Minggu, 06 Maret 2016

Ketika Kompas Anak Pamit

Ketika Kompas Anak pamit di edisi terakhir 28 Februari 2016, saya bersama teman-teman penulis sama bersedih. Saat itu spontan tebersit keinginan menulis surat via email ke redaksi kompas. Saya berpikir, kalau hanya sekadar mengucap keprihatinan via akun medsos tentu belum cukup. Surat kepada redaksi tentunya lebih serius.

Awalnya tidak ada pikiran bahwa surat yang saya tulis itu akan dimuat Kompas, namun ternyata benar. Saya mendapat kabar dari guru saya Mbak Nurhayati Pujiastuti bahwa ada surat saya di kompas. Juga surat itu diposting di akun facebook Kompas Anak.

Foto penampakan surat untuk redaksi Kompas, dikopas dari akun fb Kompas Anak

Berikut versi asli dari surat yang dimuat Kompas itu:

Yth Redaksi Kompas

Assalamualaikum wr wb.
Membaca pengumuman berhentinya halaman Kompas Anak di Kompas Minggu, pada edisi 28 Februari 2016, saya merasa sedih. Sebagai penulis cerita anak yang baru belajar, dan baru mengirimkan tiga naskah ke redaksi Kompas, sekarang saya merasa tak ada harapan lagi untuk dapat tampil di lembar kesayangan tersebut. Dan sebagai ibu dari tiga anak usia TK-SD, saya merasa kehilangan satu media untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas anak-anak saya.
Saya tahu, keputusan ini pasti sudah dipertimbangkan dengan sangat matang oleh Pimpinan dan seluruh kru Kompas. Hanya saja, sebagai pembaca dan penikmat halaman Kompas Anak, saya juga merasa berhak untuk bersuara. Melalui surat ini saya menyampaikan keprihatinan, karena hilangnya satu media bacaan anak yang bermutu. Kalaupun (menurut rumor) lembar ini akan muncul dalam bentuk digital, tentunya tak akan sama lagi. Jangkauannya, untuk saat ini, mungkin tidak seluas jika halaman Kompas Anak terbit secara konvensional seperti sebelumnya. Masih banyak kelompok masyarakat yang belum bisa mengakses internet, walaupun kenyataannya ada program internet masuk desa. Dan untuk anak-anak, menurut saya, lebih sehat jika mereka membaca langsung melalui lembaran kertas. Membaca melalui laman internet selain tidak sehat bagi perkembangan mata, juga berisiko melihat tayangan lain yang bukan untuk anak seusianya. Perlu pendampingan orangtua? Jelas. Tapi kita juga tak bisa menafikan kenyataan bahwa banyak orangtua Indonesia yang tidak punya waktu untuk selalu mendampingi putra-putrinya dalam segala situasi.
Saya tahu pendapat saya ini tentu tak banyak artinya untuk suatu keputusan yang sudah berjalan. Paling tidak, saya sudah menyuarakan pendapat yang mungkin juga mewakili beberapa pendapat di luar sana.
Terakhir saya ucapkan terima kasih, atas kiprah Kompas Anak yang telah ikut serta dalam pendidikan karakter anak-anak Indonesia melalui cerpen-cerpen yang inspiratif. Semoga segera terbit lagi entah dalam bentuk konvensional ataupun digital.

Wassalam,

Indah Novita - Makassar

*Semoga saja, Kompas Anak segera 'hidup' kembali....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES