Jera
Oleh: Kalya Innovie
Uuh … udara sangat panas di Jogja.
AC rumah sedang rusak. Nyala kipas angin tak membantu banyak mengurangi rasa
gerahku. Aku masih duduk di sofa ruang tengah rumahku. Tangan memegang remote
televisi dan entah sudah berapa kali kuganti channel teve. Acara televisi di
siang yang panas ini sungguh-sungguh membosankan.
“Uh, sudah gerah. Panas. Suntuk. Ini
stasiun televisi gak ada yang kreatif apa yak. Acaranya kok sinetron wagu
semua. Artisnya semua gak bisa akting. Mau nonton drakor, yaelah diulang-ulang
mulu drama yang itu lagi, itu lagi,” gerutuku.
“Lula, kalau bosan, matikan saja
televisinya. Sana kamu tidur,” ucap seseorang yang sedari tadi menemaniku di
ruang tengah, tapi diam saja merajut sesuatu.
Nggak mikir apa yak. Gimana bisa
tidur, gerah begini.
“Aah … Lula mau jalan-jalan dulu
cari angin aja ah,” seruku sambil menggeliat di kursi. Kumatikan televisi.
Orang yang tadi menegurku menghentikan aktivitasnya, memandangku curiga.
“Mau ke mana kamu?”
“Mau keluar sebentar,” jawabku
pendek. Aku ngeloyor ke kamar, meraih jaket di belakang pintu. Kaget karena
ternyata orang itu mengikutiku.
“Jangan naik motor,” ucapnya pelan
namun tegas.
“Dekat saja, kok,” bandelku. Di
tangan sudah kugenggam kunci varioku.
“Lula. Naik angkot saja, atau ojek.
Mama teleponkan ojek syar’i Jogja, ya?”
“Ih, cerewet. Lagipula Papa saja
nggak pernah ngelarang aku naik motor.”
“Khusus buat ke sekolah saja,”
sergahnya.
“Nggak peduli. Kalau mau ngelanggar
peraturan kenapa gak sekalian aja,” bantahku masih keras kepala.
Perempuan yang membahasakan dirinya
dengan sebutan Mama itu diam. Wajahnya merah. Pasti dia sedang sebal padaku.
Haha, biarin aja.
“Lula, setidaknya, pakai helm-mu!”
teriaknya saat aku ngeloyor ke depan rumah. Oke, oke aku pakai helm. Aku segera
meninggalkan rumah dengan varioku dan tak lama sudah membelah jalan kaliurang
yang ramai.
*
Perempuan itu bernama Amirah, ibu
tiriku. Ibuku sendiri meninggal dua tahun lalu. Setahun kemudian ayahku
menikahi Amirah. Perawan tua yang masih tetangga kampung juga.
Hubunganku dengan Amirah tidak
terlalu baik. Kadang aku tak sopan dan memperlakukan dia seperti pembantu.
Sejauh ini ia selalu sabar. Tapi kesabarannya pernah teruji ketika ayah
membelikan aku vario beberapa bulan setelah mereka menikah.
Aku sudah memperhitungkan dengan
baik semuanya. Alasan Ayah menikah lagi adalah supaya aku punya teman di rumah.
Ayahku pelaut yang hanya tiga bulan sekali pulang ke rumah. Sebagai teman,
Amirah nggak asyik. Dan ternyata ia pernah kecelakaan motor sehingga trauma
naik motor. Jadi ia tak bisa mengantarkan aku ke sekolah. Ayah tak bisa menolak
permintaanku. Apalagi kondisi transportasi di Jogja turut mendukung kebutuhanku
ini. Dari jalan kaliurang tempat tinggal kami, untuk menuju sekolahku di kota,
hanya ada angkutan umum butut yang lewat tiap setengah jam. Kalau
menggantungkan diri pada kendaraan reyot itu, aku bisa telat setiap hari.
Setelah ayah, aku dan Amirah sempat adu argumentasi mengenai perlu tidaknya
membeli motor, akhirnya aku yang menang.
Ya, aku tahu sebenarnya aku belum
boleh mengendarai motor. Aku baru 16 tahun. Ayah sangat ketat mengajari aku di
saat cutinya. Banyak anak-anak di bawah umur naik motor tanpa pengetahuan yang
cukup mengenai aturan lalu lintas. Ayahku memastikan aku tahu semuanya. Mulai
dari ngapalin rambu-rambu, sampai etika berkendara di jalan raya. Selalu
berikan tanda sebelum membelok, tak boleh melaju lebih kencang dari 40 km/jam
di dalam kota, memberi kesempatan pada orang yang mau menyeberang, dan masih
banyak lagi. Kata ayah, untuk meminimalkan pelanggaran. Padahal tidak punya SIM
itu kan sudah merupakan pelanggaran berat sebenarnya. Ah, biar saja. Kurasa
hampir setengah dari penduduk Jogja melakukannya. Sebagian besar teman
sekolahku juga naik motor dan aku tahu pasti mereka belum tujuh belas. Pak
Polisi di jalan raya juga jarang merazia anak sekolah. Kalaupun ada yang
ketangkap biasanya dinasihati saja. Polisi pasti pahamlah, pemerintah belum
menyediakan transportasi yang memadai untuk kami para pelajar.
Amirah yang kesal atas konspirasi
kejahatanku bersama ayah, akhirnya melunak. Tapi ia mengajukan syarat, aku
hanya boleh pakai motor untuk keperluan sekolah. Makanya ia tadi tampak
benar-benar marah ketika aku bandel mau cari angin pakai vario.
*
Aku berhenti di lampu merah,
menunggu lampu berubah hijau. Iseng kuperhatikan kendaraan yang melaju di sisi
kanan jalan. Sekilas kulihat wajah yang kukenal melintas menuju utara. Hmm,
masih memakai seragam abu-abu putih. Penasaran aku masih mengikutinya dengan
pandangan mata sampai badanku berbalik 180 derajat. Astaga, motornya goyang
kehilangan kendali. Lalu terdengar bunyi tumbukan keras dan motornya terguling.
“Raisa!” teriakku tanpa sadar. Aku
kebingungan hendak berbalik arah. Teman sekolahku kecelakaan! Kulihat orang
mulai berkerumun. Oh, aku juga harus melihatnya. Memastikan keadaannya
baik-baik saja. Walaupun ia musuhku di sekolah, tapi bagaimanapun kami ini
bernasib sama. Anak-anak di bawah umur yang mengendarai motor karena
keterpaksaan. Iyalah. Nggak ada yang bisa antar kami, nggak ada kendaraan umum
dari pemerintah dan belum ada namanya abonemen taksi. Mahal, bok. Pakai ojek?
Jasa antar jemput? Iya bisa sih sebenarnya buat aku atau Raisa karena orangtua
kami mampu. Tapi bagaimana dengan teman-teman kami yang lain? Sudahlah,
pokoknya aku nih lagi membuat alasan pembenaran bahwa apa yang kami lakukan
tidak salah. Tapi keadaan yang memaksa.
“Permisi …. Itu teman saya,” aku
merangsek kerumunan setelah memarkir motorku di depan sebuah bank dekat tempat
terjadinya kecelakaan.
“Raisa…,” aku tertegun dan mulai
panik melihat seragam putih Raisa bernoda darah. Seorang laki-laki membantu
membuka helmnya. Raisa lemah dan tidak sadar.
“Mbak temannya? Tolong hubungi keluarganya,”
ujar seorang perempuan.
“I … iyaa … tapi, saya nggak punya
nomor teleponnya.”
Aku mendekat. Dadaku berdegup
kencang dan airmata mulai menetes tanpa dapat kucegah. Raisa yang suka
petantang-petenteng di sekolah. Yang mulutnya dengan ringan sering mencercaku
judes. Pernah juga jambak-jambakan denganku. Kini dalam kondisi tak berdaya.
Dan aku nggak bisa tertawa. Aku sadar hal yang sama juga bisa menimpaku.
“Icha … Icha … bangun, Cha,”
panggilku dengan panggilan kesayangannya. Mana pernah aku memanggilnya Icha
dalam kondisi normal. Nggak usah sok imut, itu yang sering kubilang padanya.
Dan aku lebih sering memelesetkan namanya menjadi ‘Ra iso’, bahasa jawa yang
artinya ‘nggak bisa’.
Aku meraih tangan Raisa yang
terkulai.
“Saya … ikut PMR di sekolah,”
jelasku pada lelaki yang menolong Raisa. Aku nggak dapat denyut nadinya! Aku
panik dan memanggil-manggil namanya.
“Masih hidup. Nadinya lemah,” jawab
lelaki itu meredam kepanikanku. “Temannya diangkut ke rumah sakit secepatnya.
Mbaknya ikut, ya. Nanti tolong diperiksa ponsel temannya. Pasti ada nomor
telepon ibunya.”
Aku mengangguk dengan badan gemetar.
Raisa segera digotong dengan
hati-hati ke sebuah mobil. Raisa dibaringkan di jok tengah. Seorang ibu yang
sepertinya istri lelaki tadi, menyelimuti Raisa. Aku menerima tas Raisa dan
ikut duduk di dalam mobil.
“Eh, motor….?” tanyaku.
“Motornya biar diurus polisi. Sudah
dipanggil. Yang penting nyawa manusia dulu,” jawab lelaki yang kemudian kutahu
bernama pak Rully.
“Motor saya di depan bank,” jelasku.
“InsyaAllah aman, Mbak. Kan ada
security.”
Kamipun melaju ke rumah sakit.
*
Raisa segera mendapatkan pertolongan
di UGD. Aku sudah mengaduk-aduk nomor telepon di ponselnya. Dan sudah
menghubungi mamanya. Ketika orangtua Raisa datang, pak Rully dan istrinya,
bunda Sulis menjelaskan kronologis kejadian. Aku juga menjelaskan bahwa aku
kebetulan lewat dan melihat kejadian tersebut.
“Nah, karena orangtua Raisa sudah
datang, sekarang kita bisa pulang. Ayo, Lula, kami antar kau pulang dulu,” ujar
Pak Rully.
“Ambil motor dulu, Mas,” bunda Sulis
mengingatkan. “Nanti, biar Pak Rully yang mengendarai motormu pulang. Kamu naik
mobil saja bersama saya, ya?”
Aku mengangguk. Tadi aku sudah
banyak ngobrol dengan bunda Sulis. Mengakui bahwa aku dan Raisa sama-sama belum
punya SIM. Sempat juga bertahan pada alasan pembenaranku bahwa kami naik motor
karena keadaan yang memaksa.
“Hal itu tidak bisa dipungkiri,”
ucap bunda Sulis kalem. “Tapi aturan dari kepolisian dibuat demi keamanan kita
juga. Usia tujuh belas itu batas, di mana seorang anak dianggap sudah mempunyai
kematangan untuk dapat mengendalikan kontrol emosi saat berkendara di jalan
raya, Lula.”
“Tapi mama tiriku nggak bisa naik
motor, Bun. Ayahku pergi berlayar. Kendaraan umum jalan seperti siput.”
“Coba berbagi rezeki dengan
tetangga,” usul bunda Sulis.
“Maksudnya, Bun?”
“Ya siapa tahu ada tetangga nggak
punya kerjaan, tapi bisa naik motor. Tawarkan untuk antar jemput kamu ke
sekolah. Nggak lama. Beberapa bulan lagi kamu sudah bisa ikut ujian SIM, kan?”
Aku mengangguk setuju. Lagipula,
setelah melihat sendiri kejadian kecelakaan yang menimpa Raisa, rasanya aku
sudah nggak berani lagi naik motor. Memang belum saatnya bagiku dan juga Raisa
untuk berkendara sendiri di jalan raya. Hmm, kalau sudah cukup umur mengurus
SIM, aku akan membujuk ayah untuk mengizinkan aku mengurus SIM A.
Mama Amirah berdiri di teras
menungguku dengan raut muka cemas. Apalagi melihatku datang diantar oleh dua
orang asing. Bunda Sulis segera menjelaskan semuanya dengan padat, singkat dan
jelas. Bunda dan suaminya menolak secara halus tawaran Mama untuk singgah masuk
ke rumah. Mereka harus segera pulang.
Mama meraih pundakku dan mengajakku
masuk ke dalam rumah.
“Untung kamu baik-baik saja, Lula.
Mama panik karena sudah lepas maghrib kamu belum pulang juga.”
“Maafkan Lula, Ma. Oya, mulai besok,
Lula mau diantar Mas Bimo. Dulu Mama pernah bilang kalau adik Mama bisa ngantar
jemput Lula, kan?”
Mama Amirah melongo. Mungkin bukan
karena aku mau pakai jasa antar jemput. Tapi karena aku memanggilnya Mama. Iya,
aku lelah sekali hari ini. Setelah kecelakaan Raisa, aku baru sadar bahwa Mama
Amirah, adalah satu-satunya kerabat dekatku, saat ayah sedang berlayar. Jadi
aku sudah harus mulai berdamai dengan kehadirannya di rumahku.
“Kita makan, yuk, Lula? Mama sudah
bikin pepes ikan nila kesukaanmu,” kata Mama Amirah tersenyum bahagia. Kulihat
genangan air di matanya.
“Iya. Aku mau mandi dulu. Gerah. Eh,
tapi kok rumah sudah sejuk, ya?”
“AC-nya sudah diperbaiki,” jelas
Mama.
Aku tersenyum. Kukecup pipi Mama
sebelum aku melenggang pergi ke kamar mandi, meninggalkannya untuk memberi
kesempatan ia menghapus aliran airmata haru di pipinya.** Blog Post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen 'Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan' #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com