Jumat, 24 Juni 2016

Emha Ainun Najib di Sahurku – Day 19 Fasting

Sahur pagi ini sangat istimewa. Semua bermula ketika saya bawa piring makan saya di depan televisi dan melihat ibu kos sedang khusyuk menonton acara pengajian Kyai Kanjeng. Pengajian malam-malam Cak Nun di sudut Jogja yang ditayangkan ulang saat sahur di AdiTV. Bu Kos masih ngadepi TV (duduk dekat banget dengan televisi), ketika kusapa,

“Wah, ibu suka nonton pengajiannya Cak Nun?” tanyaku heran.

Ibu tersenyum.

“Ya, baru ini kok, Mbak. Ini yang nikah sama Novia Kolopaking itu kan, Mbak? Kok sudah tua, ya?”

Hahaha, ternyata bu kos lagi kepo toh.

“Iyalah, Bu. Dulu nikah sama Novia juga kan sudah tua, sudah duda,” sahutku.

Wah, pagi-pagi jadi nggibahin Cak Nun, nih. Astaghfirullah. Maaf ya, Cak Nun.

Akhirnya bu kos duduk menjauh, tapi tidak mengganti channel televisi. Tetap mantep menonton sambil mencari-cari siapa tahu Mbak Novia nongol. Tapi rupanya pagi itu Mbak Novia nggak ikut syuting. Jadilah saya dan bu kos mengikuti kajian Kyai Kanjeng dengan khusyuk.


Ini lho, Bu Kos ... Mbak Novia masih semaniz yang dulu

Saya sendiri belum pernah menonton acara Cak Nun ini. Tahu sih kalau stasiun televisi lokal Jogja itu selalu menayangkan Kyai Kanjeng. Tapi entahlah saya selalu kurang tergerak untuk mencermatinya. Saya lebih memilih menonton tausiyah Mamah Dedeh, Ustd Maulana atau AA Gym dan sesekali Ustd YM.

Kali ini saya ‘terpaksa’ menonton Cak Nun dan Masya Allah … ternyata sungguh saya tersentuh oleh gaya beliau. Saat sedang bertausiyah, saya masih kurang konsen karena lebih konsen berperang melawan sayap ayam bumbu opor di piring saya, tapi saat tanya jawab, saya terpaku menatap monitor televisi. Terpesona, manggut-manggut, lalu tertawa-tawa penuh kagum melihat gaya Cak Nun menjawab pertanyaan. Mungkin cara saya menuliskannya berikut ini tak akan bisa menggambarkan hebohnya pengajian Cak Nun, tapi baiklah saya coba berbagi di sini, ya.


Gaya Cak Nun yang ekspresif

Penanya pertama seorang anak muda santun yang mengeluh bahwa ia ingin mengajari anak-anak di sekitar tempat tinggalnya mengaji. Tapi mengapa anak-anak ini kurang sopan-santun. Kalau ia memberi hukuman sedikit saja juga sudah heboh lapor kepada orangtua. Bagaimana sebagai guru ia harus bersikap?

Penanya kedua seorang bapak berusia 40-an tahun. Ia mengaku selama ini belum tertarik belajar agama secara benar. Baru sekaranglah ia tertarik untuk belajar pada seorang guru/ulama. Tapi ia bingung mau belajar pada yang mana, karena menurutnya ulama-ulama itu kok semua pada bertolak belakang. Yang satu bilang A, yang lain bilang B. Padahal menurut si bapak, di akhirat nanti kita kan dikumpulkan bersama guru-guru kita. Nah, kalau kita pilih guru yang salah, kita masuk neraka, dong. Kalau ikut ulama-ulama itu sama-sama masuk neraka, mending tidak usah belajar agama saja. Atau bagaimana, Cak Nun? (pertanyaan ini menurutku unik tenan dan rada menggelikan, belajar agama wae bingunge eram, lha mbok yo teka sak ithik, ngafalke surat-surat sik wae misale, yo? Lho kok saya yang komen ya? Pake Javanese pulak … wkkk. Lanjut…).

Penanya ketiga seorang mbak-mbak berbaju pink yang seseg atinya. Kelihatan bahwa ia sudah memendam pertanyaan ini sebagai kegundahan hatinya sejak lama. Begini pertanyaannya:

“Saya itu resah. Di keluarga besar saya, ada pemahaman bahwa orang yang sudah meninggal, hanya ada tiga amal jariyah yang tak akan putus pahalanya. Satu ilmu yang bermanfaat, sodakoh jariyah dan anak soleh yang mendoakan. Pakde saya memahami hal tersebut dan melarang saya ke pemakaman. Padahal saya ingin mendoakan kakak saya, kakek saya dan keluarga saya yang sudah meninggal. Kata Pakde doa saya tidak akan nyampe. Ora bakal Kabul! Bagaimana Cak Nun? Apakah kalau kakak saya belum punya anak, belum sempat beramal jariyah dan belum sempat menyebarkan ilmu, lalu saya tidak dapat mendoakannya? (si mbak sudah mingsek-mingsek menahan perasaannya … dan saat saya menuliskan kalimat ini, saya juga jadi baper dan menangis terisak-isak). Bagaimana cara saya mengatasi masalah saya ini?

Cukup tiga penanya, Cak Nun dengan sangat kharismatik mulai menjawab pertanyaan:

“Baiklah, saya jawab langsung urut dari pertanyaan mbaknya, karena ini perlu dijawab cepat supaya tenang hatinya. Orang yang meninggal, terputus amal kebajikannya, kecuali tiga hal. Ilmu yang bermanfaat, sodakoh jariyah dan anak yang soleh. Maksudnya, orang meninggal itu sudah nggak bisa ngapa-ngapain lagi. Sudah nggak bisa sholat, nggak bisa ngaji, nggak bisa ke pasar. Sedangkan soal doa, itu masalah yang berbeda. Lha wong kamu mendoakan saya saja bisa (Cak Nun mengutip ayat tentang bagaimana Allah menyuruh kita untuk saling mendoakan pada kaum muslimin dan muslimat). Apa kita hanya bisa mendoakan bapak kita saja atau ibu kita saja? Tidak. Dan orang yang suka mengklaim bahwa doa itu Kabul atau nggak Kabul itu sama dengan FIR’AUN! Kabul atau nggak Kabul doa kita itu terserah ALLAH! Kemudian masalah ziarah kubur, nggak papa, silakan kamu ziarah kubur. Pakdemu itu berarti menganggap bahwa orang meninggal itu sudah tidak ada. Mereka itu ada, tapi berada di dimensi yang lain dengan kita. Coba saya tanya (Cak Nun menatap audience). Bung Karno itu ada atau tidak? Hadirin ragu-ragu menjawab (Cak Nun jadi nggak sabar). Sekarang saya tanya: Nabi Muhammad itu ada atau tidak!! Baru dehh pada koor menjawab ADAAAA. Nah … ADA! Ngapain kita susah-susah ALLAHUMMA SALLI ALAA MUHAMMAD kalau Nabi itu nggak ada. Orang-orang yang sudah meninggal itu semua masih ada. Maka kalau di kuburan biasa Nabi memberi salam “Assalamualaikum yaa ahli kubuur – assalamualaikum (Cak Nun mencontohkan dengan menunduk-nunduk sambil mengangkat tangan, lalu cepat tegap kembali), kalian kira Rasulullah itu gila, sampai seperti itu?”
Mbak, nanti kalau kamu pulang, bilang sama pakdemu, “Pakde saya doain masuk neraka.” Terus kalau pakdemu marah … jawab saja. Jangan marah pakde … doaku kuwi ora bakal KABUL wong kowe duduk wong tuoku, wong cuma PAKDE (di sini saya terbahak-bahak, apalagi bahasa tubuh Cak Nun sangat kocak).
Nah, sudah paham, Mbak? Kamu ziarah saja nggak apa-apa. Doakan kakakmu. Adapun Pakdemu, kalau nggak kepepet nggak usah kamu lawan. Tetap santun. Kalau ngeyel ya tadi itu, kamu doakan saja dia masuk neraka.
Si Mbak terlihat lebih tenang. Cak Nun sempat komen: Baru kali ini saya dapat anugerah bisa melihat orang menangis sambil tertawa. (Hahaha, memang jawaban Cak Nun sangat kocak tapi sekaligus sangat mengena. Saya bisa memahami perasaan Mbak itu pasti plooooong hatinya).

Jawaban untuk pertanyaan kedua tak kalah lucu tapi juga masuuuuk banget.

Dapat hadist darimana itu kalau di akhirat kita akan berbaris di belakang guru masing-masing? Lha wong guru di dunia ini sangat banyak. Ada guru SD, SMP, SMA, belum guru-guru yang lain. Lha kamu mau baris di belakang yang mana? Lha jadinya sangat banyak barisan di akhirat itu. (Saya ngikik-ngikik). Di akhirat nanti itu tidak ada NU, tidak ada Muhammadiyah, tidak ada LDII, semua satu umat di bawah Rasulullah. Kalau mau belajar Islam, belajar dengan banyak guru lebih baik (Detilnya saya nggak bisa menuliskan, intinya jawaban Cak Nun seperti itu. Jawaban aslinya lebih lucuuu, saya banyak tertawa jadi kadang missed nyemaknya, hehehe).

Penanya ketiga dinasihati oleh Cak Nun bahwa kalau ingin mengajari ngaji ya mengajari ngaji saja. Tapi kalau ingin anak-anak santun, yang diajari pertama adalah TAUHID, dan kedua AKHLAKUL KARIMAH atau akhlak yang baik.
Tauhid artinya anak harus paham akan keesaan Allah. Menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Akhlakul karimah, paling gampang adalah HINDARI MO LIMO, yaitu: Main (judi), Maling (mencuri), Madat (narkoba dan sejenisnya), Minum (minuman yang memabukkan), Madon (main perempuan – berzinah).

Demikian pencerahan yang  saya dapatkan dari Cak Nun di sahur pagi ini. Cak Nun adalah seseorang yang sangat memBUMI sekaligus meLANGIT pada saat yang bersamaan. Itu kesan saya dalam perjumpaan kali ini. Perjumpaan yang lebih lama daripada sebelumnya yang hanya sekilas-sekilas saja (Maksud saya semua perjumpaan itu melalui televisi lho ya, hehe).

Ternyata di masyarakat umum masih ada interpretasi-interpretasi agama yang sangat menyimpang. Orang-orang seperti Cak Nun ini sangat bagus, dapat menjangkau sampai relung hati orang-orang di pelosok-pelosok negeri. Hati saya hari ini biru oleh tausiyah Cak Nun. Hati Anda yang membaca artikel saya ini gimana? Biru juga, apa merah? Hehe, terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat.





2 komentar:

  1. saluuuttt sama ibu kosmu, besar jiwa tuh,,,pikirannya terbuka

    BalasHapus
    Balasan
    1. sedangkan aku nek ada acara tipi ibadah agama lain langsung pindah channel.

      Hapus

COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES