahaha.

Hubungan kami kemudian berlanjut biasa-biasa saja, seringnya di sms atau via whatsapp. Kami sama-sama sadar, nggak mungkin kami dapat sering bertatap muka. Motor saja kami sama-sama tak berani mengendarainya, hahaha. Jadilah kami berjumpa dari kopdar ke kopdar. Pokoknya tambah akrab tambah gayeng, deh.

Hingga di akhir tahun 2014, aku mau pulang ke Malang sama anak-anak, dan suami belum bisa mengantar. Ngobrol punya ngobrol, eeeh sahabatku cerita pengen ke Malang. Ayo ikut aku ajaa, seruku. Gayung bersambut, maka Mbak Tinbe, sobatku itu dan putrinya Diba ikut naik travel pergi ke Malang.

Hehehe, nama aslinya bukan Tinbe, tapi Agustina Soebachman, penulis 123 buku +, maksudnya dengan nama aslinya ia mungkin sudah nulis 123 buku, tapi dengan nama aliasnya yang lain, bisa jadi sebenarnya buku-buku karyanya lebih dari 123 jumlahnya.

Mbak Agustina dan tokoh wayang idolanya, Semar

Karena kami sama-sama nggak bisa naik motor apalagi mobil, di Malang kami kemana-mana naik angkot. Apalagi bawa empat krucil yang kadang-kadang rese, yah enjoy aja.

Adiba (putri mbak Agustina), Nina, Emir dan Amel (putra-putriku)
Main di alun-alun Malang

Karena keterbatasan transportasi, kami cuma main di alun-alun dan makan di rumah makan Inggil, sebuah rumah makan dengan konsep Malang Tempo Dulu. Foto Mbak Tinbe dengan pak Semar di atas itu lokasinya di restoran Inggil. Di resto Inggil, kukenalkan mendol pada mbak Tinbe, hahaha.

Mbak Tinbe hanya sekitar tiga hari di Malang, sayang sekali belum puas kemana-mana. Yang penting sudah sempat ngerasain bakso malang juga ya, Mbak. Walaupun gak sempet nongkrong di Bakso President, bakso yang lewat depan rumah, sudah cukup enak, kok.

Ohya, Mbak Tinbe baik sekali, ia menghadiahkan satu buku karyanya untuk Papaku lho, yang langsung dibaca beliau dengan penuh antusias. Mau tau bukunya? Lihat foto di bawah ini. Bukunya serreeem.


Itulah ceritaku tentang sahabatku. Walaupun jarak kami kelak ratusan kilometer, tapi kami pasti akan tetap bersahabat. Walau kami tak saling menyapa lewat sms atau whatsapp, mungkin saja, kami menyapa melalui karya-karya kami. Dia dengan buku-bukunya, aku dengan karya di media. Mungkin saja.

Menemukan Bakat/Talenta Kita

Setiap orang punya kelebihan dibanding orang lain. Eh, bukan kelebihan berat badan lho ya. Tapi maksudnya di sini kebisaan, bakat, talenta, keahlian, atau apapun itu. Hanya saja kadang kita nggak ngeh, bakat kita tuh sebenarnya apa sih?

Sebuah bakat itu belum tentu sesuatu yang kita jalani dalam pekerjaan sehari-hari, lho. Seperti nih saya misalnya, takdir menggariskan saya untuk bekerja sebagai peneliti. Padahal benarkah saya berbakat menjadi peneliti? Entahlah, mungkin sebenarnya bakat saya di bidang lain (lho kok malah curcol galau ginih).
Back to topik, bakat bukan berarti pekerjaan kita tempat kita mencari nafkah. Bisa saja bakat tersebut berupa hobi yang kita lakukan di waktu luang. Misalnya nulis, nyanyi, masak, berkebun, dan lain-lain. Nah, kalau hobi kita itu terus kita lakukan secara rutin, bisa saja kita kemudian menjadi expert di bidang itu dan kita bisa menjadikan hobi kita itu sebagai pekerjaan utama atau sampingan kita. Nah, sudah hobi dalam arti kita suka melakukannya, eh dapat uang pulak dari situ. Maknyus banget kan? Bilang iya dong.

Nah, buat yang masih bingung apa bakat atau talenta terpendamnya, di bawah ini ada tips untuk menemukan bakat terpendam. Begini ciri-cirinya hingga kita yakin bahwa sesuatu yang kita geluti itu benar-benar bakat kita.

1. Kita menyukai kegiatan itu
2. Kita sering lupa waktu jika melakukannya
3. Kita melakukannya lebih baik dibandingkan orang lain
4. Kita paling suka membicarakan hal itu
5. Kegiatan itu merupakan hal pertama yang kita lakukan di waktu luang
6. Kita sering dapat pujian bila melakukan kegiatan tersebut
7. Uang tidak menjadi masalah jika kita melakukan kegiatan tersebut
8. Kita menjadi sumber bagi orang lain dalam hal tersebut

Nah gimana, sudah diraba-raba, apa sebenarnya bakat kita? Kalau saya, dari poin 1 sampai 8 sudah masuk deh, kegiatan itu yaitu menulis.
1. Saya suka nulis
2. Saya sering lupa waktu kalau lagi nulis (apalagi kalau mepet DL hahaha)
3. Saya melakukan lebih baik dibanding orang lain yang belum berani ngirim naskahnya ke media (hahaha, pede aja ah. Tapi saya tentu melakukan lebih jelek saat nulis buku, karena naskah buku ditolak aje)
4. Saya jelas suka membicarakan tentang nulis.
5. Kalau waktu luang dan gak ada yang ngerecokin tentu saya akan nulis
6. Saya sering dapat pujian kalau nulis, terutama kalau pas ada naskah yang dimuat ya, Alhamdulillah
7. Uang tidak menjadi masalah, dalam arti saya nggak masalah beli buku untuk memperkaya isi otak, untuk referensi menulis. Uang menjadi masalah kalau honor naskah di media nggak turun-turun...hehe
8. Saya menjadi sumber bagi orang lain dalam hal menulis. Waduh, yang ini belum pede sih. Tapi saya pernah ngisi workshop menulis cerita anak, trus saya juga menerima kalau ada teman yang kirim naskah ke saya untuk dikomentari.

