Selasa, 12 Januari 2016

Pindah dan Adaptasi

Gambar dari google

Di suatu pagi yang sejuk, terlintas dalam pikiran ingin menulis tentang ini, pindah dan adaptasi. Sebagai seorang anak anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), pindah mengikuti orangtua adalah sebuah keniscayaan. Di masa SD, saya menjalaninya di tiga SD yaitu di Semarang, Sumenep dan Sidoarjo. Hal itu membuat masa kecil saya lebih berwarna dan tentu saja teman yang lebih banyak.

Kini setelah saya dewasa (baca=tua), hal yang sama dialami oleh anak saya. Karena satu dan lain hal, dia saya pindahkan dari Jogja ke Makassar tepat di semester dua, kelas 5 SD. Anehnya, awalnya saya yang galau. Tentu saja saya selalu menguatkan dia jauh sebelum pindah, bahwa masa adaptasi pasti akan dijalaninya dengan baik. Tak usah takut juga dengan nilai rapor yang mungkin akan turun pada masa adaptasi, karena saya sebagai orangtua tidak pernah menuntut rapor dengan nilai tinggi. Yang saya inginkan hanyalah anak memahami pelajaran yang diterima dan enjoy di sekolah.

Galaunya saya adalah saat akan pindah, putri saya mengalami banyak momen mengharukan dengan teman-temannya. Menerima banyak surat yang isinya ungkapan rasa suka karena sudah berteman selama ini, dan juga goresan doa-doa agar anak saya sukses di sekolah yang baru. Saya ikut haru dan galau membaca surat-surat dari kawan-kawan putri saya itu. Hingga saya bolak-balik mikir apakah kepindahan ini lebih baik ditunda.

Hingga sampailah saya pada sesi curhat dengan kawan. Saya curhat dengan seorang teman dan advisnya sungguh membuat saya tenang. Begini nasihat teman saya itu:

Ada untung ruginya anak-anak diajak pindah-pindah. Untungnya, anak akan tahu keberagaman budaya. Jadi pas besar gak minder ngadepin orang dari mana-mana. Latihan beradaptasi. Soft skill berkembang. Menjadi bekal kelak jika takdir membawanya merantau.

Yup. Saya lupa bahwa saya juga merasakan hal itu. Dan nasihat itu membawa kenangan saya pada masa lalu. Ketika putri saya bertanya, "Apakah Mama pernah menyesal sekolah pindah-pindah waktu SD?" Saya bisa menjawab mantap. "Tidak. Mama tidak pernah menyesal. Pindah-pindah membuat Mama punya banyak teman. Dan itu membuat Mama punya lebih banyak 'ikatan' dengan berbagai daerah di Indonesia. Itu membuat wawasan Mama lebih berwarna."

Singkat cerita, ini merupakan hari ketiga putri saya di sekolah barunya. Adaptasinya masih butuh beberapa waktu lagi, karena sistem pendidikan yang berbeda. Sekolah lamanya campur cewek-cowok, sekolah barunya memisahkan cewek dan cowok mulai kelas empat. Sekolah lamanya pakai KTSP (kurikulum 2006), sekolah baru pakai Tematik (kurikulum 2013). Ia mengeluhkan peer yang didapat tiap hari dan besoknya sudah harus dikumpulkan. Soal teman? Alhamdulillah, sejauh ini ia bercerita bahwa semua temannya welcome, bahkan berebut mengajaknya ngobrol atau jalan ke kantin saat istirahat.

Masa adaptasi memang merupakan masa yang bikin deg-degan. Deg-degan akan hilang saat diri mulai merasa terbiasa dengan lingkungan sekitar. Nah, sekarang tinggal tugas saya sebagai ibu, selalu memotivasi, mengarahkan pada hal yang baik. Yang paling penting adalah selalu mendoakan semua kelancaran untuk putra dan putri saya menghadapi masa-masa adaptasi ini dan untuk seterusnya, tentu. Dan jangan lupa, sedia kuping dan hati untuk selalu siap mendengarkan curhatan putra-putri tercinta.

Gambar dari rinso.co.id


2 komentar:

  1. sdh ku share di G+ ya..ehhmmm aku kok ga pernah pindah sekolah ya...pingin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih sayyy...sekarang gih...pindah sono. Pindah ke Makassar, mau? Hahaha

      Hapus

COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES