Gambar dari google
Obrolan
dalam sebuah grup yang sering random, kali ini membahas tentang mencontek.
Alkisah ada anggota grup yang sangat marah karena salah satu temannya yang nota
bene kuliah lagi di sebuah perguruan tinggi, melakukan perbuatan mencontek.
Menconteknya nggak tanggung-tanggung, pakai hp, bertanya pada si anggota grup
itu. Obrolan meluas dan para pendidik di dalam grup pun urun pendapat. Tegas
menolak perbuatan curang demi pendidikan karakter.
Aku
termenung dan kemudian asyik dalam perjalanan lamunanku sendiri. Merunut ke
belakang, mencari-cari di mana aku mulai mencontek? Atau diberi contekan?
Ingatanku jatuh saat kelas lima SD. Waktu itu aku ujian dan duduk dengan kakak
kelas enam. Kebetulan kakak kelas enam itu adalah tetangga sebelah rumah. Tapi
kami tidak terlalu akrab sebagai tetangga. Masih saya ingat, ujiannya ujian
bahasa daerah. Sebelum ujian, Pak Mustafa guru kami melewati bangku kami dan
tersenyum. Ya, dia tau kami tetanggaan.
Pak
Mustafa bilang, “Kuwi adik kelase ngko diwarahi, yo?” (Itu, adik kelasnya nanti
diajari, ya).
Ujian
berlangsung aman. Soalnya susah, tapi tentu saja aku nggak minta contekan.
Gengsi ah. Eh, ternyata malah sang kakak kelas yang tiba-tiba bisik-bisik
menunjuk satu soal di kertas ulanganku.
“Itu
jawabannya bukan isuk subuh, dek. Yang bener isuk umun-umun,” ujarnya.
Hmm,
aku sudah tahu jawabanku ini pasti salah. Baiklah, terima kasih kakak kelas,
jawabanku kuganti. Itulah pertama kali aku cheating. Tapi bukan atas kemauanku
lo ya (pembelaan diri, hehhe).
*
Ingatanku kembali membawa ke masa SMP, waktu ujian juga. Ada
telunjuk mencolek punggungku.
“Sst …
nomor 2 jawabannya apa?”
Wuih,
yang nanya si Amin, biang kerok di kelas dua. Keringat meluncur di pelipisku.
Aku takut kalau nggak ngasih contekan, nanti pulang sekolah aku dipukul. Jari
kananku memberi kode huruf yang harus disilang. Pulang sekolah, Amin
menghampiriku.
“Itu
tadi A kan, jawabannya?”
“Eh …
maksudku, itu B.”
“Lho,
kok jarimu tadi bentuknya kayak gitu, sih?”
“Ya
maaf…,”
Yah,
aku memberi contekan tapi tidak termanfaatkan dengan baik, kan (pembelaan diri
lagi, hehhe).
*
Ingatan
di masa SMA, buntu. Entah pernah nyontek atau tidak. Waktu kuliah S1 karena
hafalannya luar biasa banyak, kadang bikin kepekan di meja. Maksudnya nulisin
meja gitu…tapi biasanya sih yang ditulis nggak keluar di ujian (pembelaan diri
lagi). Kuliah S2, banyakan open book dan ada teman yang suka jalan-jalan pas
ujian, jalan-jalan sambil ngintip jawaban teman lainnya, haha. Kuliah S3, ujian
banyakan diganti dengan paper. Kalau paper nggak bisa nyontek, kan. Paling
jatuhnya plagiat paper lain. Tapi sebagai peneliti sekaligus penulis, aku anti
plagiat.
Tapi
ada satu kejadian menarik pas ujian beberapa waktu lalu. Dosennya lagi sedeng
kali. Ada soal yang bunyinya: Sebutkan 10 prinsip bla bla bla… wess…yang
namanya 10 prinsip anu anu itu kan harus pleg dengan buku sumber. Masak prinsip
mau kita ganti-ganti sendiri. Dan blas 10 prinsip itu gak ada di otakku. Eh, di
otak teman-teman apa lagi. Dan ketika yang njaga ujian keluar, salah satu teman
buka tab dan mengucapkan dengan lantang ke sepuluh prinsip tersebut. Yang lain
nyalin. Sungguh ujian yang sangat rusuh. Tapi cuma di satu nomor itu lho
(pembelaan diri).
Begitulah
ceritaku. Ada saat-saat di mana situasi dan kondisi menyebabkan kita ‘harus’
mencontek. Wuih, jangan ada anak sekolah yang baca tulisanku ini ya. Aku teringat
kisah lain saat teman-teman honorer di kantorku harus ujian masuk PNS. ‘Kebijakan’
kepala kantor adalah ada beberapa rekan yang ditempatkan sebagai pengawas ujian
dan bertugas memastikan teman-teman honorer lolos ujian. Banyak pertimbangan,
antara lain mereka sudah berjasa, sudah lama jadi honorer gak
diangkat-diangkat, dan lain sebagainya.
Lalu
dalam melaksanakan tugas kantor? Sistem manajemen pemerintahan kadang juga
membuat kita harus melakukan beberapa rekayasa. Tanggal kepergian tugas yang
tidak sesuai kenyataan, pinjam nama teman lain untuk kelancaran administrasi,
menandatangani sesuatu yang samar-samar, dan beberapa hal lain. Allah ampuni
hamba.
Maksudku
apa menulis ini semua? Semacam pengakuan dosa? Tidak. Hanya berbagi. Hanya
mencoba untuk jujur. Hanya tidak ingin menghakimi. Hanya ingin introspeksi
diri. Karena di saat telunjuk kita menuding orang lain, maka empat jari
tertuding pada diri kita sendiri. Sudah sucikah kita? Astaghfirullahal adziim….
Pendapatku
tentang perbuatan curang adalah sesuai normalitas. Aku membencinya. Walaupun
aku pernah melakukannya. Semoga Allah memaafkan semua kekhilafanku sebagai
manusia biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar