Naskah cerma (cerita remaja) saya dimuat di harian Minggu Pagi Jogjakarta di minggu keempat September 2019. Ada sedikit bagian yang diedit oleh redaksi, namun tidak mengubah isi. Naskah aslinya saya upload di sini agar bisa dibaca semua teman-teman. Selamat membaca, ya.
Bukan
Cinderella
Hidupku
mirip kisah Cinderella. Aku kehilangan ibu di usia belia. Bapakku seorang
pelaut yang sering pergi berlayar. Sehari-hari, aku hanya bersama ibu dan
saudara tiriku.
Aku
memang nggak perlu bekerja membanting tulang seperti Cinderella. Ibu dan
saudara tiriku tak sejahat itu. Tapi bukan berarti mereka tak berlaku curang.
Bapak
mengalokasikan uang saku sebesar Rp60.000,00 per hari untukku dan Adriana,
saudara tiriku. Masing-masing dapat Rp30.000,00. Hanya saja setelah kemudian ia
sering harus menambah uang jajan Adriana, ibu berubah pikiran.
“Dinda, adikmu
sangat boros. Uang tiga puluh ribu tidak cukup. Sementara kamu, masih bisa
menyisihkan uang untuk ditabung. Tolong sebagai kakak kau mengalah, ya,” Ibu
memberiku uang sepuluh ribu.
Sedih, sih, tapi
aku nggak mau ribut. Uang sepuluh ribu kuhemat dengan pembagian: delapan ribu
untuk ongkos angkot pulang pergi, dua ribu untuk jajan. Sejak itu sering tampak
pemandangan, Adriana pesan hidangan komplit di kantin sekolah, sementara aku
mengunyah roti seribuan atau makan bekal yang kusiapkan dari rumah, di sudut
lapangan basket. Bukan sekali dua kali aku menerima tatapan iba dari
teman-teman, tapi semua kubalas dengan ketawa ringan. Ya, aku nggak suka
dikasihani. Lagipula, hidup itu bukan untuk makan, melainkan sebaliknya. Makan
untuk hidup, makan secukupnya saja dan nggak perlu bermewah-mewah. Itu prinsip
hidupku. Prinsip hidup remaja dengan uang saku pas-pasan.
Rasanya
kurang satu lagi tokoh dalam hidupku, seandainya aku Cinderella, ya? Di mana
pangeran berkuda putih? Ada. Namanya Ivan. Ia sering menemaniku makan roti saat
istirahat. Tapi Ivan itu sahabatku sejak
kecil dan sudah punya pacar. Jadi kucoret keinginan untuk menjadikannya prince charming. Belakangan, Ivan sering
bersama Banyu, anak baru di kelasnya. Banyu adem (air dingin), demikian aku
diam-diam menjulukinya. Sebab, tiap mata kami bertemu, aku serasa disiram air
dingin. Nyess. Beberapa kali Ivan menyampaikan salam dari Banyu, untukku, sambil
mengedipkan matanya penuh arti. Ivan memang nakal. Ia tahu pasti orientasiku
saat ini adalah tidak berpacaran dengan siapapun. Lagipula aku benar-benar
takut jalan cerita Cinderella akan terjadi padaku. Kalau aku punya pacar,
kemungkinan Adriana akan merebutnya. Haha, aku terbahak sendiri dengan semua
skenario lucu yang aku bayangkan di kepala, saat sedang sendiri dan kesepian di
rumah.
**
Walau
hanya bisa menyisihkan seribu sehari, aku rajin menabung. Sudah kebiasaan sejak
kecil, ajaran dari mendiang ibuku. Dalam setahun terkumpul uang tiga ratus lima
puluh ribu. Aku sangat senang dan sudah
janjian dengan pemilik sebuah toko, untuk menukar uangku.
Minggu
pagi, aku menyiapkan uang seribuanku dalam tas kecil. Aku berjalan melewati lorong sepi. Ketika itulah sebuah
motor memepetku, dan orang yang duduk di belakang menarik tasku. Kejadiannya
berlangsung cepat. Aku berusaha
mempertahankan tas, lalu tiba-tiba uang
seribuanku berhamburan. Terdengar seruan keras di belakangku, dan
penjambretku kabur. Aku limbung dan
sepasang tangan kokoh menahan punggungku. Kurasa aku pingsan. Saat siuman,
kulihat ada Banyu dan beberapa orang mengerubungiku.
“Syukurlah,
Dinda sudah sadar,” ternyata salah satu orang yang merubungku adalah Bu RT.
Alamat, kejadian ini akan sampai di telinga ibuku. “Ini uangmu ibu masukkan
kresek. Tasmu robek,” tutur bu RT menyerahkan uang dalam kantung kresek.
Aku
teringat uangku yang berceceran. Alangkah memalukan. Dilihat Banyu pula.
“Kamu
kok di sini?” tanyaku, menatap mata Banyu. Cowok itu menatapku lembut. Tatapan
yang biasanya dingin, kini serupa air hangat, menenangkanku.
“Kebetulan
lewat,” jawabnya singkat.
“Jadi,
dia bener teman kamu, Dinda? Bu RT duluan ya, belum beres-beres rumah. Mas,
tolong Adinda diantar pulang, ya?” Bu RT
menitipkanku pada Banyu lalu bergegas pergi.
Kerumunan
bubar. Aku berdiri gugup menyadari posisiku setengah baring bersandar di dada
Banyu.
“Jangan
jalan dulu. Kamu pasti masih shock,” ucap Banyu. “Ayo kuantar pulang.”
Aku
melihat ada motor Banyu dan teringat bahwa aku sebetulnya mau menukar uang.
“Tolong
antar ke toko dulu, ya?” pintaku. Banyu mengangguk dan segera memboncengkan aku
menuju toko yang kumaksud.
Aku
menukar uangku dan menerima tiga lembar seratus ribuan, serta selembar lima
puluh ribu. Uang seribuanku masih utuh jumlahnya,
walau sempat berhamburan gara-gara penjambret tadi. Pasti bu RT yang memastikan
semua uangku aman. Pipiku memanas membayangkan kembali bagaimana uang
seribuanku tadi berhamburan. Ah, ingatan akan kejadian memalukan ini harus
segera dihapus dari memori otakku, andai bisa.
Kuhampiri
Banyu di bangku depan toko. Ia menyodorkan es krim dan menyuruhku duduk.
“Makan
es krim dulu, supaya kagetmu hilang,” ucapnya singkat. “Kejadian tadi
bukan sepele. Aku punya tante yang meninggal
setelah dijambret karena mempertahankan tasnya. Tante terbanting dan kepalanya
membentur trotoar.”
Cerita
Banyu membuatku ngeri. Aku baru sadar sudah lepas dari ancaman maut. Aku makan
es krim dengan air mata berlinangan. Membayangkan kalau aku mati muda, pasti
bapakku akan sedih. Ibu dan Adriana mungkin juga sedih tapi pasti tak lama
mereka akan merasa hidup lebih nyaman tanpa diriku.
“Jangan
takut, ya. Mulai sekarang, lebih berhati-hati saja,” ucap Banyu.
Aku
mengangguk. Ucapan Banyu dan tatapannya yang tak lagi sedingin air es,
membuatku nyaman dan … sedikit berbunga-bunga.
**
Di
rumah, bukannya mengkhawatirkanku, ibu malah mengomel. Rupanya kekhawatiranku
terbukti. Bu RT sudah singgah ke rumah dan bercerita banyak pada ibu.
“Apa
kata dunia kalau anakku bawa uang receh kemana-mana macam pengamen jalanan? Jangan
ulangi lagi! Bikin malu saja!”
Masih
panjang omelannya walau nggak masuk telinga. Aku hanya tertunduk seolah khidmat
mendengarkan ibu, padahal di telingaku terngiang ucapan Banyu saat mengantar
pulang tadi.
“Ternyata
rumah kita searah. Kita bareng saja berangkat dan pulang sekolah,” ucap Banyu.
“Err … kalau kamu mau, sih.”
Aku
tersenyum dan mengangguk malu-malu.
Dalam
hati aku memekik girang. Ya, tentu saja aku mau, Banyu! Itu artinya jatah
angkotku bisa kutabung atau kubelikan bakso!
“Lalu
siapa temanmu yang membantumu waktu kecelakaan tadi? Pacarmu?” pertanyaan ibu
selanjutnya membuatku terbangun dari lamunan.
“Ehh,
bukan, Bu. Dia teman satu sekolah. Eh, Bu, bolehkah kalau aku berangkat dan
pulang sekolah bareng temanku itu?” tanyaku. Bagaimanapun juga, aku harus minta
izin ibuku untuk hal ini.
Ibu
seperti kaget, terdiam menatapku sesaat. Lalu alisnya berkerut. Perasaanku
mulai tak enak. Aku meyakinkan diriku bahwa aku bukan Cinderella.
“Lalu
kau tinggalkan adikmu naik angkot sendiri? Demi Tuhan, Dinda. Kenapa kamu
begitu egois?”
Masih
banyak kata-kata ibu. Intinya ia tak mengizinkan aku berangkat dan pulang
sekolah bersama Banyu. Aku hanya bisa menangis di kamar dan berdoa pada Tuhan.
Ya, Tuhan, aku bukan Cinderella. Tolong berikan aku jalan cerita yang berbeda,
walaupun mungkin dengan ending yang sama.**
oaahh ...aku selalu takjub pada imajinasi seorang cerpenis
BalasHapushaiii...dikau kan juga jago berimajinasi buuk... Makasih ya sudah singgah
Hapuswah bangga ya bisa diterima di suart kabar, nice
BalasHapusmakasih, mbak
HapusWah dengan uang sepuluh ribu saja Dinda bisa berhemat. Seandainya boleh ikut Banyu pasti lebih irit lagi, he, he.
BalasHapusIya pinter nabung ya, Dinda, hehe.
Hapus