Seorang laki-laki harus menomorsatukan cinta dan patuh kepada ibunya,
sedangkan seorang perempuan harus menomorsatukan cinta dan patuh pada suaminya setelah ia menikah (sebelum menikah tentunya pada orangtua). Demikian Islam
mengajarkan, walaupun dalam praktiknya mungkin banyak tidak sesuai dengan
teori.
Seorang lelaki kadang terlalui mencintai istrinya hingga
menafikan ibunya. Seorang perempuan demikian tunduk pada orangtua hingga
mengabaikan suaminya.
Seharusnya pakem di atas tidak mengakibatkan seseorang itu
menjadi berat sebelah. Karena kitapun dianjurkan untuk berlaku adil.
Seorang ibupun harus mengerti sebatas mana ia harus
mencintai anak lelakinya. Tentu ia mencintai anaknya sepanjang masa, namun ia
harus sadar sang anak membutuhkan cinta yang berbeda dari seorang perempuan
seusia. Ibu pun harus pandai-pandai berbagi dengan menantu perempuan. Tak usah
menganggap menantu sebagai saingan, anggap menantu sebagai karunia Allah yang
akan membuat hidup anak lelakimu semakin indah dan nyaman.
Seorang anak perempuan pun, jika telah menjadi seorang
istri, harus dapat memahami kedudukan suaminya dalam menyambung silaturahim
dengan sang ibu. Tak perlu cemburu atau iri, bahkan harus bangga jika suamimu
sangat mencintai ibunya. Dukunglah suami dengan ikut menyayangi mertuamu
seperti engkau menyayangi orangtuamu. Kalau engkau sayang ibu suamimu, tentu
akan bertambah-tambah sayangnya suamimu padamu. Dan kelak engkau akan mendapat
balasan cinta yang abadi dari anak lelaki yang kaulahirkan.
Donna Harun dan menantunya ... kompak yaaa
Seorang anak lelaki yang sudah menjadi suami, harus pandai-pandai
bersikap. Cintamu pada bunda, jangan membuat istrimu merasa tersisih, demikian
sebaliknya. Senyumlah dengan senyum yang sama, bercanda dan berkomunikasi.
Ucapkan kata-kata yang baik. Cintamu pada bunda, adalah mutlak. Cintamu pada
istrimu harus kau bangun dengan kesabaran karena mungkin ia tak selalu sempurna
baik di matamu maupun di mata ibumu. Ia berasal dari keluarga yang berbeda
habit dan budaya serta harus meninggalkan orangtuanya demi kamu. Sudah
selayaknya engkau baik kepadanya, dan mengusahakan agar istrimu merasa nyaman
di rumahmu, dan merasa nyaman berinteraksi dengan ibumu.
Hmmm, semua yang saya tulis di atas itu sebenarnya hanya
prolog dari apa yang akan saya ceritakan. Prolog e kok jadi panjang gitu, ya
sudahlah. Nggak apa-apa.
Saya ingin bercerita tentang Mas Adjie, anak ibu kos.
Seperti yang sudah saya ceritakan di postingan terdahulu, anak ibu kos yang
kedua kerja di Jakarta. Ia kerja di sebuah rumah produksi periklanan. Jam
kerjanya gila-gilaan. Kalau ada job iklan, bisa dirampungkan dari pagi ke pagi
berikutnya. Bisa dibayangkan sibuknya Mas Adjie ini kan?
Namun di balik kesibukannya mencari rupiah di belantara
Jakarta, ia tak pernah melewatkan sehari pun dalam hidupnya untuk menghubungi
ibunya via telepon. Bahkan bisa sampai sehari tiga kali seperti minum obat!
Masya Allah.
Awalnya saya hanya manggut-manggut saja waktu bapak kos
cerita tentang Mas Adjie.
“Adjie itu sayang banget sama istri saya. Tiap hari telepon
ibunya.”
Kemudian saya mulai sering memergoki ibu berbincang dengan
putra bungsunya itu via telepon. Dalam percakapan itu, ibu bercerita tentang
kegiatannya sehari-hari. Sempat pula saya dengar curhat tentang suatu persoalan
dengan suara penuh emosi. Lain waktu saya dengar ibu menanggapi cerita
bungsunya tentang job yang sedang dikerjakan. Akhirnya saya juga berkesempatan
berbincang langsung dengan ibu tentang bungsu kesayangan ini.
“Adjie itu paling sayang sama saya. Dia paling marah kalau
ada yang jahat sama saya. Dia paling nggak mau lihat saya nangis. Tiap hari
selalu telepon saya, walau hanya bertanya ibu lagi ngapain, ibu sehat nggak,
ibu masak apa. Kalau dia sedang di rumah, saya senang, Mbak. Rajiin dia.
Bantuin saya masak (sebelum kerja di PH anak ibu kos ini sempat kerja di dapur
hotel dan juga staf di acara kuliner di salah satu stasiun televisi swasta). Dapur selalu bersih
karena dia masak lebih rapi dari saya. Kerjanya juga lebih cekatan.”
Dalam bayangan saya
langsung ada visualisasi ibu dan anak lelaki tandem masak untuk dijual di
warung (bu kos saya kan punya warung makan). Masak berdua sambil sesekali
bercanda dan tertawa hangat. Ooh … so sweet yaaa…
Bu kos melanjutkan ceritanya:
“Kalau pulang ke sini dia tuh nggak pernah bilang-bilang
dulu, Mbak. Tapi begitu sampai, mulai dari pintu depan sudah teriak-teriak
panggil saya… Ibukkkk…Ibukkuuuu yang kusayang… Lalu dipeluknya saya saat sudah
ketemu.”
Bu kos bercerita dengan senyum kebanggaan dan tentu dengan
cinta dan rasa kangennya pada sang putra.
“Mas Adjie sudah punya calon istri belum, Bu?” tanya saya.
“Sudah. Perawat di Jakarta juga. Sudah pernah ke sini tiga
kali. Dulu sebelum kenal sama pacarnya ini, saya sempat bilang sama Adjie.
Kalau cari istri, carilah perawat. Pasti dia telaten menjaga kesehatanmu dan
keluargamu. Di samping itu seorang perawat akan selalu dibutuhkan di manapun.
Banyak tempat kerja bangkrut, tapi rumah sakit nggak akan pernah bangkrut.”
Hmmm, lucu juga pandangan bu kos ini, ya. Tapi jelas ada
benarnya. Bagus, bagus. Ini yang namanya realistis.
“Sejak itu, Mbak. Tiap dekat sama perempuan, pasti selalu
perawat.”
Hmmm, so sweet. Apa hanya kebetulan, atau ia memang mencari
perawat juga dalam rangka patuh pada perintah sang bunda, ya? Saya langsung
bervisualisasi seorang lelaki bertubuh tinggi besar (seperti deskripsi dari bu
kos), pada jam-jam kosongnya nongkrong bukan di kafe tapi di depan rumah sakit
sambil mengamati perawat cewek yang lewat. Terus kalau ada yang menarik
perhatian, langsung mendekat dan ngajak kenalan. Hahaha… absurd dah gue.
Hmmm, gimana menurut kalian? So sweet banget kan cinta Mas
Adjie pada ibunya? Cinta Mas Adjie ini juga sempat menampar-nampar kesadaran
saya. Heiii bukk, berapa kali dalam sebulan kau telepon orangtuamu? Pulsa
jangan diirit-irit …. Nanti menyesal di kemudian hari, loh. Heiii bukkk, berapa
kali dalam seminggu telepon suamimu (lagi LDR kan, ceritanya). Yah, saya
terpaksa mengangguk pilu. Dalam agenda pengiritan saya, saya memilih mengirim
whatsapp kepada suami dan ortu tercinta. Doeeeeng…. Apaaa? Dah gak
usah lebay deh…sesekali juga saya telepon kok. Hiks.
Demikian cerita saya hari ini. Cuss, habis baca segera
telepon ya? Bisa ke ibu, ayah, atau suami/istrimu. Kalau posisimu belum punya
suami/istri dan sudah nggak punya ortu, telepon aja seseorang yang paling kau
sayang dalam hidupmu. Dan bilang bahwa kau sangat menyayanginya. Karena kalau
bisa mengucapkan hari ini, kenapa harus menunggu besok? Ah, saya mulai mellow …
see you tomorrow….
Catatan:
Semua gambar dalam artikel ini diambil dari google.
saran bu kos buat nyari calon istri perawat boleh juga tuh. :v
BalasHapusIstrinya perawat, ya, Mas? Hehehe. Terima kasih sudah singgah, ya.
Hapus