Hahaha, kepedean nggak sih kalau saya bilang bakat saya adalah menulis? InsyaAllah tidak, ya. Tapi tentu saja masih perlu banyak berlatih agar bisa menjadi penulis yang lebih baik lagi. Aamiin. Yuks, sekarang coba giliran kamu nyocokin delapan poin di atas dengan kegiatan yang selama ini kamu tekuni...apakah kamu sudah menemukan bakat terpendammu itu? Temukan dan mainkan!

*ide utama dari majalah Lisa (edisinya lupa, saya merobek halamannya sudah lama)

Selasa, 19 Januari 2016

Kerepotan yang (kelak) Dirindukan

Pagi itu saya ada perlu mengunjungi sebuah perpustakaan. Penjaganya seorang ibu yang lebih tua dari saya. Kami pun bercakap-cakap sejenak sebelum saya menenggelamkan diri untuk mencari pustaka. Ibu penjaga perpustakaan bertanya berapa anak saya dan hal-hal yang ringan semacam itu. Ternyata kami sama-sama memiliki tiga orang anak. Bedanya, anaknya perempuan semua dan yang kecil sudah SMA kelas 3, sedangkan anak saya dua perempuan, satu laki-laki - umur 10, 7 dan 6 tahun.

Ibu Ratna (bukan nama sebenarnya), si pustakawati mendesah, mengatakan beruntungnya saya punya anak yang masih kecil-kecil. Anaknya sudah besar semua dan kalau semua sedang izin pergi bersama temannya, ia rasanya kesepian menghabiskan hari hanya berdua dengan suaminya.

Saya tersenyum, teringat sebuah kisah inspiratif yang pernah saya baca di sebuah media sosial.
"Kata kisah itu, Bu. Yang masih punya anak kecil, bersabarlah. Itu tidak akan lama. Tiba-tiba saja mereka beranjak besar dan semua kerepotan yang dialami, kelak akan menjadi kerepotan yang dirindukan," saya menceritakan kisah itu pada bu Ratna.

"Ya, itu benar sekali," kata bu Ratna. Air mata mulai mengaliri pipi wanita itu. "Saya sudah mengalaminya. Yang sedang saya tunggu sekarang hanya cucu dari anak saya yang sudah menikah."

Sayapun menangis. Mengingat saya masih suka mengomel kalau anak saya rewel. Saya janji akan lebih woles. Menikmati semua kerepotan punya anak-anak yang masih kecil. Karena kelak, kerepotan ini akan saya rindukan.

*teriring kecupan dan doa untuk ketiga anak saya, Nina, Emir, Amel*
*teriring rindu untuk sulung saya di surga, the beloved Naufal*


Jumat, 15 Januari 2016

Manfaat Membaca dan Mengoleksi Buku

Hai, siapa suka membaca buku? Saya! Siapa suka mengoleksi buku? Eh ... saya biasanya minjem, euy. 

Hahaha ... yayaya, membaca buku is very important. Pernah dengar kan bahwa buku adalah sumber ilmu. Buku adalah jendela dunia. Dan masih banyak lagi hal positif tentang buku.


Gambar dari Google

Sejak kapan kita membaca buku? Mungkin beragam jawaban akan diperoleh dari pertanyaan ini. Yang umum, mungkin ya sejak kita dapat membaca. Mungkin di bangku TK, di bangku SD atau bahkan di usia tua karena baru ikut kejar paket A di usia lanjut.

Namun trend yang memang bagus dan seharusnya selalu diaplikasikan akhir-akhir ini adalah membaca buku sejak masih dalam kandungan. Wuewww ... keren kan. Bagaimana caranya. Yah, tentunya bukan si orok yang baca buku sambil bawa lampu belajar dalam perut bundanya (jadi pengen gambar kartunnya, bayi dalam perut plus lampu belajar ... lucu absurd yah). Melainkan, si bunda yang harus rajin membacakan buku untuk debay dalam perut. Walaupun belum ada penelitian ilmiah, sudah pastinyalah ini efeknya bagus banget tuk si debay. Mendengar suara lemah lembut bunda membaca sambil elus-elus perut, it such a very beautiful moment to remember. Pas lagi bacain sambil elus-elus dipotoin bun ... ntar ditunjukin ke anak kalau dia sudah besar. (baiteway, si embak yang nulis emang dulu begitu? nggak ... huaaa, entah kenapa niy ide datang belakangan setelah tiga anak brojol semua. Masak harus nambah anak lagi. Aamiin. Eh, kelepasan deh bilang aamiin....). Saya dulu kadang membaca al qur'an buat anak di dalam kandungan, tapi kalau diingat-ingat kurang intensif alias seingatnya...huaa pengakuan yang menyedihkan. Jadinya nambah lagi nggak nih...hadeh.

Oke back to focus. Membaca adalah sudah pasti bermanfaat. Buktinya perintah Allah yang pertama melalui malaikat Jibril untuk Nabi Muhammad SAW adalah Iqra' alias bacalah. Jadi sudah jelas bahwa membaca ini sangat penting.

Membaca apa? Nah, untuk bayi dalam kandungan tadi, kita tentunya sebagai orang tua membacakan yang baik-baik untuknya. Bisa bacaan Al Qur'an, buku-buku dongeng, buku akhlak terbaik, kisah-kisah nabi, dan lain-lain tergantung selera. Tak jarang bunda yang kebetulan sedang belajar lagi misalnya kuliah atau memnag berkecimpung di dunia akademis, membacakan jurnal-jurnal dan literatur tesis untuk sang bayi dalam kandungan. Haha, nggak papa juga, sekalian belajar ibunya.

Membaca untuk usia sekolah tentu yang utama adalah membaca buku-buku pelajaran. Di samping buku pelajaran, agar wawasan anak berkembang, kita sebagai orangtua sebaiknya membelikan buku-buku lain yang bermanfaat untuk anak. Untuk membuka wawasan dan melembutkan hati. Banyak pilihan buku-buku anak bermutu di toko buku. Kalau nggak punya uang, fasilitasi anak dengan membawanya ke perpustakaan. Masa anak-anak adalah masa bermain dan belajar. Contoh buku yang baik untuk perkembangan otaknya adalah serial petualangan lima sekawan (untuk anak usia SD), dongeng-dongeng binatang (untuk TK dan SD), kisah-kisah pahlawan atau kisah nabi-nabi, dan masih banyak lagi lainnya. Selain itu ada pula buku seri pengetahuan umum bergambar yang bisa menjadi penunjang anak-anak dalam memahami materi sains di sekolahnya. Misalnya seri pengetahuan WHY.

Untuk usia dewasa, biasanya sudah bisa memilih buku sendiri sesuai kebutuhan. Mereka yang suka hiburan akan memilih novel, cergam, atau buku-buku humor. Buku non fiksi penunjang karier juga bisa dibaca. Buku-buku motivasi, buku-buku agama, buku cerita inspiratif, travelling, resep masakan, biografi, dan lain-lain. 

Membaca buku membuat kita mengenal negeri-negeri yang jauh. Menjadikan kita orang yang lebih kreatif. Menjadikan kita orang yang lebih religius. Menjadikan kita orang yang lebih baik. Otak kita mendapat asupan pengetahuan setiap hari dengan membaca. Membaca setiap hari akan menghindarkan kita dari kepikunan.

Nah sekarang bagaimana halnya dengan mengkoleksi buku? Kalau bisa pinjam, untuk apa membeli? Mungkin ada yang punya motto beginian, ya, hahha. Tapi kadang ada buku yang benar-benar bagus, yang membuat kita ingin mempunyainya, untuk dibaca berulang tiap dibutuhkan. 

Saya punya cerita tentang hal ini. Waktu kuliah ada satu buku yang saya pinjam dari persewaan buku. Judulnya Celestine Prophecy. Demikian terbius saya dengan buku yang satu ini sehingga setelah saya akhirnya bekerja dan punya gaji sendiri, buku ini termasuk barang yang pertama-tama saya beli. Oh ya, sebelumnya saya termasuk beruntung karena orangtua saya tidak pelit soal kebutuhan membaca putra-putrinya. Jadi sejak kecil saya dan kakak sudah punya beberapa buku untuk koleksi.

Saat saya menikah dan punya anak, tentu saja saya juga menyediakan budget untuk membelikan  buku anak-anak saya. Alhamdulillah, si sulung sudah menunjukkan minat membaca sejak ia bisa membaca di TK B. Adik-adiknya ... semoga akan mengikuti jejak sang kakak.

Ada lho orang yang menganggap bahwa mengkoleksi buku itu adalah perbuatan yang sia-sia. Buku ditumpuk dianggurkan gitu, buat apa? Gitu katanya. Kalau dikiloin kan jadi duit? Astagaa, dikiloin, noooo! 

Jadi bagaimanakah agar tumpukan buku kita itu tidak kelihatan mubazir tapi dapat lebih bermanfaat lagi? Ada beberapa cara, yaitu:

1. Koleksi buku untuk referensi menulis. Semakin banyak buku yang kita miliki, seharusnya semakin banyak karya tulis yang kita buat. Jadi manfaat buku tersebar melalui tulisan-tulisan kita di berbagai media. Even sebuah media sederhana seperti blog atau bahkan status FB.

2. Dimanfaatkan sebagai perpustakaan atau taman bacaan. Nah, modal banget kan punya buku bejibun. Tinggal ruangan dan rak-rak saja yang harus disediakan. Orang lainnantinya  ikut mendapat ilmu dari buku. Kalau perpustakaannya berbayar, kita bisa memanfaatkan uang masuk untuk pemeliharaan buku atau bahkan menambah koleksi dengan buku-buku terbaru.

3. Disumbangkan pada taman bacaan di pedesaan atau panti. Nah, ini juga bagus. Sortir secara berkala koleksi bukumu, dan sumbangkan sebagian. Kita tebar ilmu dan amal sekaligus.

4. Dijual. Pada saat kepepet, buku juga bisa dijual. Bahkan buku-buku langka dapat dijual lebih tinggi dari harga semula.

Nah, banyak kan, manfaat membaca dan mengkoleksi buku. Ayo, mulai membaca dan membeli buku. 

Selasa, 12 Januari 2016

Pindah dan Adaptasi

Gambar dari google

Di suatu pagi yang sejuk, terlintas dalam pikiran ingin menulis tentang ini, pindah dan adaptasi. Sebagai seorang anak anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), pindah mengikuti orangtua adalah sebuah keniscayaan. Di masa SD, saya menjalaninya di tiga SD yaitu di Semarang, Sumenep dan Sidoarjo. Hal itu membuat masa kecil saya lebih berwarna dan tentu saja teman yang lebih banyak.

Kini setelah saya dewasa (baca=tua), hal yang sama dialami oleh anak saya. Karena satu dan lain hal, dia saya pindahkan dari Jogja ke Makassar tepat di semester dua, kelas 5 SD. Anehnya, awalnya saya yang galau. Tentu saja saya selalu menguatkan dia jauh sebelum pindah, bahwa masa adaptasi pasti akan dijalaninya dengan baik. Tak usah takut juga dengan nilai rapor yang mungkin akan turun pada masa adaptasi, karena saya sebagai orangtua tidak pernah menuntut rapor dengan nilai tinggi. Yang saya inginkan hanyalah anak memahami pelajaran yang diterima dan enjoy di sekolah.

Galaunya saya adalah saat akan pindah, putri saya mengalami banyak momen mengharukan dengan teman-temannya. Menerima banyak surat yang isinya ungkapan rasa suka karena sudah berteman selama ini, dan juga goresan doa-doa agar anak saya sukses di sekolah yang baru. Saya ikut haru dan galau membaca surat-surat dari kawan-kawan putri saya itu. Hingga saya bolak-balik mikir apakah kepindahan ini lebih baik ditunda.

Hingga sampailah saya pada sesi curhat dengan kawan. Saya curhat dengan seorang teman dan advisnya sungguh membuat saya tenang. Begini nasihat teman saya itu:

Ada untung ruginya anak-anak diajak pindah-pindah. Untungnya, anak akan tahu keberagaman budaya. Jadi pas besar gak minder ngadepin orang dari mana-mana. Latihan beradaptasi. Soft skill berkembang. Menjadi bekal kelak jika takdir membawanya merantau.

Yup. Saya lupa bahwa saya juga merasakan hal itu. Dan nasihat itu membawa kenangan saya pada masa lalu. Ketika putri saya bertanya, "Apakah Mama pernah menyesal sekolah pindah-pindah waktu SD?" Saya bisa menjawab mantap. "Tidak. Mama tidak pernah menyesal. Pindah-pindah membuat Mama punya banyak teman. Dan itu membuat Mama punya lebih banyak 'ikatan' dengan berbagai daerah di Indonesia. Itu membuat wawasan Mama lebih berwarna."

Singkat cerita, ini merupakan hari ketiga putri saya di sekolah barunya. Adaptasinya masih butuh beberapa waktu lagi, karena sistem pendidikan yang berbeda. Sekolah lamanya campur cewek-cowok, sekolah barunya memisahkan cewek dan cowok mulai kelas empat. Sekolah lamanya pakai KTSP (kurikulum 2006), sekolah baru pakai Tematik (kurikulum 2013). Ia mengeluhkan peer yang didapat tiap hari dan besoknya sudah harus dikumpulkan. Soal teman? Alhamdulillah, sejauh ini ia bercerita bahwa semua temannya welcome, bahkan berebut mengajaknya ngobrol atau jalan ke kantin saat istirahat.

Masa adaptasi memang merupakan masa yang bikin deg-degan. Deg-degan akan hilang saat diri mulai merasa terbiasa dengan lingkungan sekitar. Nah, sekarang tinggal tugas saya sebagai ibu, selalu memotivasi, mengarahkan pada hal yang baik. Yang paling penting adalah selalu mendoakan semua kelancaran untuk putra dan putri saya menghadapi masa-masa adaptasi ini dan untuk seterusnya, tentu. Dan jangan lupa, sedia kuping dan hati untuk selalu siap mendengarkan curhatan putra-putri tercinta.

Gambar dari rinso.co.id


Kamis, 07 Januari 2016

Mencontek

             
Gambar dari google

   Obrolan dalam sebuah grup yang sering random, kali ini membahas tentang mencontek. Alkisah ada anggota grup yang sangat marah karena salah satu temannya yang nota bene kuliah lagi di sebuah perguruan tinggi, melakukan perbuatan mencontek. Menconteknya nggak tanggung-tanggung, pakai hp, bertanya pada si anggota grup itu. Obrolan meluas dan para pendidik di dalam grup pun urun pendapat. Tegas menolak perbuatan curang demi pendidikan karakter.
                Aku termenung dan kemudian asyik dalam perjalanan lamunanku sendiri. Merunut ke belakang, mencari-cari di mana aku mulai mencontek? Atau diberi contekan? Ingatanku jatuh saat kelas lima SD. Waktu itu aku ujian dan duduk dengan kakak kelas enam. Kebetulan kakak kelas enam itu adalah tetangga sebelah rumah. Tapi kami tidak terlalu akrab sebagai tetangga. Masih saya ingat, ujiannya ujian bahasa daerah. Sebelum ujian, Pak Mustafa guru kami melewati bangku kami dan tersenyum. Ya, dia tau kami tetanggaan.
                Pak Mustafa bilang, “Kuwi adik kelase ngko diwarahi, yo?” (Itu, adik kelasnya nanti diajari, ya).
                Ujian berlangsung aman. Soalnya susah, tapi tentu saja aku nggak minta contekan. Gengsi ah. Eh, ternyata malah sang kakak kelas yang tiba-tiba bisik-bisik menunjuk satu soal di kertas ulanganku.
                “Itu jawabannya bukan isuk subuh, dek. Yang bener isuk umun-umun,” ujarnya.
                Hmm, aku sudah tahu jawabanku ini pasti salah. Baiklah, terima kasih kakak kelas, jawabanku kuganti. Itulah pertama kali aku cheating. Tapi bukan atas kemauanku lo ya (pembelaan diri, hehhe).
*
Ingatanku kembali membawa ke masa SMP, waktu ujian juga. Ada telunjuk mencolek punggungku.
                “Sst … nomor 2 jawabannya apa?”
                Wuih, yang nanya si Amin, biang kerok di kelas dua. Keringat meluncur di pelipisku. Aku takut kalau nggak ngasih contekan, nanti pulang sekolah aku dipukul. Jari kananku memberi kode huruf yang harus disilang. Pulang sekolah, Amin menghampiriku.
                “Itu tadi A kan, jawabannya?”
                “Eh … maksudku, itu B.”
                “Lho, kok jarimu tadi bentuknya kayak gitu, sih?”
                “Ya maaf…,”
                Yah, aku memberi contekan tapi tidak termanfaatkan dengan baik, kan (pembelaan diri lagi, hehhe).
*
                Ingatan di masa SMA, buntu. Entah pernah nyontek atau tidak. Waktu kuliah S1 karena hafalannya luar biasa banyak, kadang bikin kepekan di meja. Maksudnya nulisin meja gitu…tapi biasanya sih yang ditulis nggak keluar di ujian (pembelaan diri lagi). Kuliah S2, banyakan open book dan ada teman yang suka jalan-jalan pas ujian, jalan-jalan sambil ngintip jawaban teman lainnya, haha. Kuliah S3, ujian banyakan diganti dengan paper. Kalau paper nggak bisa nyontek, kan. Paling jatuhnya plagiat paper lain. Tapi sebagai peneliti sekaligus penulis, aku anti plagiat.
                Tapi ada satu kejadian menarik pas ujian beberapa waktu lalu. Dosennya lagi sedeng kali. Ada soal yang bunyinya: Sebutkan 10 prinsip bla bla bla… wess…yang namanya 10 prinsip anu anu itu kan harus pleg dengan buku sumber. Masak prinsip mau kita ganti-ganti sendiri. Dan blas 10 prinsip itu gak ada di otakku. Eh, di otak teman-teman apa lagi. Dan ketika yang njaga ujian keluar, salah satu teman buka tab dan mengucapkan dengan lantang ke sepuluh prinsip tersebut. Yang lain nyalin. Sungguh ujian yang sangat rusuh. Tapi cuma di satu nomor itu lho (pembelaan diri).
                Begitulah ceritaku. Ada saat-saat di mana situasi dan kondisi menyebabkan kita ‘harus’ mencontek. Wuih, jangan ada anak sekolah yang baca tulisanku ini ya. Aku teringat kisah lain saat teman-teman honorer di kantorku harus ujian masuk PNS. ‘Kebijakan’ kepala kantor adalah ada beberapa rekan yang ditempatkan sebagai pengawas ujian dan bertugas memastikan teman-teman honorer lolos ujian. Banyak pertimbangan, antara lain mereka sudah berjasa, sudah lama jadi honorer gak diangkat-diangkat, dan lain sebagainya.
                Lalu dalam melaksanakan tugas kantor? Sistem manajemen pemerintahan kadang juga membuat kita harus melakukan beberapa rekayasa. Tanggal kepergian tugas yang tidak sesuai kenyataan, pinjam nama teman lain untuk kelancaran administrasi, menandatangani sesuatu yang samar-samar, dan beberapa hal lain. Allah ampuni hamba.
                Maksudku apa menulis ini semua? Semacam pengakuan dosa? Tidak. Hanya berbagi. Hanya mencoba untuk jujur. Hanya tidak ingin menghakimi. Hanya ingin introspeksi diri. Karena di saat telunjuk kita menuding orang lain, maka empat jari tertuding pada diri kita sendiri. Sudah sucikah kita? Astaghfirullahal adziim….

                Pendapatku tentang perbuatan curang adalah sesuai normalitas. Aku membencinya. Walaupun aku pernah melakukannya. Semoga Allah memaafkan semua kekhilafanku sebagai manusia biasa.

Senin, 04 Januari 2016

Resensi Korjak: Novel Cherish You

Berikut adalah resensi pertamaku yang dimuat di koran jakarta. Apakah ini juga resensi yang pertama kukirim? Hmm, seingatku tidak. Dulu sekali sudah pernah kirim satu tanpa kabar. Lalu kirim yang ini dan dimuat. Setelah yang ini aku getol kirim resensi tiga buku lagi tapi belum beruntung.

Oya, resensi ini adalah resensi novel karya sahabatku, Irfa Hudaya. Novelnya yang sudah diterbitkan ada dua. Tapi yang ngantri terbit buanyak. Semoga mbak Irfa sukses jadi penulis produktif, aamiin.

Berikut naskah asli resensi yang kukirim:

Judul               : Cherish You
Penulis             : Irfa Hudaya
Penerbit           : Orange
Tahun terbit     : Cetakan I, 2015
Tebal               : 302 halaman
Harga              : Rp45.000,00
ISBN               : 978-602-7729-49-0

Kematian seringkali membuat suatu perubahan dalam sebuah keluarga. Demikian pula keluarga kecil Mahira, saat Aini istrinya harus pergi karena penyakit eklampsia. Meninggalkan Mahira hanya bersama si kecil Aqilla.
Karena harus bekerja, Mahira terpaksa menitipkan bayinya di rumah mertuanya, ibu Aini. Sehari-hari, Aqilla diasuh oleh Rifka, tantenya yang hampir diwisuda. Otomatis, Mahira menjadi dekat dengan adik iparnya itu. Kedekatan keduanya menimbulkan angan-angan di hati sang ibu, yang kemudian mempunyai ide untuk menjodohkan mereka.
Sangat wajar keinginan nenek Aqilla ini, memikirkan menantunya yang seorang lelaki normal, tentu masih membutuhkan seorang pendamping. Di sisi lain, ia cemas bila sang cucu harus beradaptasi dengan  mama baru. Bisa jadi istri Mahira kurang menyayangi Aqilla, dan tentu ia tak bebas lagi mengunjungi cucu, jika Mahira sudah punya istri baru. Rifka adalah satu-satunya calon istri terbaik untuk Mahira.
Walaupun menolak pada mulanya, namun akhirnya pernikahan turun ranjang itupun terjadi. Rifka segera pindah ke rumah Mahira bersama Aqilla. Mereka tak segera tidur sekamar karena rasa canggung dan juga karena masing-masing masih belum dapat melupakan nama seseorang. Mahira belum dapat melupakan Aini, Rifka belum dapat melupakan Andri, kekasihnya. Mereka memilih menunggu hati mereka siap menerima satu sama lain. Untuk saat itu, cukup melakukan yang terbaik buat Aqilla.
Mulailah berbagai peristiwa lucu dialami oleh Rifka dan Mahira. Pernah tiba-tiba ibu Rifka datang tanpa memberi kabar, sehingga dalam waktu kilat mereka harus memindahkan barang-barang ke dalam satu kamar, agar terlihat mereka sudah tidur sekamar (halaman 144).
Walau bersaudara, Rifka ternyata berbeda perangai dengan kakaknya yang lembut dan sabar. Mahira harus beradaptasi dengan istrinya yang bawel dan sering protes pada beberapa kebiasaannya yang dulu bukan merupakan masalah (halaman 112). Tas kerja yang ditaruh sembarangan, handuk tidak langsung dijemur, pasta gigi jangan dipencet bagian tengahnya, dan lain-lain hal sepele selalu diributkan Rifka. Di sisi lain, Mahira trenyuh dengan kesabaran Rifka mengurus Aqilla. Rifka juga rajin memasak, mengurus rumah dengan baik dan selalu menyediakan keperluan Mahira. Padahal, Rifka hanya seorang gadis 21 tahun yang seharusnya sedang gairah mencari kerja usai wisudanya. Namun kini ia harus terampil mengurus anak dan rumah tangga.
Mahira mengizinkan Rifka untuk bekerja dan kemudian Rifka mendapatkan pekerjaan di sebuah agensi iklan, tempat dia pernah magang dulu. Di sana Rifka bertemu dengan Sita, senior yang cantik. Ternyata Sita adalah perempuan masa lalu Mahira, yang sedang mencoba mendekati Mahira karena belum tahu kalau lelaki itu sudah menikah lagi. Mahira  menanggapi Sita dengan sopan karena tak ingin menyakiti perempuan itu lagi. Kehadiran Sita menyebabkan kesalahpahaman Rifka pada Mahira. Cinta yang sudah muncul perlahan, akhirnya harus tertahan akibat kecemburuan. Akibat melihat Mahira dan Sita berpelukan, Rifka terluka dan memutuskan untuk pergi.
“Cinta itu menyembuhkan luka, bukan menorehkan rasa sakit yang lebih besar.” (halaman 284).
Perpisahan mereka memberikan waktu kepada keduanya untuk sama-sama menyadari bahwa masing-masing membutuhkan kehadiran satu sama lain. Kisah berakhir indah ketika Mahira akhirnya memutuskan untuk ‘menculik’ Rifka kembali ke rumah mereka.
Novel ini dituturkan dengan apik dan mengalir. Memakai sudut pandang orang pertama secara bergantian. Rifka dengan gaya ceplas-ceplosnya, dan Mahira yang sopan. Cara bertutur yang semakin mendekatkan pembaca dengan karakter para tokohnya. Dijamin pembaca akan ikut tertawa, terharu dan bahagia membaca kisah Rifka dan Mahira dalam novel Cherish You ini.



Ini link pemuatan di koran jakarta: http://www.koran-jakarta.com/perjalanan-cinta-terganggu-bayangan-lama/ 

Persyaratan kirim resensi: kirimkan resensi sepanjang 400-500 kata, lengkapi dengan kover buku, identitas buku, scan tanda pengenal dan foto diri. Kirim ke opinikoranjakarta@gmail.com.

Minggu, 03 Januari 2016

Merantau


Ini adalah sebuah kisah keping mozaik perjalanan hidup, semoga dapat menginspirasi teman-teman yang sedang berada jauh dari kampung halaman.

Merantau menurut  wikipedia, adalah perginya seseorang dari tempat ia tumbuh besar ke daerah lain untuk mencari pekerjaan atau pengalaman. Merantau, merupakan hal yang biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia yang hidup dalam sebuah negara kepulauan. Bahkan demi pemerataan pembangunan, pemerintah turut menyuburkan budaya merantau, salah satunya adalah dengan memasukkan satu klausul perjanjian yang  ditandatangani seorang calon PNS untuk bersedia ditempatkan di seluruh Indonesia.
Laki-laki yang merantau adalah hal yang biasa, namun perempuan perantau adalah istimewa. Saya salah satunya, perempuan perantau karena alasan pekerjaan.
                Tahun 1998 saya melamar kerja di Departemen Kehutanan. Proses pemeriksaan berkas lamaran, tes tulis, wawancara, psiko tes dan tes kesehatan merupakan rangkaian panjang tes yang harus dijalani dan memakan waktu beberapa bulan. Akhir Juni 1999 saya menerima surat penempatan kerja di sebuah kantor kehutanan di Ujung Pandang, dengan catatan harus segera melapor tanggal 1 Juli. Praktis, saya hanya mempunyai waktu sekitar satu minggu untuk bersiap-siap.
                Kedua orang tua saya merasa senang anak bungsunya akhirnya mendapatkan pekerjaan. Walaupun demikian, mereka juga sempat cemas karena lokasi penempatan yang teramat jauh dan kami juga tidak mempunyai kerabat yang dapat ‘menampung’ saya untuk sementara. Orang tua saya bertanya, apakah saya akan menerima atau menolak saja peluang tersebut.
                Saya pribadi, yang dari kecil hingga perguruan tinggi tidak pernah jauh dari keluarga (SMP – perguruan tinggi di Malang), tidak merasa gentar dengan penempatan itu. Sebaliknya saya merasa bergairah karena akan mengunjungi sebuah daerah baru yang asing. Dan lagi ini merupakan kesempatan dan anugerah dari Allah yang tak boleh saya sia-siakan, setelah sebelumnya sekitar tujuh puluh surat lamaran saya kirimkan ke berbagai instansi dan perusahaan, tapi tidak ada hasil yang memuaskan.
                Selain kedua orang tua yang sibuk mencari daftar teman dan kerabat yang tinggal di Ujung Pandang, saya juga memutar otak mencari kenalan yang tinggal di sana. Saya teringat bahwa kakak sahabat saya semasa SMU bekerja di kota tersebut. Langsung pada kesempatan pertama saya menghubungi sahabat saya. Akhirnya saya mempunyai tujuan sementara di Ujung Pandang, yaitu rumah saudara sepupu sahabat saya. Kakak sahabat saya yang juga sedang bekerja di Ujung Pandang,  menyanggupi untuk menjemput saya di pelabuhan.
                Demikianlah, akhirnya saya berangkat naik kapal Lambelu menuju Ujung Pandang. Alhamdulillah, di kapal ini ternyata salah seorang kerabat jauh dari Mama saya yang berasal dari Lamongan, bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK). Kami pun menghubungi beliau – Om Jais – sehingga akhirnya saya dan dua orang teman saya mendapatkan fasilitas kelas, walaupun memegang tiket ekonomi.
                Singkat cerita, setelah diterima di kantor dan mengenal rekan-rekan kerja, saya memutuskan untuk keluar dari rumah sepupu sahabat saya. Awalnya saya kos di sebuah rumah kos dengan lokasi relatif dekat kantor. Hanya satu bulan saya kos di sana karena merasa tidak sreg tinggal di tempat kos campur laki-laki dan perempuan. Saya kemudian memutuskan untuk kontrak rumah di dekat kantor bersama dua orang sesama pegawai baru yang kemudian menjadi sahabat-sahabat terbaik saya dirantau. Bertiga kami menjalani takdir, mengais rejeki di bumi Ujung Pandang yang tak lama kemudian di sebut dengan Kota Makassar.
                Sekarang setelah lebih dari sepuluh tahun merantau, ada beberapa hal yang saya pahami dan yakini efektif dalam menjaga diri kita – kaum perempuan – saat merantau, antara lain:
1. Berpegang teguh pada ajaran agama, menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah; 
2. Komunikasi dengan keluarga di tempat asal harus rutin dilakukan agar kedua belah pihak merasa tenang;
3. Jalin pertemanan dengan orang-orang baik, yang dapat memotivasi kita untuk selalu berada di jalan kebenaran; 
4. Ramah dan beradaptasi dengan budaya dan lingkungan yang berbeda dengan tempat asal; 
5. Lebih baik menambah saudara daripada menambah musuh; 
6. Selalu bersyukur atas nikmat pekerjaan yang diberikan Allah. 
Dengan berpegang pada enam hal tersebut, Insya Allah kita aman dan terjaga walaupun jauh dari keluarga.
                Pengalaman saya pribadi, ‘sukses’ menjalankan poin ke lima, karena ternyata Allah mempertemukan saya dengan jodoh saya di Makassar. Tahun 2003 saya dipersunting oleh seorang putra daerah. Makassar bukan lagi tempat merantau bagi saya, tapi adalah ‘home’ tempat saya melahirkan dan membesarkan anak-anak saya.

                Satu peribahasa yang harus dipegang dan dipahami oleh para perantau di seluruh dunia: di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Di mana kamu berada, hargai dan jalankan adat dan kebiasaan di tempat tersebut

Sabtu, 02 Januari 2016

Cerpen kelima di majalah Bobo: Kejutan Buat Ibu



Kejutan Buat Ibu
Oleh: Kalya Innovie

            Naya itu malas. Begitu kata Ibu. Disuruh les musik, ogah. Disuruh les tari, nggak mau. Disuruh les berenang, geleng kepala. Setiap ditawari les, jawabnya: Ah, itu kelihatannya susah. Hanya satu les saja yang tidak bisa ditolaknya, yaitu les mengaji.
            Sebenarnya niat Ibu baik. Ingin Naya ada kegiatan yang bermanfaat. Selama ini, sepulang sekolah, kerja Naya hanya mendekam di kamar membaca koleksi bukunya. Soal buku ini, Ibu sudah sempat punya ide.
            “Nay, pengarang buku-buku yang kamu baca itu, semua masih anak-anak seperti kamu, lho.”
            “Iya, memang, Bu. Kan ada profil penulis di belakang buku. Ada yang kelas empat seperti Naya, kok.”
            “Nah, kenapa kamu nggak coba nulis juga seperti mereka? Nulis cerita sehari-hari. Latihan dari yang gampang dulu,” usul Ibu.
            Naya melirik Ibu, lalu mengeluarkan kata-kata yang sudah dihafal oleh Ibu.
            “Ah, itu kelihatannya susah, Bu.”
            “Dicoba dulu,” bujuk Ibu.
            “Ah, itu kelihatannya super susah, Bu. Sudah, ya. Naya mau main dulu ke rumah Fika. Dadah Ibu!” Naya cepat beranjak, mencium pipi Ibu sekilas, lalu lari keluar. Menuju rumah Fika, sahabat barunya.
*
            Fika dan keluarganya baru seminggu menempati rumah di sebelah rumah Naya. Pertama datang, keluarga Fika langsung berkeliling berkenalan dengan tetangga dekat. Mama Fika bahkan membawa bolu pandan untuk Naya sekeluarga. Karena Naya dan Fika seumur, mereka dengan cepat saling bersahabat.
            “Fika, main, yuk!” seru Naya memanggil sahabatnya.
            Kepala Fika nongol dari jendela rumah.
            “Hai, Nay, mau main ke mana?”
            “Main ke sungai, atau ke pos ronda, yuk,” ajak Naya. Sungai dan pos ronda adalah dua tempat favorit untuk main anak-anak di kompleks.
            “Mama melarangku main di sungai. Masuk saja, Nay, kita main di rumahku. Kita main sulapan.”
            “Sulapan?” tanya Naya.
            Fika mengajak Naya masuk ke dapur rumahnya. Di situ ada Mama Fika memakai celemek, menghadapi meja yang penuh bahan-bahan kue.
            “Halo, Naya, yuk ikut sulapan sama kami,” ajak Mama Fika sambil tersenyum.
            “Sulapan? Bikin kue, maksudnya?” tanya Naya.
            “Iya. Bikin kue tu kayak sulapan, lho. Coba, bayangin tepung yang kayak bedak ini, bisa jadi kue yang harum dan enak. Kayak disulap, toh?”
            “Sudah, ayo Naya, kamu kocok telur di baskom kecil ini, ya,” Mama Fika menyerahkan baskom pada Naya.
            Tak bisa mengelak, Naya mulai mengocok sebutir telur. Dikocok biasa saja pakai sendok, tidak usah mixer! Mama Fika menambahkan tepung, mentega dan ragi ke dalam baskom.
            “Nah, biar Fika yang menguleni. Naya cukup melihat saja, ya.”
            Naya melihat Fika menguleni adonan kue. Menguleni adalah meremas-remas adonan sampai bisa dibentuk. Dalam beberapa menit, adonan berubah menjadi bongkahan padat dan liat.
            “Nah, ini dibiarkan dulu selama satu jam. Bermainlah dulu kalian di kamar.”
            Fika mengajak Naya menunggu di kamarnya. Setelah satu jam, adonan yang dibiarkan itu rupanya telah mengembang. Mama Fika meninju bongkahan adonan, lalu meminta Naya dan Fika untuk membentuk adonan menjadi bulatan-bulatan berukuran sedang. Lalu bulatan itu dilubangi hingga serupa cincin raksasa. Tahap berikutnya, adonan siap digoreng.
            “Ooh…kita sedang bikin donat?” tanya Naya baru tersadar. Fika dan Mamanya tersenyum lebar.
            “Setelah ini bagian yang paling keren, adalah menyulap donat-donat itu menjadi cantik!” ucap Fika. Ia menyiapkan keju parut, cokelat meses, cokelat pasta, gula-gula kecil warna-warni sebagai hiasan.
            Setelah donat dingin, Naya dan Fika mulai menghias sesuka hati. Berkreasi seindah mungkin. Fika membuat Donat dengan topping cokelat meses campur keju parut. Naya membuat topping selai nanas.
            “Aku belum pernah makan donat topping selai nanas. Tapi tak apalah. Sepertinya itu akan lezat,” ucap Naya.
            “Bagaimana, asyik, kan, menyulap bahan-bahan menjadi kue yang cantik?” tanya Mama Fika.
            “Bikin kue memang seperti sulapan ya, Te. Seperti main-main. Dan ternyata asyik juga,” ucap Naya bersemangat.
            “Nah, bawakan Ibumu beberapa kue hasil kreasimu, ya. Ibumu pasti senang.”
*
            Naya membawa pulang beberapa potong donat hasil kreasinya. Ibu melongo melihat donat-donat cantik yang dibawa Naya pulang. Apalagi saat Naya dengan bergairah menceritakan pengalamannya hari itu.
            “Hmm, donatnya enak, Nay,” puji Ibu mengunyah satu donat.
            “Sekarang, Naya sudah tahu hobi Naya apa selain membaca, Bu. Naya suka sekali sulapan!” seru Naya ceria.
            “Sulapan? Lho, kok, sulapan, sih?” tanya Ibu bingung. Apa hubungannya dengan bikin kue?
            “Maksud Naya, menyulap tepung, telur dan mentega, menjadi kue yang lezat, Bu! Nanti, Naya mau pinjam buku resep Ibu, ya?”

            Ibu mengangguk senang. Ternyata, menggali minat dan bakat Naya, tidak cukup dengan menawarkan berbagai les. Dengan langsung praktek, akhirnya muncul juga minatnya membuat kue. Dengan langsung praktek, nggak ada lagi kata-kata: Ah, itu kelihatannya susah.**
COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES