Kenapa kenangan? Ya, karena majalah Sekar sudah almarhum. Tapi aku punya jejak karya di sana. Silakan baca cerpenku satu-satunya yang pernah dimuat di Sekar. Sekaligus pemenang lomba cerpen fanpage majalah Sekar :)
Rumah ke-12
Oleh: Indah Novita
Dewi
Keputusan
untuk pindah ke kota lain dan memulai usaha mereka dari nol, telah dicetuskan suaminya
sejak sebulan lalu. Rumah makan “dedhaharan” yang mereka rintis bersama telah
di ambang kebangkrutan. Terjadi penurunan pemasukan yang cukup drastis dalam
tiga bulan terakhir. Semua tak lain karena setahun belakangan, dua rumah makan
lain dengan menu yang hampir sama, berdiri tak jauh dari rumah makan milik
keluarga Lily. Kompetisi tiga rumah makan itu demikian ketat, namun akhirnya “dedhaharan”
tetap harus menerima imbas penurunan income
yang cukup mengkhawatirkan.
Lily
tahu walaupun ia tak pernah serius menanggapi keinginan pindah, namun
langkah-langkah untuk mempersiapkan usaha baru di tempat baru, sudah dipikirkan
selama berhari-hari oleh Ibrahim. Tapi mengapa harus di kota itu? Mengapa harus
di Makassar? Mengapa harus di kota yang mengalunkan melodi sedih untuk Lily?
Ibrahim
meraih tangan istrinya. Menggenggamnya seolah ingin memberikan kehangatan dan kekuatan.
“Kuharap
waktu enam tahun telah membuatmu mengikhlaskan semua kejadian yang pernah kau
alami di sana. Kau dan aku sama-sama pernah tinggal di Makassar. Cobalah
melihat kota itu dari sisi prospek bisnis rumah makan dengan spesialisasi
masakan Jawa. Jawabnya: sangat prospektif,” ucap Ibrahim penuh keyakinan.
Lily
menarik tangannya. Ia tidak dapat memikirkan Makassar dengan sudut pandang
bisnis. Paling tidak untuk saat itu. Karena walaupun air mata tidak turun di
pipinya, namun terasa seluruh hatinya membasah dengan air mata kenangan
kesedihan yang menyeruak.
***
Makassar,
Juli 2012. Setelah enam tahun meninggalkannya, Lily kembali menjejakkan kaki di
bumi anging mamiri. Setelah merenungkan semua kata-kata suaminya, Lily
menyadari bahwa ia harus realistis. Kenangan itu harus ia kubur dalam-dalam. Ia
harus tegar demi masa depan keluarga kecilnya.
Sambutan
Wahidah, sahabatnya saat sama-sama menjadi mahasiswa di kampus Hasanuddin, mau
tak mau mengalirkan kembali air mata yang dipendamnya.
“Lily,
Alhamdulillah, aku masih dapat bertemu denganmu. Kukira setelah meninggalnya
Daeng Acca’, kau tak akan mau ke sini lagi,” ujar Wahidah sambil memeluknya.
Sementara, Lily
memang tinggal di rumah sahabatnya itu untuk keperluan mencari lokasi strategis
calon rumah makan barunya.
Ibrahim yang
memintanya untuk pergi sendiri ke Makassar. Kata sang suami, “kalau kau ingin menangis mengenang
kepedihanmu di sana, menangislah. Tapi ingat selalu aku dan Wita, putri kita.
Kami selalu ada di sini menunggumu. Dan saat kita telah berkumpul bersama lagi
di Makassar, kuharap kepedihan itu telah sepenuhnya hilang, karena kau telah
memahami bahwa itu hanyalah bagian kecil kepedihan kehidupan yang memang harus
kau jalani.”
“Sudahlah,
Hidah. Jangan kau sebut lagi namanya. Kita bicarakan saja rencana hijrahku ke
sini ya. Bagaimana apakah pesananku lewat telepon minggu lalu sudah ada?”
“Oke.
Aku sudah mempunyai daftar beberapa rumah dan ruko yang bisa kita lihat
sama-sama besok. Ada ruko punya temanku disewakan. Letaknya dekat kantorku.
Strategis sekali karena selain kantorku ada beberapa kantor lagi di sekitarnya.
Tepatnya di daerah Sudiang.”
Lily
mengernyitkan kening, “bukankah itu sangat jauh dari kota, Hidah?”
“Sudiang
sudah sangat berkembang, Lily. Sekolah, kantor, perumahan, semua dibangun di
daerah itu. Sudah ada beberapa rumah makan masakan Jawa di sana, tapi ditambah
satu lagi, apalagi yang murah meriah dan rasanya enak, pasti tetap laris
manis!”
“Oke,
deh. Besok kita mulai mengecek semuanya ya? Ada berapa tempat yang ada di
daftarmu?”
“Sementara
hanya dua belas. Tapi nanti kalau belum ada yang cocok, kita selusuri saja
kolom iklan di koran.”
***
Esoknya
Lily dan Wahidah memulai survei mereka di daerah Sudiang dengan mengendarai
motor. Mereka melihat-lihat ruko ditemani oleh Pak Samad, rekan sekantor
Wahidah. Ruko itu berbeda dari ruko lain yang pernah dilihat Lily. Halaman ruko
cukup luas dan rindang. Tidak seperti ruko lainnya yang umumnya panas. Menurut
pak Samad, dirinyalah yang melarang pemborong menebang pohon-pohon sewaktu ruko
dibangun. Wahidah membenarkan dan mengimbuhkan info bahwa pak Samad adalah
pemilik tanah itu dulu. Setelah dibeli kontraktor untuk membangun ruko, pak
Samad minta jatah satu ruko untuk dirinya sendiri.
Walaupun
tertarik dengan ruko itu, namun Lily memutuskan untuk melihat sebelas tempat lainnya
dulu.
Beberapa
rumah dan ruko selanjutnya tidak terlalu menarik perhatian Lily. Kurang besar,
terlalu besar, bentuknya aneh, dan lain-lain alasan yang membuat hati Lily
kurang sreg.
“Sudah,
yang punya pak Samad saja,” saran Wahidah.
“Sudah
capek ya, Hidah? Memangnya sudah habis, nih?”
“Sisa
satu lagi, rumah ke-12, ayo lanjut lagi?”
“Di
daerah mana?”
“Antang.”
“Ayo.”
Mereka
bergerak lagi menuju daerah Antang. Memasuki sebuah kompleks perumahan yang
tidak terlalu ramai.
“Kok sepi begini,
Hidah? Nggak salah, nih?” tanya Lily.
“Iya ya, mana
jalannya berbatu-batu. Tapi aku sudah telanjur telepon pemiliknya. Kita lihat
dulu rumahnya.”
Rumah yang dimaksud
ternyata terletak di bagian belakang kompleks, menyendiri agak jauh dari
bangunan rumah lainnya.
“Hmm,
spooky house,” bisik Wahidah.
Lily
terdiam memandang rumah yang berdiri di kejauhan. Rumah itu tidak terlalu
besar. Dibangun di sudut sebuah tanah lapang berukuran luas, dikelilingi pagar
besi. Yang menarik adalah jajaran pohon kersen memanjang di samping halaman.
Pohon kesayangan Lily sejak kecil.
Seorang
perempuan berjilbab melambai dari teras rumah.
“Itu
bu Mia, pemilik rumah. Ayo kita masuk,” Wahidah mendahului masuk melewati gerbang
yang sudah terbuka lebar. Lily mengikuti dengan langkah pelan, masih mengamati
pepohonan kersen.
Setelah
berkenalan dengan bu Mia, mereka memasuki rumah.
“Rumah
ini dibangun oleh sepupu saya kurang lebih tujuh tahun yang lalu. Rumah pertama
yang dibangun di kompleks ini. Ruang tamunya memang sengaja dibuat kecil, tapi
ruang-ruang lainnya didesain sangat nyaman,” bu Mia mulai bertutur
mempromosikan rumahnya dan mengajak mereka masuk lebih dalam.
“Ruang
tengah sangat luas, tersambung dengan ruang makan dan dapur bersih. Ruang tidur
utama dan ruang tidur anak-anak terletak bersebelahan. Uniknya, ada juga pintu
sambung yang menghubungkan keduanya. Kamar mandi ada dua, di dalam ruang tidur
utama dan satu di samping dapur. Masih ada satu kamar lagi di samping dapur.
Didesain untuk kamar pembantu.”
Lily
merasa dadanya berdebar-debar.
“Boleh,
saya melihat kamar tidur utama?” tanyanya pelan.
“Silakan.
Kamar tidur utama sangat unik, karena ada jendela tingkap di atapnya,” ujar bu
Mia seraya membuka pintu kamar.
“Jendela
tingkap apa, sih?” tanya Wahidah tak paham.
Lily
memejamkan mata. Ia sangat memahami apa maksud kata-kata bu Mia. Sebelum bu Mia
menunjukkan atap kamar yang bisa terbuka, Lily sudah jatuh pingsan diiringi
pekikan Wahidah yang terkejut.
“Rumah seperti apa yang kamu inginkan, Ly?”
Itu pertanyaan
Acca’ dulu. Saat mereka berdua tengah duduk di atas bale-bale di bawah pohon
kersen di depan rumah kos Lily. Maka Lily menjawab dengan rinci gambaran rumah
impian yang ingin ia miliki.
“Aku ingin rumah yang tidak terlalu besar dan tidak
terlalu kecil. Dengan halaman yang cukup luas, ruang tamu yang sempit dengan
kursi yang keras, ruang keluarga yang nyaman dengan sofa empuk yang tersambung
dengan ruang makan dan dapur bersih. Dua kamar tidur berjajar dengan pintu
sambung dan kamar mandi dalam. Satu kamar mandi lagi disamping dapur dan satu
kamar tidur kecil untuk pembantu. Oya, satu lagi aku ingin atap di kamar tidur
kita dapat terbuka hingga sesekali kita bisa tidur di bawah gemerlap bintang,
pasti romantis sekali, kan.”
“Kenapa ruang tamunya harus sempit dengan kursi yang
keras? Terdengar sangat tidak nyaman,” protes Acca’.
Lily tergelak
“Tamu itu kan banyak jenisnya. Kalau ada tamu yang kurang
kita sukai, atau hanya bermaksud melakukan kunjungan singkat, kita terima ia di
ruang tamu. Sedangkan tamu yang sudah seperti keluarga dapat langsung masuk ke
ruang keluarga yang nyaman.”
Acca’ manggut-manggut dengan serius.
Percakapan itu
terjadi tujuh tahun yang lalu. Tiba-tiba kilas kejadiannya terbayang jelas di
memori otak Lily, seolah-olah baru terjadi kemarin.
Lily tersadar setelah
mencium bau minyak angin yang digosokkan bu Mia di lehernya.
“Mungkin kecapekan,
bu Mia. Seharian kami menyusuri kota Makassar melihat-lihat rumah,” jelas
Wahidah.
“Bu Mia, apakah
sepupu ibu…yang membangun rumah ini, bernama Ansar Syarif?” tanya Lily pelan.
Wahidah membelalakkan mata.
“Iya, kami biasa
memanggilnya daeng Acca’. Tapi ia sudah lama meninggal,” jelas bu Mia keheranan.
Lily mencucurkan air
mata yang sudah disimpannya selama enam tahun. Sejak kematian Acca’ karena
kecelakaan lalu lintas, ia kehilangan cinta pertamanya yang dirajut dengan
ketulusan. Ibrahim berhasil menyembuhkan luka itu, namun kini kembali terasa
pedih, saat takdir membawanya memasuki rumah yang dibangun Acca’ untuknya.*