Janji Eka
Oleh: Kalya Innovie
Aku mendengarkan celoteh Vita di
dapur. Adikku itu sedang membicarakan tentang sinetron ABG bersama Mama.
Intinya dia merasa pusing dengan sinetron yang ia tonton karena anak-anak SMP
sudah berani pacaran. Aku tersenyum mencuri dengar dari kamar. Kamarku dan
dapur hanya dibatasi dinding papan, jadi semua dialog Mama dan Vita terdengar
dengan sangat jelas. Hampir tawaku meledak mendengar kegusaran Vita pada
teman-temannya yang juga sudah mulai terpengaruh dengan sinetron itu. Vita
memang anaknya agak kaku dan terlalu serius. Perasaan cinta itu sebenarnya
tidak bisa direncanakan kapan datang dan hilang. Seperti aku, yang mulai
merasakan sayang pada lawan jenis di usia yang sangat belia. Ingatanku melayang
saat aku masih duduk di bangku kelas enam SD.
***
Cowok bertubuh kurus itu masih
bersandar di tembok, di sampingku. Tangannya terlipat rapi, bibirnya cemberut.
Aku duduk di bangku, di sebelahnya. Sedikit miring agar dapat melihat wajahnya
yang kusut.
“Jadi
benar kamu mau pindah ke Malang, Lea?” tanyanya sekali lagi.
Aku
mengangguk untuk yang kesekian kalinya.
“Kenapa
sih, kamu nggak di sini saja?”
Aku
mengembuskan napas.
“Kan
sudah aku jelaskan. Papa dan Mamaku ingin aku menetap di satu kota. Nggak ikut
mereka pindah-pindah lagi. Dan itu di Malang, di sana ada nenek.”
“Kenapa
kamu nggak di sini saja?” Eka masih ngotot dengan pertanyaannya.
“Ekaa …
kan sudah aku jelaskan, aku nggak punya saudara di sini.”
“Kamu
tinggal di rumahku saja,” sahut Eka.
Aku
melotot. Senyum usil muncul di bibir Eka.
“Mimpi,”
ucapku sambil memukul bahunya pelan.
“Hehe,
tapi kamu suka kan?” Eka cengengesan.
“Eka …
aku….”
“Iya,
Lea. Aku tahu. Kita masih terlalu kecil untuk pacaran. Gini aja, tulis alamatmu
di Malang. Nanti kalau kita sudah SMA, aku akan mencarimu.”
Aku
mencari secarik kertas dalam tas dan mulai menulisinya dengan alamat nenek.
Walau sebenarnya aku ragu dengan kata-kata Eka.
Eka
menerima alamatku sambil senyum-senyum.
“Ingat,
Lea. Kamu jaga diri di sana, ya. Gak usah pacaran. Nanti pacarannya sama aku
aja, pas kita SMA. Tunggu aku, ya.”
Eka
menjabatku dan memberi cubitan kecil dalam telapak tanganku, lalu lari pulang
sambil melambai-lambaikan tangan. Uh, aku belum sempat membalas cubitannya. Aku
pun segera pulang, memegang janji Eka dalam hati.
***
Kilasan
kenangan bersama Eka itu selalu muncul dan muncul dalam benakku. Dan selama
tiga tahun menjalani SMP di Malang, aku benar-benar setia pada Eka, cinta
monyetku di SD itu. Ada beberapa teman yang minta aku jadi pacar, tapi di
samping aku merasa aku masih kecil, setiap ada cowok pedekate, aku selalu
merasa telapak tangan kananku panas. Cubitan Eka terasa seolah baru kemarin
terjadi.
Ada
satu cowok yang dengan setia nembak aku. Namanya Joe. Ia baik. Tidak balik
membenciku walau aku sudah menolaknya beberapa kali. Kami menjadi sahabat. Dan
karena hubungan kami yang dekat, aku tak ragu bercerita tentang Eka.
“Jadi
selama ini kamu nungguin si Eka itu?” tanya Joe dengan nada cemburu. “Kok kamu
lugu banget sih, Lea. Bisa jadi si Eka itu cuma omong kosong saja. Selama kita
SMP, ada nggak dia kirim surat atau telepon?”
“Nggak.
Kan, masih SMP. Janjinya kan ketemuan pas SMA.”
“Kamu
yakin dia nggak lupa?”
Aku
menggeleng. Entahlah. Tiba-tiba keraguan memenuhi hatiku. Kupandangi Joe yang
balik memandangku dengan tatapan sangsi. Sejak saat itu dengan sangat
menjengkelkan ia menjulukiku si lugu.
**
Joe
sangat girang ketika kami masuk di SMA yang sama. Kami masih bersahabat, walau
beberapa kali, Joe suka juga cari-cari kesempatan nembak aku. Kadang dia
mencandai aku. Apa kabar Eka? Begitu tanya Joe sambil senyum-senyum mengejekku.
Apa
kabar Eka? Yah, terus terang, di dalam hatiku, wajah Eka pun sudah kabur.
Cubitannya di telapak tanganku tak pernah terasa lagi, terkubur oleh senyuman
Joe, candaan Joe dan kata-kata manis Joe.
“Lagipula
zaman internet gini kalian tuh gak berhubungan bahkan via sosmed? Aneh, deh.
Trus, kalau semisal Eka itu sudah mati, kamu mau nunggu dia terus? Sudah.
Terima saja Joe,” gerutu Ivon sahabatku ketika akhirnya aku bercerita tentang
Eka padanya.
Duh,
Eka … kamu di mana?
“Kamu
tuh benar-benar lugu, Lea,” imbuh Ivon lagi. “Di saat kamu menggenggam janji
setia Eka, cowok itu mungkin sudah pacaran dengan banyak gadis di belahan bumi
sana.”
Keraguan
kembali menyelimuti hatiku.
“Terima
saja Joe. Dia sudah membuktikan kesetiaannya selama tiga tahun di SMP. Dan
sekarang kita sudah SMA, sudah boleh pacaran, kan. Ingat, teman kita banyak
yang cantik-cantik. Joe juga cowok yang menarik. Jangan sampai kamu nangis
kalau Joe pacaran sama cewek lain,” pungkas Ivon, memandang tajam padaku.
***
Mama
dan Vita berhenti ngobrol ketika terdengar bunyi kendaraan di halaman rumah.
Aku menengok jam dinding, masih satu jam lagi waktu janjianku dengan Joe. Kok,
dia sudah datang, sih. Aku bangkit mengganti bajuku.
“Kak,
ada temanmu,” Vita datang melongok dari korden kamar.
“Kak
Joe, ya? Suruh tunggu dulu.”
“Bukan
Kak Joe. Aku nggak kenal. Katanya sih, teman lama kakak.”
Aku
mengernyitkan kening karena merasa tidak janjian dengan siapapun. Teman lama?
Tiba-tiba hatiku resah tak jelas. Aku bersegera ke ruang tamu. Dua orang cowok duduk
menunggu di sana. Salah satunya tersenyum manis menyambutku. Aku terdiam berdiri
di tempatku, tak kuasa mengeluarkan sepatah kata mewakili perasaanku.
“Lea,
apa kabar?” tanya sosok kurus yang kini tinggi menjulang. Dia tersenyum. Senyum
usil itu. Mata penuh rindu. Aku yang terpaku.
Kemarin aku menerima cinta Joe
yang menembak untuk ke tiga belas kalinya. Dan sekarang aku harus menyiapkan
kata-kata untuk Eka yang datang membuktikan janji. Aku harus bagaimana?**
Hi mbak. Saya boleh minta bimbingan nya gk? Saya baru belajar menulis cerita
BalasHapusMaaf saya baru baca komennya, silakan aja hubungi di indardiasha@gmail.com kalau mau belajar ya.
Hapusceritanya menarik
BalasHapus