Rabu, 25 Mei 2016

Cerpen kenangan di majalah Sekar: Rumah ke-12

Kenapa kenangan? Ya, karena majalah Sekar sudah almarhum. Tapi aku punya jejak karya di sana. Silakan baca cerpenku satu-satunya yang pernah dimuat di Sekar. Sekaligus pemenang lomba cerpen fanpage majalah Sekar :)

Rumah ke-12

Oleh: Indah Novita Dewi

            Keputusan untuk pindah ke kota lain dan memulai usaha mereka dari nol, telah dicetuskan suaminya sejak sebulan lalu. Rumah makan “dedhaharan” yang mereka rintis bersama telah di ambang kebangkrutan. Terjadi penurunan pemasukan yang cukup drastis dalam tiga bulan terakhir. Semua tak lain karena setahun belakangan, dua rumah makan lain dengan menu yang hampir sama, berdiri tak jauh dari rumah makan milik keluarga Lily. Kompetisi tiga rumah makan itu demikian ketat, namun akhirnya “dedhaharan” tetap harus menerima imbas penurunan income yang cukup mengkhawatirkan.
            Lily tahu walaupun ia tak pernah serius menanggapi keinginan pindah, namun langkah-langkah untuk mempersiapkan usaha baru di tempat baru, sudah dipikirkan selama berhari-hari oleh Ibrahim. Tapi mengapa harus di kota itu? Mengapa harus di Makassar? Mengapa harus di kota yang mengalunkan melodi sedih untuk Lily?
            Ibrahim meraih tangan istrinya. Menggenggamnya seolah ingin memberikan kehangatan dan kekuatan.
            “Kuharap waktu enam tahun telah membuatmu mengikhlaskan semua kejadian yang pernah kau alami di sana. Kau dan aku sama-sama pernah tinggal di Makassar. Cobalah melihat kota itu dari sisi prospek bisnis rumah makan dengan spesialisasi masakan Jawa. Jawabnya: sangat prospektif,” ucap Ibrahim penuh keyakinan.
            Lily menarik tangannya. Ia tidak dapat memikirkan Makassar dengan sudut pandang bisnis. Paling tidak untuk saat itu. Karena walaupun air mata tidak turun di pipinya, namun terasa seluruh hatinya membasah dengan air mata kenangan kesedihan yang menyeruak.
***
            Makassar, Juli 2012. Setelah enam tahun meninggalkannya, Lily kembali menjejakkan kaki di bumi anging mamiri. Setelah merenungkan semua kata-kata suaminya, Lily menyadari bahwa ia harus realistis. Kenangan itu harus ia kubur dalam-dalam. Ia harus tegar demi masa depan keluarga kecilnya.
            Sambutan Wahidah, sahabatnya saat sama-sama menjadi mahasiswa di kampus Hasanuddin, mau tak mau mengalirkan kembali air mata yang dipendamnya.
            “Lily, Alhamdulillah, aku masih dapat bertemu denganmu. Kukira setelah meninggalnya Daeng Acca’, kau tak akan mau ke sini lagi,” ujar Wahidah sambil memeluknya.
Sementara, Lily memang tinggal di rumah sahabatnya itu untuk keperluan mencari lokasi strategis calon rumah makan barunya.
Ibrahim yang memintanya untuk pergi sendiri ke Makassar. Kata sang suami, “kalau kau ingin menangis mengenang kepedihanmu di sana, menangislah. Tapi ingat selalu aku dan Wita, putri kita. Kami selalu ada di sini menunggumu. Dan saat kita telah berkumpul bersama lagi di Makassar, kuharap kepedihan itu telah sepenuhnya hilang, karena kau telah memahami bahwa itu hanyalah bagian kecil kepedihan kehidupan yang memang harus kau jalani.”  
            “Sudahlah, Hidah. Jangan kau sebut lagi namanya. Kita bicarakan saja rencana hijrahku ke sini ya. Bagaimana apakah pesananku lewat telepon minggu lalu sudah ada?”
            “Oke. Aku sudah mempunyai daftar beberapa rumah dan ruko yang bisa kita lihat sama-sama besok. Ada ruko punya temanku disewakan. Letaknya dekat kantorku. Strategis sekali karena selain kantorku ada beberapa kantor lagi di sekitarnya. Tepatnya di daerah Sudiang.”
            Lily mengernyitkan kening, “bukankah itu sangat jauh dari kota, Hidah?”
            “Sudiang sudah sangat berkembang, Lily. Sekolah, kantor, perumahan, semua dibangun di daerah itu. Sudah ada beberapa rumah makan masakan Jawa di sana, tapi ditambah satu lagi, apalagi yang murah meriah dan rasanya enak, pasti tetap laris manis!”
            “Oke, deh. Besok kita mulai mengecek semuanya ya? Ada berapa tempat yang ada di daftarmu?”
            “Sementara hanya dua belas. Tapi nanti kalau belum ada yang cocok, kita selusuri saja kolom iklan di koran.”
***
            Esoknya Lily dan Wahidah memulai survei mereka di daerah Sudiang dengan mengendarai motor. Mereka melihat-lihat ruko ditemani oleh Pak Samad, rekan sekantor Wahidah. Ruko itu berbeda dari ruko lain yang pernah dilihat Lily. Halaman ruko cukup luas dan rindang. Tidak seperti ruko lainnya yang umumnya panas. Menurut pak Samad, dirinyalah yang melarang pemborong menebang pohon-pohon sewaktu ruko dibangun. Wahidah membenarkan dan mengimbuhkan info bahwa pak Samad adalah pemilik tanah itu dulu. Setelah dibeli kontraktor untuk membangun ruko, pak Samad minta jatah satu ruko untuk dirinya sendiri.
            Walaupun tertarik dengan ruko itu, namun Lily memutuskan untuk melihat sebelas tempat lainnya dulu.
            Beberapa rumah dan ruko selanjutnya tidak terlalu menarik perhatian Lily. Kurang besar, terlalu besar, bentuknya aneh, dan lain-lain alasan yang membuat hati Lily kurang sreg.
            “Sudah, yang punya pak Samad saja,” saran Wahidah.
            “Sudah capek ya, Hidah? Memangnya sudah habis, nih?”
            “Sisa satu lagi, rumah ke-12, ayo lanjut lagi?”
            “Di daerah mana?”
            “Antang.”
            “Ayo.”
            Mereka bergerak lagi menuju daerah Antang. Memasuki sebuah kompleks perumahan yang tidak terlalu ramai.
“Kok sepi begini, Hidah? Nggak salah, nih?” tanya Lily.
“Iya ya, mana jalannya berbatu-batu. Tapi aku sudah telanjur telepon pemiliknya. Kita lihat dulu rumahnya.”
Rumah yang dimaksud ternyata terletak di bagian belakang kompleks, menyendiri agak jauh dari bangunan rumah lainnya.
            “Hmm, spooky house,” bisik Wahidah.
            Lily terdiam memandang rumah yang berdiri di kejauhan. Rumah itu tidak terlalu besar. Dibangun di sudut sebuah tanah lapang berukuran luas, dikelilingi pagar besi. Yang menarik adalah jajaran pohon kersen memanjang di samping halaman. Pohon kesayangan Lily sejak kecil.
            Seorang perempuan berjilbab melambai dari teras rumah.
            “Itu bu Mia, pemilik rumah. Ayo kita masuk,” Wahidah mendahului masuk melewati gerbang yang sudah terbuka lebar. Lily mengikuti dengan langkah pelan, masih mengamati pepohonan kersen.
            Setelah berkenalan dengan bu Mia, mereka memasuki rumah.
