Minggu, 03 Januari 2016

Merantau


Ini adalah sebuah kisah keping mozaik perjalanan hidup, semoga dapat menginspirasi teman-teman yang sedang berada jauh dari kampung halaman.

Merantau menurut  wikipedia, adalah perginya seseorang dari tempat ia tumbuh besar ke daerah lain untuk mencari pekerjaan atau pengalaman. Merantau, merupakan hal yang biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia yang hidup dalam sebuah negara kepulauan. Bahkan demi pemerataan pembangunan, pemerintah turut menyuburkan budaya merantau, salah satunya adalah dengan memasukkan satu klausul perjanjian yang  ditandatangani seorang calon PNS untuk bersedia ditempatkan di seluruh Indonesia.
Laki-laki yang merantau adalah hal yang biasa, namun perempuan perantau adalah istimewa. Saya salah satunya, perempuan perantau karena alasan pekerjaan.
                Tahun 1998 saya melamar kerja di Departemen Kehutanan. Proses pemeriksaan berkas lamaran, tes tulis, wawancara, psiko tes dan tes kesehatan merupakan rangkaian panjang tes yang harus dijalani dan memakan waktu beberapa bulan. Akhir Juni 1999 saya menerima surat penempatan kerja di sebuah kantor kehutanan di Ujung Pandang, dengan catatan harus segera melapor tanggal 1 Juli. Praktis, saya hanya mempunyai waktu sekitar satu minggu untuk bersiap-siap.
                Kedua orang tua saya merasa senang anak bungsunya akhirnya mendapatkan pekerjaan. Walaupun demikian, mereka juga sempat cemas karena lokasi penempatan yang teramat jauh dan kami juga tidak mempunyai kerabat yang dapat ‘menampung’ saya untuk sementara. Orang tua saya bertanya, apakah saya akan menerima atau menolak saja peluang tersebut.
                Saya pribadi, yang dari kecil hingga perguruan tinggi tidak pernah jauh dari keluarga (SMP – perguruan tinggi di Malang), tidak merasa gentar dengan penempatan itu. Sebaliknya saya merasa bergairah karena akan mengunjungi sebuah daerah baru yang asing. Dan lagi ini merupakan kesempatan dan anugerah dari Allah yang tak boleh saya sia-siakan, setelah sebelumnya sekitar tujuh puluh surat lamaran saya kirimkan ke berbagai instansi dan perusahaan, tapi tidak ada hasil yang memuaskan.
                Selain kedua orang tua yang sibuk mencari daftar teman dan kerabat yang tinggal di Ujung Pandang, saya juga memutar otak mencari kenalan yang tinggal di sana. Saya teringat bahwa kakak sahabat saya semasa SMU bekerja di kota tersebut. Langsung pada kesempatan pertama saya menghubungi sahabat saya. Akhirnya saya mempunyai tujuan sementara di Ujung Pandang, yaitu rumah saudara sepupu sahabat saya. Kakak sahabat saya yang juga sedang bekerja di Ujung Pandang,  menyanggupi untuk menjemput saya di pelabuhan.
                Demikianlah, akhirnya saya berangkat naik kapal Lambelu menuju Ujung Pandang. Alhamdulillah, di kapal ini ternyata salah seorang kerabat jauh dari Mama saya yang berasal dari Lamongan, bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK). Kami pun menghubungi beliau – Om Jais – sehingga akhirnya saya dan dua orang teman saya mendapatkan fasilitas kelas, walaupun memegang tiket ekonomi.
                Singkat cerita, setelah diterima di kantor dan mengenal rekan-rekan kerja, saya memutuskan untuk keluar dari rumah sepupu sahabat saya. Awalnya saya kos di sebuah rumah kos dengan lokasi relatif dekat kantor. Hanya satu bulan saya kos di sana karena merasa tidak sreg tinggal di tempat kos campur laki-laki dan perempuan. Saya kemudian memutuskan untuk kontrak rumah di dekat kantor bersama dua orang sesama pegawai baru yang kemudian menjadi sahabat-sahabat terbaik saya dirantau. Bertiga kami menjalani takdir, mengais rejeki di bumi Ujung Pandang yang tak lama kemudian di sebut dengan Kota Makassar.
                Sekarang setelah lebih dari sepuluh tahun merantau, ada beberapa hal yang saya pahami dan yakini efektif dalam menjaga diri kita – kaum perempuan – saat merantau, antara lain:
1. Berpegang teguh pada ajaran agama, menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah; 
2. Komunikasi dengan keluarga di tempat asal harus rutin dilakukan agar kedua belah pihak merasa tenang;
3. Jalin pertemanan dengan orang-orang baik, yang dapat memotivasi kita untuk selalu berada di jalan kebenaran; 
4. Ramah dan beradaptasi dengan budaya dan lingkungan yang berbeda dengan tempat asal; 
5. Lebih baik menambah saudara daripada menambah musuh; 
6. Selalu bersyukur atas nikmat pekerjaan yang diberikan Allah. 
Dengan berpegang pada enam hal tersebut, Insya Allah kita aman dan terjaga walaupun jauh dari keluarga.
                Pengalaman saya pribadi, ‘sukses’ menjalankan poin ke lima, karena ternyata Allah mempertemukan saya dengan jodoh saya di Makassar. Tahun 2003 saya dipersunting oleh seorang putra daerah. Makassar bukan lagi tempat merantau bagi saya, tapi adalah ‘home’ tempat saya melahirkan dan membesarkan anak-anak saya.

                Satu peribahasa yang harus dipegang dan dipahami oleh para perantau di seluruh dunia: di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Di mana kamu berada, hargai dan jalankan adat dan kebiasaan di tempat tersebut

4 komentar:

  1. aku merantau ke Jogja, sukses di poin ke lima juga, tapi heu heu heu...akhirnya heu heu heu

    BalasHapus
  2. Saya juga orang rantau mb. Salam kenal :-)

    BalasHapus
  3. Salam kenal juga Mbak Fubuki Aida, terima kasih sudah berkunjung di blog saya, ya :)

    BalasHapus

COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES