Satu lagi naskah saya tembus rubrik gado-gado majalah Femina. Naskah pertama tembus tahun 2012. Wah, harus nunggu empat tahun ya hingga nembus lagi. Naskah "Kekenyangan" ini dimuat di edisi Femina nomor delapan, Februari 2016.
Berikut naskah aslinya yang oleh redaksi direvisi bagian akhirnya. Selamat membaca.
Kekenyangan
Saya bukanlah orang yang suka memperlihatkan kemesraan
dengan kekasih di depan orang lain.Termasuk kemesraan berupa perhatian seperti
memasakkan makanan. Hubungan saya dan pasangan berjalan aman, cukup dengan
jalan-jalan tiap malam minggu, nonton atau makan di luar. Itu sudah cukup
menurut saya. Hal-hal lain dapat dilakukan setelah menikah. Itu prinsip saya.
Maka saya sedikit heran dengan Veni, teman satu rumah
dinas waktu itu, yang full perhatian terhadap pacarnya. Veni sering sekali
memasakkan makanan untuk sang pacar, membelikan peralatan dapur saat sang pacar
pindah rumah dan mengirimkan makanan siap saji untuk berbuka puasa ke alamat
rumah sang pacar via delivery order.
Karena beda prinsip, saya benar-benar tak habis pikir dan
suatu ketika saya cetuskan pendapat saya pada teman kantor yang lain, Ela.
“Aku kok, rasanya malu kalau masakin pacar, ya? Rasanya
gimana, gitu.”
“Kenapa mesti malu, Mbak. Kan sebagai wujud perhatian.
Ayo, Mbak masakin mas-nya,” jawab Ela malah manas-manasin saya.
Di rumah saya memikirkan ulang kata-kata Ela. Iya, ya.
Kenapa harus malu. Toh seluruh teman kantor sudah tahu tentang hubungan kami.
Dan sesekali nggak papa unjuk kebolehan. Supaya pacar saya tahu bahwa saya juga
piawai memasak di dapur.
Akhirnya pada suatu hari Minggu, saya memutuskan untuk
memasak buat kekasih. Saya memasak menu andalan saya yang sudah sering saya
masak dan rasanya tak mengecewakan yaitu ayam kecap dan tumis buncis udang.
Saya sengaja memasak saat teman serumah sedang pergi
dinas luar, soalnya saya masih agak malu-malu ketahuan dan ntar ada yang
cie-cie, hehe. Jadi saya bebas menguasai dapur dan mulai memasak sejak pagi
hingga menjelang siang. Setelah semua matang, saya segera ke rumah calon suami
sekitar lima puluh langkah dari rumah dinas yang saya tempati.
Pacar
saya tinggal di rumah dinas yang berbeda bersama beberapa pegawai yang lain.
Karena masih malu ketahuan memasak untuk pacar, saya memilih untuk
‘menculiknya’ ke rumah saya daripada membawa masakan itu ke rumahnya. Tiba di
rumah, saya segera menyajikan hidangan makan siang istimewa yang sudah saya
siapkan tersebut. Pacar segera menyantap hidangan dalam diam.
“Gimana, enak, kan?” tanya saya bangga.
“Iya, enak,” jawabnya pendek.
Tapi saya agak curiga kok mukanya agak lain, ya? Ah, yang
penting dia sudah bilang enak. Tak lama setelah makan, pacar saya pamit pulang.
Yee, akhirnya saya juga bisa memanjakan pacar dengan masakan saya.
Saat sudah menjadi suami-istri, masih dalam suasana
pengantin baru, kami suka ngobrol membahas kenangan saat masih pacaran.
“Ingat nggak, waktu aku masakin kamu?” tanya saya.
“Ingat,” angguk suami.
“Waktu itu, rasanya beneran enak, kan?” tanya saya
memastikan. Suami menatap saya lalu nyengir. Keluarlah pengakuannya.
“Sebenarnya waktu itu aku pas baru saja makan nasi goreng
porsi jumbo.”
“Jadi?”
“Jadi waktu makan di rumahmu, aku benar-benar
kekenyangan. Rasanya seperti mau muntah.”
“Jadi? Hiks, hiks … tapi rasanya enak, kan?”
Saya jadi agak sebal dan menyesal karena sudah
terprovokasi untuk memasak buat pacar. Padahal sudah jelas itu nggak sesuai
dengan prinsip saya. Salah saya juga sih ya, nggak memberitahu sebelumnya
sehingga ia bisa sengaja mengosongkan perut sebelum makan masakan saya. Hmm,
tak apalah. Yang penting sekarang sudah serumah dan tak usah malu-malu
lagi memasak untuk mantan pacar, alias
suami tercinta (Indah Novita, Sleman).