Pertama kali aku mengenalnya kurang lebih dua tahun yang
lalu, dalam sebuah acara kopdar Ibu-ibu Doyan Nulis Jogjakarta (IIDN Jogja).
Dia masih baru. Mengenalkan dirinya dengan lembut dan bercerita tentang sebuah
ide tulisan. Sebuah ide yang sangat cemerlang, dan pasti laku dijual.
Seiring
bersamanya waktu, ternyata takdir mengikat kami dalam sebuah pertemanan yang
lebih erat. Aku mulai mengenalnya makin dekat. Memahami passionnya dalam
kegiatan-kegiatan sosial, dan mengagumi pengetahuannya yang luar biasa tentang
Jepang. Dia mengenalkan aku dan beberapa teman pada Luna dan Julio, dua orang
balita berkebutuhan khusus, yang mengetuk hati kami hingga sedalam-dalamnya.
Menyadarkan pada kami betapa beruntungnya kami hidup dengan tubuh yang sehat
dan dikaruniai anak-anak yang sehat. Dia mengajarkan dan mengenalkan budaya
Jepang dengan luwes, membimbing kami memakai yukata (pakaian tradisional
Jepang) dan menuntun kami tahap-tahap pembuatan makanan Jepang. Dia –
memperkaya ruhani teman-temannya dengan caranya yang tak biasa. Memberi arti
lebih dalam, pada makna syukur dan makna bahagia.
Waktu
terus berjalan namun dia belum menulis. Padahal seluruh kata-katanya adalah
mutiara. Ilmu parenting dan surviving in
life, sudah dia punya. Apa kiranya yang menahan gerak jemarinya?
Kemudian
aku mendengar berita itu. Memahami penghalang besar dalam langkahnya. Memahami
mengapa seribu mutiara indah belum juga tertuang menjadi bait-bait pencerah
untuk sesama. Aku memeluk tubuhnya, menggenggam jemarinya dan menangis bersamanya.
Tidak. Salah. Aku yang menangis. Namun dia sudah melewati badai hidupnya dengan
sepuasnya tangis. Kali itu aku yang menangis. Dia hanya tersenyum, menuturkan
sepenggal cerita hidupnya.
Titik
itu akan kuingat. Jika aku mengalami sebuah badai (semoga tidak), aku akan
mengingat bagaimana dia mengatasi semuanya. Satu lagi pelajaran hidup yang
memperkaya batinku, darinya.
Lalu
waktu kembali berjalan. Matahari bersinar cerah. Hidupnya sudah terang. Dan dia
menulis. Yaa, sahabatku akhirnya menulis. Mutiara itu sudah dituangkan, dalam
ribuan kata penyentuh jiwa. Dia menulis, aku menangis. Haru. Bangga berteman
dengannya.
Dia
adalah, Mbak Dede Budiarti (Mahde). Dia inspirasiku untuk memaknai dan
mensyukuri arti kehidupan.
Mahde,
aku padamu. Denganmu aku ingin bersahabat, sehidup semati. Love you always. #IIDNInspirasi
Ini aku dan Mahde
Semoga saya bisa bertemu dengan beliau dan secara umum bisa bertemu dengan IIDN Jogja. Inspiratif!
BalasHapusAamiin...mari mbak hadir di kopdar biar jadi makin hangat...akrab
Hapussip
BalasHapusmakasih mbak Titin...
Hapus