Judul :
Ya Allah Aku Rindu Ibu
Penulis :
Irfa Hudaya
Penerbit :
Kana Books
Tahun terbit :
Cetakan I, 2016
Tebal :
252 halaman
Harga :
Rp50.000,00
ISBN :
978-602-60440-1-3
Kasih ibu sepanjang
masa. Dulu saya memaknai kalimat tersebut biasa-biasa saja, hingga kemudian
saya melahirkan empat anak berturut-turut. Barulah saya merasa kalimat itu sangat
benar dan saya bersyukur karena melahirkan dan mengurus balita membuat saya
semakin mencintai dan menghargai semua pengorbanan ibu merawat saya dan
saudara2 saya saat masih kecil dulu. Kemudian saya membaca buku berjudul “Ya
Allah Aku Rindu Ibu” ini. Sebuah kisah yang menceritakan sosok seorang ibu,
lengkap dengan ketidaksempurnaannya sebagai manusia biasa. Saya tenggelam dalam
tangis dan rasa syukur. Tangis karena ikut terharu dengan kisah dalam buku, dan
bersyukur saya masih diberi kesempatan untuk melepaskan rindu pada ibu saya
yang masih sehat hingga detik ini. Ya, buku ini diangkat dari kisah nyata
penulisnya, Irfa Hudaya.
Sebuah memoar atau
naskah kenangan tentang seseorang, memang pada umumnya membuat kita ikut larut
terbawa perasaan, terutama jika orang yang dikisahkan itu seseorang yang
sedemikian dekat. Mempunyai hubungan emosi yang erat. Demikian juga kisah Irfa
dan ibunya, terlebih selama hidupnya, Irfa tak pernah jauh dari sang ibu. Ibunya
menikmati hari tua dengan ditemani oleh Irfa dan keluarga kecilnya (suami dan
dua anak).
Kekuatan dari buku ini,
selain gaya bercerita penulisnya yang sanggup membuat pembaca terhanyut, adalah
banyaknya pelajaran hidup yang dapat kita petik. Penulis menceritakan kisah
hidupnya mulai dari masa kanak-kanak hingga dewasa, khususnya dalam hubungannya
dengan ibu yang dalam buku ini disebut ibuk.
Pada saat umur lima tahun, Irfa heran dan sedikit cemburu karena sebagian besar
waktu ibuk habis untuk mengurusi
neneknya, mbah uti (hal 7). Mbah uti ternyata memang sakit-sakitan dan ibuk adalah anak perempuan satu-satunya
yang harus mengurus sang ibu. Kenangan masa kecil ini mengajarkan Irfa tentang
berbakti pada orangtua. Saat pertama mendapat haid, kata-kata ibuklah yang membuat Irfa tak pernah
sekalipun meninggalkan shalat dan puasa wajib (hal 28).
Pada masa SMP hubungan
Irfa dan ibuk ibarat anjing dan
kucing (hal 34), ada saja yang bikin dia sebal pada ibuk. Misalnya waktu Irfa sudah bersiap pergi pramuka, eh tiba-tiba
ibuk melarangnya pergi dengan alasan
harus momong adik! Kalau tetap memaksa pergi, Irfa harus bawa adiknya ke
sekolah. Akhirnya Irfa terpaksa membawa adiknya latihan pramuka dan
terpaksa harus rela ditertawakan oleh
teman-temannya. Setelah dewasa baru Irfa paham makna di balik itu semua.
Mengapa ibuk selalu memaksanya membawa-bawa adik kemana-mana.Ternyata hal
itulah yang membuat ikatan hatinya lebih dalam terhadap adiknya. Sebagai anak
sulung, Irfa diharapkan selalu menjadi pengikat hati saudara-saudaranya jika
kelak kedua orangtua telah tiada (hal 39).
Hubungan dengan ibuk menjadi lebih manis ketika Irfa
beranjak dewasa dan kuliah jauh dari rumah. Ibuk
berubah peran menjadi sahabat (halaman 54) tempat curhat, dan tempat
menumpahkan airmata saat hubungan Irfa dengan seorang lelaki kandas di tengah
jalan. Irfa dapat melewati masa patah hatinya dengan baik berkat dukungan dan
kata-kata penyemangat dari ibuk.
Kehidupan Irfa berubah ketika
sang bapak meninggal dunia. Ibuk harus
bertahan hidup, mencukup-cukupkan penghasilan dari pensiunan janda yang hanya
30% dari gaji, untuk kebutuhan kuliah dua anak dan satu anak yang baru masuk
SMA. Pemasukan lain adalah dari hasil panen sawah yang kadang tak seberapa. Ibuk terpaksa sering meminjam uang untuk
mencukupi kebutuhan. Namun kondisi ini tak membuat ibuk menyerah. Ia tetap mendukung keinginan anak-anaknya untuk
sekolah setinggi mungkin. Beruntung kemudian selepas kuliah, Irfa mendapatkan
pekerjaan yang cukup baik sehingga ia dapat membantu ibuk membiayai kuliah adik-adiknya. Bakti pada keluarga, sudah
dimulai Irfa pada usia yang relatif muda. Ikhlas, berkat tempaan dan contoh
yang ia lihat pada ibunya.
Perjalanan hidup
manusia adalah sebuah perjalanan yang diawali dengan lambat, kemudian cepat,
dan melambat lagi dengan menuanya manusia. Demikian juga seorang ibu. Ibuk di hari tua, sangat menikmati
hari-harinya dengan mengikuti berbagai kumpulan pengajian. Hubungannya dalam
bersosial juga patut diacungi jempol. Bahkan dengan orang yang ‘sulit’ pun, ibuk pandai bergaul. Irfa yang sudah
menikah dan punya dua anak, akhirnya memutuskan untuk senantiasa mendampingi
sang ibuk, tetap tinggal di rumah
masa kecilnya dan berhubungan jarak jauh dengan suami yang bekerja di Semarang.
Irfa tak lagi berkarier di luar rumah. Ia memutuskan fokus merawat kedua
anaknya serta ibunya dan bekerja dari rumah. Harus dirinya yang memegang
tanggungjawab itu, memegang amanat dari almarhum bapaknya untuk menjaga ibu dan
adik-adiknya. Walaupun kedua adiknya telah berkeluarga dan harus tinggal jauh
dari rumah, Irfa tetap tinggal, memegang amanat kedua orangtuanya untuk menjadi
perekat saudara-saudaranya
Bukan tak mudah merawat
ibuk yang makin sepuh terutama saat beliau usai terkena serangan stroke pertama. Ibuk berubah menjadi agak mudah marah,
contohnya saja saat harus mengatur pola makan. Ibuk memprotes Irfa yang hanya memberinya makanan rebusan. Beliau
minta makan sayur lodeh. Saat Irfa menjelaskan bahwa santan harus dihindari
(halaman 155), ibuk merajuk dan
ngeyel. Saat ibuk sudah kembali sehat
dan mulai beraktivitas ngaji lagi, Irfa memberi saran agar ibuk membatasi kegiatan supaya tidak mudah capek. Apa jawaban ibuk? Mau ikut pengajian cari ilmu kok,
nggak boleh. Hahaha, begitulah Irfa menceritakan hubungannya yang unik dengan
sang ibu. Kesabaran Irfa sebagai seorang anak dalam mengurus sang ibu di masa
tua, patut dicontoh.
Setelah mengalami
serangan stroke pertama dan sembuh (halaman 162), perjalanan religiusitas ibuk mencapai puncaknya. Hidup hanya
untuk Allah. Ibuk mengikuti beberapa
majelis taklim. Seminggu bisa tiga sampai empat kali ikut pengajian. Sholat
tahajud dan dhuha tak pernah absen. Puasa senin kamis selalu dilakukan. Ibuk selalu tilawah setiap habis sholat wajib.
Sholat jamaah ke masjid tiap subuh dan maghrib. Ibuk juga aktif di kegiatan sosial kemasyarakatan. PKK dusun, PKK
desa, dan Aisyiyah. Pada masa-masa akhir hidupnya, Ibuk juga berpesan pada Irfa untuk berbuat baik pada orang yang
telah menyakiti. Berpesan agar Irfa menghilangkan dendam di hati. Hidup hanya
sekali, saling menyakiti hanya akan merugi. Ibuk, menunjukkan kasihnya, tak
ingin sang putri memelihara dendam sepeninggal beliau nanti. Ingin sang putri
hidup dengan sebaik-baiknya kehidupan.
Ingin rasanya saya
menuangkan lebih banyak kalimat lagi pada resensi ini. Rasanya tak habis-habis
ingin menceritakan buku yang ditulis mbak Irfa dengan sangat elok ini. Tapi
alangkah lebih baiknya jika Anda membacanya sendiri. Akan lebih terasa feel-nya
dan dijamin Anda akan seperti saya yang tersenyum, menangis, tercengang,
tertawa geli, bahkan terbahak membaca buku ini. Mbak Irfa Hudaya berhasil
meramu kisah kehidupannya bersama sang ibu dengan sangat manis, lucu, dan
mengharukan. Siapapun yang punya ibu, harus membaca buku ini. Terakhir, saya
menutup tulisan ini dengan bacaan Al fatihah untuk ibuk, yang telah menginspirasi saya dan mungkin banyak orang yang
sudah membaca buku ini, agar menjadi orang yang lebih baik. Hidup hanya untuk
Allah.
Aku terhura mb Ind... Terima kasih telah meresensi buku dengan kereeennn
BalasHapusSama-sama, mbak Irfa. Ditunggu buku solo berikutnya ya
Hapus