Minggu, 07 Januari 2018

[Resensi]: Kasih Ibu Sepanjang Masa




Judul               : Ya Allah Aku Rindu Ibu
Penulis             : Irfa Hudaya
Penerbit           : Kana Books
Tahun terbit     : Cetakan I, 2016
Tebal               : 252 halaman
Harga              : Rp50.000,00
ISBN               : 978-602-60440-1-3

Kasih ibu sepanjang masa. Dulu saya memaknai kalimat tersebut biasa-biasa saja, hingga kemudian saya melahirkan empat anak berturut-turut. Barulah saya merasa kalimat itu sangat benar dan saya bersyukur karena melahirkan dan mengurus balita membuat saya semakin mencintai dan menghargai semua pengorbanan ibu merawat saya dan saudara2 saya saat masih kecil dulu. Kemudian saya membaca buku berjudul “Ya Allah Aku Rindu Ibu” ini. Sebuah kisah yang menceritakan sosok seorang ibu, lengkap dengan ketidaksempurnaannya sebagai manusia biasa. Saya tenggelam dalam tangis dan rasa syukur. Tangis karena ikut terharu dengan kisah dalam buku, dan bersyukur saya masih diberi kesempatan untuk melepaskan rindu pada ibu saya yang masih sehat hingga detik ini. Ya, buku ini diangkat dari kisah nyata penulisnya, Irfa Hudaya.
Sebuah memoar atau naskah kenangan tentang seseorang, memang pada umumnya membuat kita ikut larut terbawa perasaan, terutama jika orang yang dikisahkan itu seseorang yang sedemikian dekat. Mempunyai hubungan emosi yang erat. Demikian juga kisah Irfa dan ibunya, terlebih selama hidupnya, Irfa tak pernah jauh dari sang ibu. Ibunya menikmati hari tua dengan ditemani oleh Irfa dan keluarga kecilnya (suami dan dua anak).
Kekuatan dari buku ini, selain gaya bercerita penulisnya yang sanggup membuat pembaca terhanyut, adalah banyaknya pelajaran hidup yang dapat kita petik. Penulis menceritakan kisah hidupnya mulai dari masa kanak-kanak hingga dewasa, khususnya dalam hubungannya dengan ibu yang dalam buku ini disebut ibuk. Pada saat umur lima tahun, Irfa heran dan sedikit cemburu karena sebagian besar waktu ibuk habis untuk mengurusi neneknya, mbah uti (hal 7). Mbah uti ternyata memang sakit-sakitan dan ibuk adalah anak perempuan satu-satunya yang harus mengurus sang ibu. Kenangan masa kecil ini mengajarkan Irfa tentang berbakti pada orangtua. Saat pertama mendapat haid, kata-kata ibuklah yang membuat Irfa tak pernah sekalipun meninggalkan shalat dan puasa wajib (hal 28).
Pada masa SMP hubungan Irfa dan ibuk ibarat anjing dan kucing (hal 34), ada saja yang bikin dia sebal pada ibuk. Misalnya waktu Irfa sudah bersiap pergi pramuka, eh tiba-tiba ibuk melarangnya pergi dengan alasan harus momong adik! Kalau tetap memaksa pergi, Irfa harus bawa adiknya ke sekolah. Akhirnya Irfa terpaksa membawa adiknya latihan pramuka dan terpaksa  harus rela ditertawakan oleh teman-temannya. Setelah dewasa baru Irfa paham makna di balik itu semua. Mengapa ibuk selalu memaksanya membawa-bawa adik kemana-mana.Ternyata hal itulah yang membuat ikatan hatinya lebih dalam terhadap adiknya. Sebagai anak sulung, Irfa diharapkan selalu menjadi pengikat hati saudara-saudaranya jika kelak kedua orangtua telah tiada (hal 39).
Hubungan dengan ibuk menjadi lebih manis ketika Irfa beranjak dewasa dan kuliah jauh dari rumah. Ibuk berubah peran menjadi sahabat (halaman 54) tempat curhat, dan tempat menumpahkan airmata saat hubungan Irfa dengan seorang lelaki kandas di tengah jalan. Irfa dapat melewati masa patah hatinya dengan baik berkat dukungan dan kata-kata penyemangat dari ibuk.
Kehidupan Irfa berubah ketika sang bapak meninggal dunia. Ibuk harus bertahan hidup, mencukup-cukupkan penghasilan dari pensiunan janda yang hanya 30% dari gaji, untuk kebutuhan kuliah dua anak dan satu anak yang baru masuk SMA. Pemasukan lain adalah dari hasil panen sawah yang kadang tak seberapa. Ibuk terpaksa sering meminjam uang untuk mencukupi kebutuhan. Namun kondisi ini tak membuat ibuk menyerah. Ia tetap mendukung keinginan anak-anaknya untuk sekolah setinggi mungkin. Beruntung kemudian selepas kuliah, Irfa mendapatkan pekerjaan yang cukup baik sehingga ia dapat membantu ibuk membiayai kuliah adik-adiknya. Bakti pada keluarga, sudah dimulai Irfa pada usia yang relatif muda. Ikhlas, berkat tempaan dan contoh yang ia lihat pada ibunya.
Perjalanan hidup manusia adalah sebuah perjalanan yang diawali dengan lambat, kemudian cepat, dan melambat lagi dengan menuanya manusia. Demikian juga seorang ibu. Ibuk di hari tua, sangat menikmati hari-harinya dengan mengikuti berbagai kumpulan pengajian. Hubungannya dalam bersosial juga patut diacungi jempol. Bahkan dengan orang yang ‘sulit’ pun, ibuk pandai bergaul. Irfa yang sudah menikah dan punya dua anak, akhirnya memutuskan untuk senantiasa mendampingi sang ibuk, tetap tinggal di rumah masa kecilnya dan berhubungan jarak jauh dengan suami yang bekerja di Semarang. Irfa tak lagi berkarier di luar rumah. Ia memutuskan fokus merawat kedua anaknya serta ibunya dan bekerja dari rumah. Harus dirinya yang memegang tanggungjawab itu, memegang amanat dari almarhum bapaknya untuk menjaga ibu dan adik-adiknya. Walaupun kedua adiknya telah berkeluarga dan harus tinggal jauh dari rumah, Irfa tetap tinggal, memegang amanat kedua orangtuanya untuk menjadi perekat saudara-saudaranya
Bukan tak mudah merawat ibuk yang makin sepuh terutama saat beliau usai terkena serangan stroke pertama. Ibuk berubah menjadi agak mudah marah, contohnya saja saat harus mengatur pola makan. Ibuk memprotes Irfa yang hanya memberinya makanan rebusan. Beliau minta makan sayur lodeh. Saat Irfa menjelaskan bahwa santan harus dihindari (halaman 155), ibuk merajuk dan ngeyel. Saat ibuk sudah kembali sehat dan mulai beraktivitas ngaji lagi, Irfa memberi saran agar ibuk membatasi kegiatan supaya tidak mudah capek. Apa jawaban ibuk? Mau ikut pengajian cari ilmu kok, nggak boleh. Hahaha, begitulah Irfa menceritakan hubungannya yang unik dengan sang ibu. Kesabaran Irfa sebagai seorang anak dalam mengurus sang ibu di masa tua, patut dicontoh.
Setelah mengalami serangan stroke pertama dan sembuh (halaman 162), perjalanan religiusitas ibuk mencapai puncaknya. Hidup hanya untuk Allah. Ibuk mengikuti beberapa majelis taklim. Seminggu bisa tiga sampai empat kali ikut pengajian. Sholat tahajud dan dhuha tak pernah absen. Puasa senin kamis selalu dilakukan. Ibuk selalu tilawah setiap habis sholat wajib. Sholat jamaah ke masjid tiap subuh dan maghrib. Ibuk juga aktif di kegiatan sosial kemasyarakatan. PKK dusun, PKK desa, dan Aisyiyah. Pada masa-masa akhir hidupnya, Ibuk juga berpesan pada Irfa untuk berbuat baik pada orang yang telah menyakiti. Berpesan agar Irfa menghilangkan dendam di hati. Hidup hanya sekali, saling menyakiti hanya akan merugi. Ibuk, menunjukkan kasihnya, tak ingin sang putri memelihara dendam sepeninggal beliau nanti. Ingin sang putri hidup dengan sebaik-baiknya kehidupan.
Ingin rasanya saya menuangkan lebih banyak kalimat lagi pada resensi ini. Rasanya tak habis-habis ingin menceritakan buku yang ditulis mbak Irfa dengan sangat elok ini. Tapi alangkah lebih baiknya jika Anda membacanya sendiri. Akan lebih terasa feel-nya dan dijamin Anda akan seperti saya yang tersenyum, menangis, tercengang, tertawa geli, bahkan terbahak membaca buku ini. Mbak Irfa Hudaya berhasil meramu kisah kehidupannya bersama sang ibu dengan sangat manis, lucu, dan mengharukan. Siapapun yang punya ibu, harus membaca buku ini. Terakhir, saya menutup tulisan ini dengan bacaan Al fatihah untuk ibuk, yang telah menginspirasi saya dan mungkin banyak orang yang sudah membaca buku ini, agar menjadi orang yang lebih baik. Hidup hanya untuk Allah.

2 komentar:

  1. Aku terhura mb Ind... Terima kasih telah meresensi buku dengan kereeennn

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama, mbak Irfa. Ditunggu buku solo berikutnya ya

      Hapus

COPYRIGHT © 2017 | THEME BY RUMAH ES