Senin, 25 Desember 2017

Opini Harian Bernas: Mengapa Transportasi Online?

Saya juga suka menulis non fiksi seperti tulisan-tulisan serius untuk kolom opini di surat kabar. Waktu itu rame-ramenya demo terhadap transportasi online dan sebagai pengguna saya merasa tergerak untuk ikut bersuara. Lebih mirip curhat, sih, tapi alhamdulillah dimuat juga di harian Bernas, Yogyakarta, bulan Maret 2017. Berikut naskah aslinya, ada perubahan judul dan sedikit isinya juga, namun tidak mengubah makna.









Time is Money, Mengapa Memilih Transportasi Online

Membaca wacana pelarangan transportasi berbasis online (Bernas, 13 Maret 2017), membuat saya tercenung. Masalah transportasi ini sudah sejak lama menjadi pemikiran saya, terutama setelah di beberapa daerah sempat terjadi demo transportasi konvensional terhadap keberadaan transportasi online seperti terjadi di kota Malang beberapa waktu lalu.
            Dua bulan lalu saya adalah pengguna setia transportasi konvensional. Mulai angkot Jogja-Kaliurang yang lewat per 20 menit sekali (jika lancar), angkot Purwobinangun-Ps. Kranggan yang hanya tinggal 9 armada (jika jalan semua), jalur bus konvensional terutama yang melalui kampus UGM (jalur 2, 4, 15), trans jogja, taksi dan ojek konvensional, semua pernah saya jajal. Kesan saya terhadap semua transportasi tersebut adalah: kondisi kendaraan kebanyakan sudah tidak laik jalan – sering mogok, kendaraan sering ngetem menunggu penumpang sehingga penumpang sering tidak tepat waktu sampai tujuan. Untuk trans jogja, nunggunya agak lama sehingga mungkin memang perlu penambahan armada, dan di beberapa bus ada kebocoran AC parah. Taksi dan ojek konvensional merupakan pilihan terakhir jika terburu-buru pergi ke suatu tempat. Hanya saja tarifnya terlalu mahal.
            Pada saat saya mulai menggunakan aplikasi transportasi online, semua masalah yang saya temui saat mengendarai transportasi konvensional, sirna. Kelebihan transportasi online antara lain: tersedia 24 jam, pesan bisa di mana pun dan kapan pun, dijemput langsung di posisi kita berada dan diantar sampai tujuan, driver ramah dan sopan, tarif sudah ditentukan oleh perusahaan dan tidak naik sesuka hati. Lagipula tarifnya sangat murah. Memang tarifnya tidak bisa mengalahkan tarif trans jogja, tapi bila dibandingkan dengan taksi dan ojek konvensional jelas sangat beda jauh. Bisa sampai setengah atau bahkan seperempatnya saja. Jelas, banyak kalangan lebih memilih transportasi online dibandingkan dengan transportasi konvensional, terutama kalangan mahasiswa dan pegawai yang penghasilannya pas-pasan.
            Pembenahan masalah transportasi di Jogjakarta, menurut pendapat saya haruslah memikirkan kebutuhan semua pihak. Tidak hanya kebutuhan driver (konvensional maupun online), tidak hanya kebutuhan pemerintah setempat untuk menegakkan aturan, namun juga kebutuhan penumpang. Menjamurnya jumlah driver transportasi online adalah bukti bahwa masyarakat sebagai pengguna, menyambut baik dan sangat terbantu dengan keberadaannya. Kalaupun memang pihak pemerintah dalam hal ini dinas perhubungan ingin melarang transportasi online, maka harus ada pembenahan pada transportasi konvensional. Cobalah disurvey terlebih dahulu kondisi transportasi konvensional dan lakukan perbandingan dengan transportasi online. Pejabat dinas perhubungan sebaiknya merasakan sendiri bagaimana bepergian dengan menggunakan transportasi konvensional maupun online sehingga dapat merasakan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Mengingat pengguna transportasi online sudah sangat banyak, maka apabila hendak dilakukan pelarangan sebaiknya dilakukan proses diskusi dengan melibatkan semua pihak, termasuk pengguna. Bagaimana sesungguhnya yang diinginkan oleh masyarakat pengguna sarana transportasi publik ini. Apabila tetap dilakukan pelarangan transportasi online tanpa alternatif kompromi, bisa jadi pengguna transportasi online tidak akan kembali menggunakan transportasi konvensional, melainkan memutuskan untuk membeli motor yang tentunya malah menambah kemacetan di Yogyakarta. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena dari percakapan saya dengan driver ojek online yang kebetulan juga seorang marketing kendaraan roda dua, dengan uang muka Rp350.000,- orang sudah bisa membeli motor dengan cicilan Rp650.000,- per bulan selama tiga tahun. Jargon lama Time is Money masih terus berlaku, orang rela membayar demi jarak dan waktu tempuh yang lebih singkat.
            Maka, jangan hanya bisa melarang sesuatu yang kemudian akan menambah masalah yang lebih parah, misalnya kemacetan lalu lintas. Tapi mari mencari win win solution yang membuat semua pihak senang. Hadirnya transportasi online adalah bukti bahwa ada yang salah dengan transportasi konvensional di Yogyakarta. Jadi mari dibenahi bersama tanpa harus mematikan lahan pekerjaan orang yang baru mulai tumbuh dan berkembang. Benahi transportasi konvensional, lalu buat regulasi agar ada pembatasan-pembatasan untuk transportasi online. Misalnya untuk tujuan non urgent ada pembatasan jalur edar dan jadwal operasi (misalnya pada siang hari hanya beroperasi dari rumah pengguna ke halte trans terdekat; sore hingga pagi hari dapat beroperasi di seluruh kota). Banyak alternatif yang bisa disepakati, asal semua pihak diajak duduk bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES