Ini adalah sebuah kisah keping mozaik perjalanan hidup, semoga dapat menginspirasi teman-teman yang sedang berada jauh dari kampung halaman.
Merantau menurut wikipedia, adalah perginya seseorang dari
tempat ia tumbuh besar ke daerah lain untuk mencari pekerjaan atau pengalaman.
Merantau, merupakan hal yang biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia yang
hidup dalam sebuah negara kepulauan. Bahkan demi pemerataan pembangunan,
pemerintah turut menyuburkan budaya merantau, salah satunya adalah dengan
memasukkan satu klausul perjanjian yang
ditandatangani seorang calon PNS untuk bersedia ditempatkan di seluruh
Indonesia.
Laki-laki yang merantau adalah
hal yang biasa, namun perempuan perantau adalah istimewa. Saya salah satunya,
perempuan perantau karena alasan pekerjaan.
Tahun
1998 saya melamar kerja di Departemen Kehutanan. Proses pemeriksaan berkas
lamaran, tes tulis, wawancara, psiko tes dan tes kesehatan merupakan rangkaian
panjang tes yang harus dijalani dan memakan waktu beberapa bulan. Akhir Juni
1999 saya menerima surat penempatan kerja di sebuah kantor kehutanan di Ujung
Pandang, dengan catatan harus segera melapor tanggal 1 Juli. Praktis, saya
hanya mempunyai waktu sekitar satu minggu untuk bersiap-siap.
Kedua
orang tua saya merasa senang anak bungsunya akhirnya mendapatkan pekerjaan.
Walaupun demikian, mereka juga sempat cemas karena lokasi penempatan yang
teramat jauh dan kami juga tidak mempunyai kerabat yang dapat ‘menampung’ saya
untuk sementara. Orang tua saya bertanya, apakah saya akan menerima atau
menolak saja peluang tersebut.
Saya pribadi,
yang dari kecil hingga perguruan tinggi tidak pernah jauh dari keluarga (SMP –
perguruan tinggi di Malang), tidak merasa gentar dengan penempatan itu.
Sebaliknya saya merasa bergairah karena akan mengunjungi sebuah daerah baru
yang asing. Dan lagi ini merupakan kesempatan dan anugerah dari Allah yang tak
boleh saya sia-siakan, setelah sebelumnya sekitar tujuh puluh surat lamaran
saya kirimkan ke berbagai instansi dan perusahaan, tapi tidak ada hasil yang
memuaskan.
Selain
kedua orang tua yang sibuk mencari daftar teman dan kerabat yang tinggal di
Ujung Pandang, saya juga memutar otak mencari kenalan yang tinggal di sana.
Saya teringat bahwa kakak sahabat saya semasa SMU bekerja di kota tersebut.
Langsung pada kesempatan pertama saya menghubungi sahabat saya. Akhirnya saya
mempunyai tujuan sementara di Ujung Pandang, yaitu rumah saudara sepupu sahabat
saya. Kakak sahabat saya yang juga sedang bekerja di Ujung Pandang, menyanggupi untuk menjemput saya di pelabuhan.
Demikianlah,
akhirnya saya berangkat naik kapal Lambelu menuju Ujung Pandang. Alhamdulillah,
di kapal ini ternyata salah seorang kerabat jauh dari Mama saya yang berasal
dari Lamongan, bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK). Kami pun menghubungi
beliau – Om Jais – sehingga akhirnya saya dan dua orang teman saya mendapatkan
fasilitas kelas, walaupun memegang tiket ekonomi.
Singkat
cerita, setelah diterima di kantor dan mengenal rekan-rekan kerja, saya
memutuskan untuk keluar dari rumah sepupu sahabat saya. Awalnya saya kos di
sebuah rumah kos dengan lokasi relatif dekat kantor. Hanya satu bulan saya kos
di sana karena merasa tidak sreg tinggal di tempat kos campur laki-laki dan
perempuan. Saya kemudian memutuskan untuk kontrak rumah di dekat kantor bersama
dua orang sesama pegawai baru yang kemudian menjadi sahabat-sahabat terbaik
saya dirantau. Bertiga kami menjalani takdir, mengais rejeki di bumi Ujung
Pandang yang tak lama kemudian di sebut dengan Kota Makassar.
Sekarang
setelah lebih dari sepuluh tahun merantau, ada beberapa hal yang saya pahami
dan yakini efektif dalam menjaga diri kita – kaum perempuan – saat merantau, antara lain:
1.
Berpegang teguh pada ajaran agama, menjalankan perintah dan menjauhi larangan
Allah;
2. Komunikasi dengan keluarga di tempat asal harus rutin dilakukan agar
kedua belah pihak merasa tenang;
3. Jalin pertemanan dengan orang-orang baik,
yang dapat memotivasi kita untuk selalu berada di jalan kebenaran;
4. Ramah dan
beradaptasi dengan budaya dan lingkungan yang berbeda dengan tempat asal;
5.
Lebih baik menambah saudara daripada menambah musuh;
6. Selalu bersyukur atas
nikmat pekerjaan yang diberikan Allah.
Dengan berpegang pada enam hal tersebut,
Insya Allah kita aman dan terjaga walaupun jauh dari keluarga.
Pengalaman
saya pribadi, ‘sukses’ menjalankan poin ke lima, karena ternyata Allah
mempertemukan saya dengan jodoh saya di Makassar. Tahun 2003 saya dipersunting
oleh seorang putra daerah. Makassar bukan lagi tempat merantau bagi saya, tapi
adalah ‘home’ tempat saya melahirkan dan membesarkan anak-anak saya.
Satu
peribahasa yang harus dipegang dan dipahami oleh para perantau di seluruh
dunia: di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Di mana kamu berada,
hargai dan jalankan adat dan kebiasaan di tempat tersebut
aku merantau ke Jogja, sukses di poin ke lima juga, tapi heu heu heu...akhirnya heu heu heu
BalasHapusikut heuheuheu ... hiks hiks hiks
BalasHapusSaya juga orang rantau mb. Salam kenal :-)
BalasHapusSalam kenal juga Mbak Fubuki Aida, terima kasih sudah berkunjung di blog saya, ya :)
BalasHapus