            “Rumah ini dibangun oleh sepupu saya kurang lebih tujuh tahun yang lalu. Rumah pertama yang dibangun di kompleks ini. Ruang tamunya memang sengaja dibuat kecil, tapi ruang-ruang lainnya didesain sangat nyaman,” bu Mia mulai bertutur mempromosikan rumahnya dan mengajak mereka masuk lebih dalam.
            “Ruang tengah sangat luas, tersambung dengan ruang makan dan dapur bersih. Ruang tidur utama dan ruang tidur anak-anak terletak bersebelahan. Uniknya, ada juga pintu sambung yang menghubungkan keduanya. Kamar mandi ada dua, di dalam ruang tidur utama dan satu di samping dapur. Masih ada satu kamar lagi di samping dapur. Didesain untuk kamar pembantu.”
            Lily merasa dadanya berdebar-debar.
            “Boleh, saya melihat kamar tidur utama?” tanyanya pelan.
            “Silakan. Kamar tidur utama sangat unik, karena ada jendela tingkap di atapnya,” ujar bu Mia seraya membuka pintu kamar.
            “Jendela tingkap apa, sih?” tanya Wahidah tak paham.
            Lily memejamkan mata. Ia sangat memahami apa maksud kata-kata bu Mia. Sebelum bu Mia menunjukkan atap kamar yang bisa terbuka, Lily sudah jatuh pingsan diiringi pekikan Wahidah yang terkejut.
            “Rumah seperti apa yang kamu inginkan, Ly?”
 Itu pertanyaan Acca’ dulu. Saat mereka berdua tengah duduk di atas bale-bale di bawah pohon kersen di depan rumah kos Lily. Maka Lily menjawab dengan rinci gambaran rumah impian yang ingin ia miliki.
“Aku ingin rumah yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Dengan halaman yang cukup luas, ruang tamu yang sempit dengan kursi yang keras, ruang keluarga yang nyaman dengan sofa empuk yang tersambung dengan ruang makan dan dapur bersih. Dua kamar tidur berjajar dengan pintu sambung dan kamar mandi dalam. Satu kamar mandi lagi disamping dapur dan satu kamar tidur kecil untuk pembantu. Oya, satu lagi aku ingin atap di kamar tidur kita dapat terbuka hingga sesekali kita bisa tidur di bawah gemerlap bintang, pasti romantis sekali, kan.”
“Kenapa ruang tamunya harus sempit dengan kursi yang keras? Terdengar sangat tidak nyaman,” protes Acca’.
Lily tergelak
“Tamu itu kan banyak jenisnya. Kalau ada tamu yang kurang kita sukai, atau hanya bermaksud melakukan kunjungan singkat, kita terima ia di ruang tamu. Sedangkan tamu yang sudah seperti keluarga dapat langsung masuk ke ruang keluarga yang nyaman.”
Acca’ manggut-manggut dengan serius.
Percakapan itu terjadi tujuh tahun yang lalu. Tiba-tiba kilas kejadiannya terbayang jelas di memori otak Lily, seolah-olah baru terjadi kemarin.
Lily tersadar setelah mencium bau minyak angin yang digosokkan bu Mia di lehernya.
“Mungkin kecapekan, bu Mia. Seharian kami menyusuri kota Makassar melihat-lihat rumah,” jelas Wahidah.
“Bu Mia, apakah sepupu ibu…yang membangun rumah ini, bernama Ansar Syarif?” tanya Lily pelan. Wahidah membelalakkan mata.
“Iya, kami biasa memanggilnya daeng Acca’. Tapi ia sudah lama meninggal,” jelas bu Mia keheranan.

Lily mencucurkan air mata yang sudah disimpannya selama enam tahun. Sejak kematian Acca’ karena kecelakaan lalu lintas, ia kehilangan cinta pertamanya yang dirajut dengan ketulusan. Ibrahim berhasil menyembuhkan luka itu, namun kini kembali terasa pedih, saat takdir membawanya memasuki rumah yang dibangun Acca’ untuknya.*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES