Toko
Sepatu Ibu
Oleh:
Kalya Innovie
Ibuku bekerja di toko sepatu.
Sesekali sepulang sekolah, aku akan datang ke toko, menemani Ibu. Aku senang
memerhatikan berjenis-jenis sepatu yang dijual di sana. Favoritku, tentu saja,
jajaran sepatu anak-anak. Aku hanya bisa memandangi dan membayangkan aku mengenakan
sepatu-sepatu itu. Sebab, Ibu selalu melarangku mencoba sepatu di tokonya. Kata
Ibu, nanti sepatunya kotor, atau rusak.
Hari ini, aku ke toko dengan
bersemangat. Semalam Ibu cerita stok sepatu model baru sudah tiba. Aku sudah
tak sabar melihat sepatu-sepatu itu.
Aku datang siang hari. Menurut pengamatanku, saat siang adalah saat yang tepat untuk datang ke toko. Saat itu, pengunjung sepi, jadi aku bisa puas berlama-lama di rak sepatu anak.
Aku datang siang hari. Menurut pengamatanku, saat siang adalah saat yang tepat untuk datang ke toko. Saat itu, pengunjung sepi, jadi aku bisa puas berlama-lama di rak sepatu anak.
"Ingat, jangan dicoba
sepatunya, ya," ucap Ibu mengingatkanku.
Aku hanya mengangguk. Dan, di sanalah aku menemukannya. Di bagian rak sepatu anak paling atas. Si merah cantik bertengger manis. Bagai magnet, menyedot seluruh perhatianku hanya kepadanya.
Aku hanya mengangguk. Dan, di sanalah aku menemukannya. Di bagian rak sepatu anak paling atas. Si merah cantik bertengger manis. Bagai magnet, menyedot seluruh perhatianku hanya kepadanya.
*
Sepatu merah itu berhak rendah. Ada
motif bunga di seluruh bagiannya. Di bagian tumit, ada semacam tali berbahan
pita. Tali itu nanti harus diikat mengelilingi pergelangan kaki. Aku bisa
membayangkan kedua kakiku memakai sepatu cantik itu. Perlahan kuraba permukaan
sepatu dengan gemetar. Aku sangat ingin mencobanya!
Aku mengintip dari sisi rak. Ibu
sedang melayani pembeli. Seorang ibu bertubuh tinggi dan anaknya yang sebayaku.
Aku melihat sekali lagi si merah. Menelan ludahku. Kuintip harganya. Hmm,
sepertinya tidak terlalu mahal. Aku hanya punya dua sepatu untuk sekolah.
Kurasa satu pasang lagi untuk dipakai saat jalan-jalan ke luar rumah, tak
mengapa. Ibu mungkin memperbolehkanku membelinya. Dengan hati-hati, aku membawa
si merah, mendekati Ibu.
Ibu bertubuh tinggi rupanya sedang
membujuk anaknya untuk mau membeli sepatu yang dipilihkannya. Si anak tampak
cemberut dan berulang kali menggelengkan kepala. Wajahnya kusut, sangat
berlawanan dengan baju cerah bermotif kupu-kupu yang dikenakannya.
“Bu…,” kupanggil Ibu dengan suara
pelan.
Ibu menoleh, melihatku, lalu
mengerutkan kening saat sadar aku membawa si merah. Belum sempat aku
mengutarakan keinginanku, belum sempat juga Ibu menegurku, kami keduluan si
baju kupu-kupu.
“Aih! Sepatu ini bagus sekali! Ibu,
aku mau sepatu yang ini!” seru si kupu-kupu sembari dengan serta merta
mengambil alih si merah dari tanganku. Aku melongo.
“Kamu beneran mau sepatu yang ini?”
tanya ibunya.
“Ya!” angguk si kupu-kupu mantap.
“Tapi, sepatu ini sudah dipilih
gadis kecil itu, Airin,” tegur sang ibu memandang ke arahku.
Aku tertunduk, lalu mengangkat
mukaku, melirik Ibu. Hanya sekejap Ibu menatapku, lalu beralih ke ibunya Airin,
ramah.
“Dia anak saya, Bu. Saya rasa, dia
belum terlalu butuh sepatu baru,” ucap Ibu. Ibu Airin tampak senang, lalu
membuka dompetnya. Airin menunduk, mencoba si merah di kakinya. Ia
melompat-lompat, berlari di lorong toko dengan memakai si merah. Aku bisa
membayangkan apa yang ia bayangkan. Pasti ia membayangkan sedang berlarian di
sebuah taman bunga yang indah.
Setelah kedua ibu dan anak itu
pergi, Ibu mendekatiku. Aku masih menunduk, tak bisa menyembunyikan
kekecewaanku.
“Vika benar-benar ingin sepatu
seperti itu?” tanya Ibu lembut.
Belum sempat aku menjawab, datang
seorang ibu dan anaknya memasuki toko. Ibu itu berpakaian kumal, membawa
buntalan. Anaknya, seorang bocah laki-laki kecil bertampang kotor. Pipinya
dipenuhi bekas ingus kering. Satu tangannya erat memegangi ujung kemeja ibunya,
tangan yang lain memegang pedang mainan yang lusuh. Ibu memberi kode agar aku
menunggu sebentar. Ia menyapa tamunya dengan ramah.
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Ini…uang saya,” ibu berpakaian
kumal mengeluarkan sekantung recehan dari dalam buntalannya. “Adakah sepatu
untuk anak saya, yang bisa terbeli dengan uang ini?”
Aku terkesiap, melirik kaki dekil si
anak yang tanpa alas. Ibu tersenyum, lalu dengan sabar menghitung recehan yang
diterimanya. Aku yakin tak ada sepatu di toko ini yang dapat terbeli oleh ibu
itu. Tapi Ibu tak rela pembelinya pulang dengan tangan kosong. Bocah berpedang
itu menyeringai lebar saat sepasang sepatu baru menghiasi kakinya. Mereka
berdua keluar dengan senyum puas.
“Bu,” aku memanggil Ibu.
“Oh, ya. Vika, tentang sepatu itu…”
“Tidak, Bu. Vika memang ingin sepatu
merah itu. Tapi Vika baru sadar kalau Vika memang belum terlalu butuh sepatu.
Dua sepatu Vika masih bagus.”
Aku mendekat memeluk Ibu. Ibu
tersenyum dan mencium keningku. Aku harus tahu diri. Ibuku hanya pegawai biasa
di toko sepatu itu. Kalau Ibu rela berkorban membantu orang miskin mendapatkan
sepatu, maka akupun bisa menunda keinginanku memiliki sepasang sepatu baru.
Toh, jika ada sepatu yang diobral murah, Ibu tentu tak ragu membelikanku.
Aku kembali ke rak sepatu anak-anak.
Mengamati satu-satu dan membayangkan memakainya di kakiku. Kulihat Ibu mengusap
pipinya, lalu kembali sibuk mengatur sepatu di rak yang lain. Siang ini sungguh
sepi. Tapi aku senang, karena dapat memuaskan hobiku, melihat-lihat sepatu.*
sip sip...aku kagum ide2mu dlm bikin cernak mbakkk...aku irii
BalasHapusSst...mbak, ini idenya bukan dari aku melainkan dari gambar-gambar yang diberikan oleh guruku, hehehe.
Hapusohh bgitu yo
Hapus