Keputusan
Seorang Mantan Pemberontak
Judul :
Seumpama Matahari
Penulis :
Arafat Nur
Penerbit :
Diva Press
Cetakan :
I, Mei 2017
Tebal :
142 halaman
ISBN :
978-602-391-415-9
Kekuatan
Arafat Nur dalam merangkai kata tidak perlu diragukan lagi. Penulis asal Aceh
ini pernah memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010 dan meraih
Khatulistiwa Literary Award 2011 untuk novelnya yang berjudul Lampuki. Novelnya
Tanah Surga Merah kembali memenangkan sayembara serupa pada tahun 2016. Hampir
seluruh novel karya Arafat Nur menggunakan latar belakang peperangan Aceh
ataupun kondisi politik Aceh pasca perang. Demikian pula dengan novel Seumpama
Matahari ini, mengangkat satu episode perjalanan hidup seorang mantan
pemberontak bernama Asrul.
Asrul
anak sulung dari dua bersaudara. Ia hidup hanya dengan ibu dan adik
perempuannya. Bapaknya sudah lama mati, dibunuh tentara. Kematian bapaknyalah
salah satu alasan Asrul bergabung dengan pasukan pemberontak, menjadi
gerilyawan yang tinggal di hutan dan berjuang melawan tentara. Untuk itu ia
rela hidup terpisah dengan ibu dan adiknya selama tiga tahun.
Kisah
dalam novel ini diawali dengan adegan Asrul dan dua orang temannya di dalam
hutan, berusaha membebaskan diri dari serbuan tentara. Mereka dapat sampai dengan
selamat di markas, dan setelah kejadian tersebut, Asrul memutuskan untuk pulang
dan bertemu dengan ibu serta adiknya. Dalam perjalanan ke rumahnya, Asrul
berjumpa dengan dua orang perempuan kakak beradik dan sempat bertukar canda
dengan mereka (hal 33). Di sini terlihat tokoh Asrul hampir serupa dengan
tokoh-tokoh dalam novel Arafat Nur lainnya. Tokoh utama dalam novel Arafat
hampir selalu pria usia tiga puluhan dengan penampilan menarik dan menimbulkan
rasa tertarik gadis yang melihatnya. Demikian juga Asrul dalam pertemuan
pertamanya dengan Putri, sudah menimbulkan kesan di hati gadis itu, begitu juga
sebaliknya.
Tak
lama setelah Asrul pulang ke rumahnya, ternyata ada kabar yang menyebutkan
bahwa markasnya di hutan habis digempur tentara. Zen, sang pemimpin, menjadi
satu-satunya yang berhasil melarikan diri dan kemudian menelpon Asrul untuk
memperingatkannya. Asrul langsung memutuskan untuk pergi menyelamatkan diri
dari rumah dan berusaha memperoleh pekerjaan di Riau. Sayangnya setelah dua
bulan tinggal di rumah kost, ia harus terusir karena tak juga mendapatkan
pekerjaan. Saat itulah ia hidup menggelandang dan makan dari mengorek-ngorek
sampah. Mujur, suatu hari di terminal, ia bertemu kembali dengan Putri dan
adiknya. Kedua perempuan ini dengan senang hati menolongnya bahkan
mengizinkannya tinggal di rumah mereka. Lambat laun, kedekatannya dengan Putri
membuat Asrul ingin hidup normal sebagai manusia biasa. Bahkan ia memutuskan
untuk tidak kembali bergabung dengan pemberontak, walau Zen memanggilnya untuk
bergabung dengan kelompok pemberontak yang lain.
Keunikan
dari novel ini adalah karena jalan ceritanya tidak murni dari olah pikir
seorang Arafat Nur. Novel ini ditulis berdasarkan catatan gerilya Thayeb Loh
Angen, mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kemudian menjadi penulis
dan jurnalis, sehingga kisah yang diceritakan sebagian besar adalah berdasarkan
fakta. Membaca novel ini akan membuat kita memahami mengapa orang Aceh memilih
menjadi pemberontak, lalu mengapa ia memutuskan untuk menjalani hidup baru
sebagai orang biasa. Setiap orang punya alasan dalam membuat sebuah keputusan.
Pilihan masing-masing individu itulah yang dapat menjadi bahan pelajaran atau
cermin kita sendiri dalam menjalani kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar