Cerpen saya dimuat di harian Minggu Pagi, Jogjakarta sekitar bulan April 2018. Judulnya Nasihat Mama. Editingnya lumayan banyak, tapi bikin cerpennya jadi lebih enak dibaca. Berikut ini saya posting versi aslinya, cekidot.
Nasihat
Mama
Nggak
ada tempat yang lebih nyaman di sekolah, kecuali kebun sekolah. Itu menurut
Niar. Itu karena ia berbeda dengan temannya, para siswi SMA yang sedang
menikmati masa-masa lebay. Cekikik sana, cekikik sini. Niar beda. Niar lebih
suka tempat yang sunyi, di mana ia bisa membaca tanpa gangguan.
Dan di sinilah selalu Niar berada tiap jam istirahat atau
kapanpun ia punya waktu luang. Duduk di bangku menikmati semilir angin. Menatap
bunga jagung yang berayun dan gerumbul tomat yang mulai meranum. Hasil kerja
teman-temannya dari ekskul botani. Puas mengamati tanaman, Niar kembali
menekuni bukunya.
“Dor!”
Suara
kencang Wida mengejutkan Niar. Ia memandang sahabatnya dengan bibir sedikit
mengerucut.
“Selalu
ada di sini,” ucap Wida tak peduli dengan kernyit di kening Niar. Gadis itu
malah meniup permen karet yang ia kunyah sejak tadi, membuat balon besar di
depan muka Niar. Plop! Balon permen karet pecah mengotori wajah Wida. Barulah
Niar bisa tertawa gembira. Giliran Wida yang bersungut-sungut.
“Ayo,
temani aku ke kelasnya Rajif,” ajak Wida setelah membersihkan wajah dari sisa
permen karet.
“Rajif
lagi,” gerutu Niar.
“Ayolah
Niar. Aku pengen ngeliat wajah imutnya.”
“Pergi
sendiri sana.”
“Nggak
seru, Niar.”
Dengan
langkah ogah-ogahan Niar menuruti kemauan Wida.
*
Rajif
itu anak baru di kelas sebelah. Mukanya tampan karena ia keturunan India. Menurut
Wida, lebih tampan dari Shaheer Sheik. Niar sih tak peduli. Ia tak tahu siapa
itu Shaheer. Nasihat Mama selalu melekat di kepalanya. Jangan sering-sering
memerhatikan cowok. Usiamu masih terlalu muda. Kalau sudah terjerat cinta
remaja, seluruh pikiranmu akan terpusat pada cowok. Dan kelak pasti itu kamu
sesali. Cinta akan datang pada waktu yang tepat. Dan menurut Mama, waktu yang
tepat itu bukanlah waktu remaja.
Wida
hanya nyengir saat Niar membeberkan nasihat Mamanya itu.
“Jadi
karena itu kamu selalu membawa buku cerita ke sekolah? Dan tak pernah
melepaskan pandanganmu dari buku? Hmm, menurutku justru kamu akan banyak
kehilangan moment menyenangkan.”
Kali
ini Wida menyeret Niar ke kantin. Duduk agak jauh dari tempat Rajif makan
kudapannya. Dan curi-curi pandang pada cowok itu. Tak jemu-jemu Wida berceloteh
perihal kegantengan Rajif. Niar mulai merasa jemu. Ia melihat banyak teman
ceweknya cari-cari perhatian ke Rajif. Baik yang terang-terangan maupun yang
sembunyi-sembunyi seperti Wida. Niar mengalihkan pandang dari buku, dan mulai
mengamati Rajif. Tak sadar ia sudah melanggar salah satu nasihat Mama.
*
Mekarnya amaryllis di kebun sekolah menarik perhatian
para siswi. Banyak yang berkunjung untuk sekadar selfie. Niar kehilangan ketenangan
kebun sekolah di saat ia sedang membutuhkan tempat sepi untuk menata hatinya
yang resah. Beberapa hari ini wajah Rajif selalu membayang di mata. Beberapa
kali Niar menemukan dirinya menghabiskan waktu melamunkan cowok itu. Susunan
kalimat Tere Liye dalam buku kesayangan tak lagi menarik hati. Hanya Rajif,
Rajif dan Rajif yang menari menggoda hasrat. Niar tak suka perasaan ini. Semua
gara-gara Wida. Semua gara-gara ia tak memegang teguh nasihat Mama.
“Niar! Kenapa kamu nangis?” seruan kaget Wida menyadarkan
Niar.
Di sudut kebun sekolah, Niar menemukan alasan dalam
bentuk seekor capung yang terbang menjauh.
“Aku sedih lihat capung itu seperti terusir dari kebun,
gara-gara banyak teman yang datang.”
“Astaga Niar, capung aja kamu pikirin. Yuk, temani aku
nontonin Rajif.”
Ada yang bergemuruh di dada Niar saat Wida menyebut nama
Rajif. Agar Wida tak curiga, Niar mengikuti langkah sahabatnya ke kantin.
Kantin ramai. Seperti biasa, Rajif ada di salah satu
meja, sedang makan siang. Wida menyenggol lengan Niar keras.
“Rajif ngeliatin kamu, Niar.”
Gugup, Niar menjatuhkan bukunya. Saat ia berdiri setelah
menunduk mengambil buku yang terjatuh, Rajif sudah berdiri di hadapannya.
“Hai, kamu Niar, ya? Kenalkan namaku Rajif.”
Niar terpaku. Wida mencubit-cubit kecil tangan Niar.
“Aku sudah beberapa hari ini memperhatikan kamu, Niar,”
lanjut Rajif. Niar dan Wida semakin resah. Niar tak dapat mengalihkan
tatapannya pada Rajif. Wida lebih-lebih. Terheran-heran menebak apakah Rajif
suka pada Niar?
Rajif tersenyum manis, meraih buku yang masih dipegang
Niar.
“Kamu ternyata suka novel karya Tere Liye, ya? Aku juga.
Aku pinjam bukunya, ya?”
Niar ternganga. Ternyata cuma mau pinjam buku?
“Oh … eh … iya, silakan. Bawa aja bukunya.”
Rajif melenggang sambil memegang buku. Niar terduduk
sambil mengembuskan napas lega. Fiuh. Wida terbahak.
“Ya ampun, nyaris gue patah hati dan berencana ngemil
obat nyamuk. Kirain….”
Niar mencoba tertawa juga. Tapi ada yang nyeri di
hatinya. Duh, saat ini Niar butuh nasihat Mama.*
He he he rindu dan jatuh cinta emang sakit Bin beraat
BalasHapusHmm daku percaya pada sang suhu
HapusWah selain kualitas kontent yang bagus template juga WOW banget.. di tunggu BW nya kak di solusionlineid
BalasHapussolusionline.id
BalasHapus